Reportase Simposium 2

simp12

Alternatif Mengatasi Defisit BPJS Kesehatan

Pembicara: Prof.dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD

Klaim rasio PBPU masih di atas 200%, hal ini berbanding terbalik dengan kondisi klaim PBI dibawah 100%. Atau ini berarti ada kerugian di BPJS Kesehatan. Apa masalahnya? PBPU meningkat klaimnya, sehingga BPJSK defisit, dana PBI dipergunakan oleh kelompok yang lebih mampu. Masalah ini merupakan masalah di lapangan dimana PBI banyak terdapat di daerah terpencil, di daerah-daerah sulit dimana BPJS Kesehatan tidak memiliki aliran dana ke daerah sulit. Masalah utamanya, PBI jatahnya dipakai non PBI mandiri.
Alternatif strateginya, ada 2 solusi, yaitu:

  1. Penambahan dana kesehatan yang tidak harus melalui BPJS Kesehatan
  2. Pembatasan pengeluaran

Sumber dana kesehatan, dana APBN sampai dengan out of pocket, adakah kemungkinan dinaikkan. Dana APBN sudah maksimal 5% untuk sektor kesehatan. Sehingga APBN sulit naik, kemungkinan dari pajak tembakau, namun masih banyak pertanyaan. Dari APBD, dana ini bisa langsung diberikan ke BPJS Kesehatan atau ke FKTP dan FKTL. Dana APBD ini juga tergantung kemampuan fiskal daerah dan kemauan pemerintah daerah mengalokasikan anggaran untuk kesehatan termasuk mendanai asuransi kesehatan yang kurang. Misal anggaran sudah dipatok 100 milyar untuk BPJS Kesehatan daerah tersebut, ternyata ada kenaikan 110 milyar maka 10 milyarnya dibayar oleh Pemda. Kemudian dana-dana premi BPJSK, non PBI preminya bisa dinaikkan, sampai 500 ribu – 1 juta untuk kelas 1. Pasalnya, sebagian besar orang kaya di kelas 1. Kemudian dana dari masyarakat, dari out of pocket sehingga cost sharing perlu. Dana masyarakat yang ada perlu dimanfaatkan karena pajak rendah atau kenaikan pajak penghasilan rendah dengan GDP naik tinggi. Sehingga dibuat sistem untuk perpajakan sehingga bisa masuk ke sistem kesehatan.

Pengurangan manfaat/ efisiensi. Sekarang DKI Jakarta dan Provinsi seperti NTT misalnya tidak ada batasan untuk paket manfaat. Ada basic manfaat atau paket dasarnya apa?. Sehingga peserta di DKI Jakarta yang lengkap fasilitasnya, misal di atas 100 juta setahun maka BPJS Kesehatan tidak lagi menanggung. Silakan membeli asuransi katastropik untuk menangani, sehingga ada batas atasnya. Dimana sekarang masih bebas belum ada batasnya. Dengan demikian yang mahal-mahal/ katastropik perlu pembatasan karena berbiaya tinggi.

Dalam upaya peningkatan efisiensi dengan melihat fraud, abuse, wish dan ini merupakan penyimpangan yang ditindaklanjuti sebagai hal yang serius. Hal yang perlu dilakukan misalnya mengembangkan sistem pencegahan dan penindakan fraud.

Residu JKN

Prof. Amran Razak

Ilmu Kesehatan masyarakat merupakan ilmu politik atau ilmu advokasi. Sehingga muncul stigma jika orang miskin itu menderita. Residu dari JKN, karena sisa-sisa yang sebenarnya melekat tidak bisa lepas dari JKN. Satu obat agar JKN terus berjalan seperti suntikan dana dari APBN yang ternyata juga tidak sehat. Misal: dalam hitungan aktuaria kelas 1 mandiri adalah 63 ribu, dibayar dengan iuran 51 ribu dan hasilnya tekor/defisit yaitu 12 ribu. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang mau menanggung defisit ini?

Di Sulawesi Selatan muncul kemitraan dengan rumah sakit swasta. Sekarang ini mitra BPJS Kesehatan adalah RS Pemerintah. Pada beberapa tahun ini RS Swasta mulai melirik BPJS Kesehatan. Mengapa BPJS Kesehatan menjadi lirikan RS Swasta, karena adanya adverse selection, fraud, over utilization, biaya tinggi penyakit terjadi.

Permasalahan juga terjadi karena pelayanan primer sebagai gatekeeper belum berjalan. Isu lain adalah tidak berhasilnya integrasi Jamkesda. Integrasi Jamkesda membuktikan kalau Pemerintah Daerah masih setengah hati untuk masuk ke UHC. Hal ini dikarenakan Pemda mempunyai janji politik untuk mengelola pendidikan dan kesehatan secara gratis. Integrasi Jamkesda tidak terjadi karena pemotongan anggaran. Portabilitas positif dan negatif terjadi pada saat integrasi. Ada Kabupaten yang tidak terjangkau BPJSK hanya menggunakan KTP untuk berobat. Contoh ini menunjukkan keterbatasan BPJS Keseahata menjangkau daerah terpencil.

Nawacita masih dalam konsep yang perlu dipahami (ada tetapi tidak ada). BPJS Kesehatan masih seperti makelar pihak ketiga. Pengelolaannya perlu perbaikan, karena bukti yang sekarang ada adalah muncul tunggakan-tunggakan di beberapa daerah. Muncul kesenjangan di wilayah timur dengan wilayah di kota-kota besar.

Penerapan Akuntabilitas di Era JKN

Dr. dr. Indahwati Sidin

Akuntabilitas merupakan hal yang penting di RS, selain tekor/defisit butuh pengelolaan. Akuntabilitas merupakan transparansi dan pertanggungjawaban dilakukan oleh organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan organisasinya. Akuntabilitas penting karena beberapa tuntutan seperti good governance dan tuntutan tingginya persaingan RS. Reformasi di bidang kesehatan yaitu eksisnya lembaga pembiayaan kesehatan. Adanya SJSN menuntut penyelenggaraan yang akuntabel untuk stakeholder dalam UU No 40 Tahun 2004.

Dalam Permenkes No. 71 Tahun 2013. Aturan tersebut mengharuskan pengelolaan RS yang akuntabel dan transparan. Selama menggunakan dana JKN di RS terjadi inefisiensi dan tidak transparan. Sehingga RS dan Puskesmas harus tersertifikasi untuk menjamin penyelenggaraan organisasi yang akuntabel. Perlunya control di RS karena kemungkinan terjadi fraud di RS.

Dana yang diberikan tidak cukup oleh BPJS Kesehatan namun perlu legitimasi dari publik. Mengapa legitimati organisasi terhadap publik, dilakukan sebagai mekanisme control terhadap organisasi pelayanan kesehatan, yang bertujuan untuk pelayanan publik yang memuaskan masyarakat. Aturan SJSN harus menerapkan dan memastikan tidak ada fraud dalam pelayanan kesehatan di RS. RS harus melaksanakan transparansi-transparansi pengelolaan semua aspek di RS. Kelemahan pada ketersediaan obat tidak terdapat di distributor sehingga RS kesulitan mendapatkan stok obat. Dan hal lain yang menjadi kesenjangan adalah pesrta di RS tidak diperbolehkan membeli obat sendiri. E-katalog tidak menjamin ketersediaan obat yang dibutuhkan pasien. Implikasi pengelolaan RS yaitu clinical pathway perlu dijalankan, cost containment, dan customer quality driver.

Sesi Diskusi

Pertanyaan:

Kebijakan JKN merupakan kebijakan pusat, dimana implementasi di daerah tidak sesuai harapan, muncul kesenjangan di daerah maju dan daerah yang tidak maju. Contohnya kebijakan terkait kalim kecelakaan di RS, kebijakan ketersediaan fasilitas kesehatan dan alkes. Apakah perlu dihapus program JKN untuk daerah terpencil atau program apa yang cocok?

Narasumber:

Prof Laksono menyampaikan bahwa Kebijakan JKN melalui BPJS Kesehatan merupakan program bagus dan tidak perlu dihapuskan. Hal yang lemah adalah implementasi di lapangan. Perlu effort untuk memperbaiki implementasi di lapangan dengan kebijakan-kebijakan yang lebih tepat. Misalnya menjalankan dana kompensasi yan sudah tercantum di undang-undang. Pembicara lain menambahkan bahwa tidak hanya sistem yang diperbaiki di lapangan tetapi juga penyelenggara pelayanan yang juga harus berbenah.

oleh Faozi Kurniawan 

Gizi dan 1000 Hari Pertama Kelahiran (HPK)

simp12Gizi akan berpengaruh terhadap kesehatan dan produktivitas penduduk. Indonesia masih menghadapi masalah gizi ibu hamil dan bayinya. Untuk itulah Global Alliance Improvement Nutrition (GAIN) melaksanakan program meningkatkan status gizi ibu hamil dan bayi dua tahun (baduta) di Kabupaten Malang dan Kabupaten Sidoarjo. Agnes Malipu sebagai representatif GAIN memaparkan best practice yang sudah mereka lakukan untuk meningkatkan status gizi. Penelitian yang dilakukan tersebut mempertimbangkan bahwa angka balita pendek (stunted children) di Jawa Timur paling tinggi (1.3 juta jiwa) dan tingkat kemiskinan masih tinggi. Perlu diketahui bahwa gizi makanan dan infeksi kesehatan akan mempengaruhi malnutrisi ibu dan anak. GAIN menggunakan proses desain komunikasi untuk perubahan perilaku gizi ibu hamil dan baduta yang hasilnya akan diaplikasikan pada Januari 2017. Faktor – faktor lingkungan akan mempengaruhi atau memicu otak dan perilaku yang akan mempengaruhi kesehatan (Curtis and Aunger, 2014).

GAIN menggunakan formative research, salah satunya dengan video ethnography. Hasilnya dari sisi perspektif konsumen bahwa ibu mengetahui “ASI adalah yang terbaik” tetapi mereka percaya bahwa “Susu formula membuatnya lebih sempurna.” Hal tersebut dipengaruhi beberapa hal seperti ibu kurang percaya diri stok ASI yang dimiliki, susu formula menjadi norma sosial (Anda dianggap tidak mampu jika tidak dapat membeli susu formula), tidak adanya informasi tentang susu formula. Selain itu, camilan juga berpengaruh dimana bayi yang menangis terus akan ditenangkan ibunya dengan memberi permen. Padahal camilan tersebut akan membuat kenyang dan bayi akan menyingkirkan makanan utamanya. Melihat hasil penelitian tersebut maka GAIN melontarkan ide kampanye dengan “Rumpi Sehat” yang sudah ditayangkan di berbagai televisi. Pesan kunci dari kampanye tersebut antara lain ASI saja cukup (0 – 6 bulan) dan perlunya makanan yang bervariasi dan seimbang.

Hal lain yang menarik dari sesi ini adalah pentingnya pemenuhan gizi pada periode prakonsepsi untuk menunjang keberhasilan program penyelamatan 1.000 Hari Pertama Kelahiran (HPK). Dr. dr. Sri Sumarni, SKM, MSi memaparkan mengenai pelaksanaan Scalling Up Nutrition (SUN) di Indonesia dimana pada periode prakonsepsi belum menjadi bagian dari program ini. Sumarni menggunakan berbagai evidence dari studi epidemiologi maupun penelitian selular dan biomolekular untuk menjelaskan pentingnya peran gizi pada masa prakonsepsi.

Ibu hamil yang mengkonsumsi suplemen sebelum hamil akan mengurangi risiko kelahiran prematur sebesar 50%. Konsumsi suplemen pada masa prekonsepsi akan menurunkan resiko pre-eklamsi sebesar 45% – 71% dan menurunkan risiko small for gestational age (SGA) sebesar 36%. Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Probolinggo membuktikan bahwa suplemen memberikan efek yang lebih baik terhadap imun maternal dan hormon human placental lactogen (HPL) sehingga akan meningkatkan berat badan bayi lahir dan menurunkan resiko aborsi serta prematur. Pemberian suplemen zat gizi pada periode prakonsepsi akan lebih penting dibandingkan diberikan saat kehamilan. (Disadur dari abstrak Sun Movement : Bagaimana Mungkin Menyelamatkan 1000 Hari Pertama Kehidupan Tanpa Disertai Program Gizi Pra Konsepsi?, Sri Sumarni).

Reporter: Elisabeth Listyani

Integrasi dan Sinergitas Program KKBPK, Kesehatan, dan Sosial Dalam Membangun Desa

simp14Serangkaian workshop integrasi dan sinergitas program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK), kesehatan, dan sosial dalam pembangunan di tingkat desa dan kab/ kota dibuka oleh sambutan dari dr. Adang Bachtiar, MPH, Sc.D (Ketua IAKMI) yang menekankan pentingnya peran kampung KB di setiap desa untuk membangun sektor kesehatan dan mencapai bonus demografi. DR. dr. Melania Hidayat, MPH (National Programme Officer for Reproductive Health – UNFPA Indonesia) turut menekankan bahwa peran sektor swasta juga penting untuk dilibatkan dalam membangun program KB. Materi pertama diawali dengan penjelasan dr. Abidinsyah Siregar, DHSM, M.Kes (Deputi Bidang Advokasi, Penggerakan dan Informasi – BKKBN) mengenai pelaksanaan program kampung KB yang notabene salah satu latar belakangnya adalah kenaikan total fertility rate (TFR). Abidinsyah menyampaikan bahwa terdapat dua indikator capaian program KB yaitu diawali dengan mencari wilayah dengan capaian KB paling rendah dan kemudian menggunakan data yang terkait dengan kondisi angka kemiskinan yang paling tinggi. Dua indikator itu merupakan titik terlemah dalam suatu wilayah. Intervensi diawali dengan pencanangan kampung KB yang saat ini sudah ada 432 Kampung KB pada 514 Kabupaten/Kota.

Materi selanjutnya berkaitan dengan peran multi sektor yang belum efektif di daerah. Materi kedua ini disampaikan oleh Ir. H. Moh. Ramdhan Pomanto (Walikota Makassar) tentang Pelaksana Kampung KB di Tingkat Kelurahan Kecamatan dan Kota di Kota Makssar. Ramdhan menambahkan bahwa permasalahan urbanisasi dan faktor demografi lainnya juga turut berkontribusi terhadap pentingnya adanya integrasi dan sinergitas program pembangunan desa, terutama di kota Makassar. Pada masa awalnya menjadi Walikota, Ramdhan melakukan riset kebutuhan dan masalah masyarakat dan menemukan bahwa masalah kemiskinan dan kesehatan sangat dominan. Pendekatan ruang yang dilakukannya untuk mengatasi masalah ekonomi, kesehatan, sekaligus kependudukan di Kota Makassar. Utamanya, Ramdhan sangat optimal sekali melakukan pemberdayaan masyarakat melalui stakeholder di tingkat paling rendah yaitu RT dan RW. Koordinasi dari stakeholder di tingkat RT dan RW akan sampai ke walikota dengan adanya monitoring melalui teknologi smartphone dan war room city.

Materi selanjutnya terkait dengan Pendekatan Keluarga Menuju Keluarga Sehat disampaikan oleh Dr. Eni Gustina., MPH (Direktur Kesehatan Keluarga – Kemenkes RI). Eni menyatakan bagaimana upaya kita mempertahankan tetap dalam kondisi sehat dan bugar. Hal ini menekankan bahwa sehat bukan menjadi tujuan. Dengan kata lain, pada saat jatuh sakit baru mencari kesehatan. Untuk daerah terpencil dan perbatasan, program Nusantara Sehat mengupayakan mendekatkan masyarakat pada layanan kesehatan. Sedangkan pada wilayah yang mudah dijangkau, puskesmas diberdayakan untuk menggunakan pendekatan keluarga dengan paradigma sehat, mengutamakan promotif preventif, memperkuat pelayanan dasar, memperkuat pembiayaan kesehatan melalui JKN. Sasarannya adalah pada penerapan standar dan mutu kesehatan serta kemandirian masyarakat.

Di akhir sesi, para pakar memberikan tanggapannya terkait dengan materi yang disampaikan. Tanggapan pertama dari dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, MSc, ScD yang menyatakan bahwa gagasan kampung KB ini diharapkan menjadi percontohan kecil di satu wilayah yang kemudian diperluas ke wilayah lain. Program kampung KB ini diharapkan memiliki tujuan dan arah yang jelas. Tanggapan selanjutnya dari Dr. Sumaryati Arjoso, SKM, bahwa integrasi dalam berbagai hal untuk membangun program kampung KB, diperlukan revolusi mental birokrat, pendekatannya harus holistik komprehensif intergratif dan sinergis mulai dari pusat, menghilangkan ego sektoral, rakyat tidak terkotak-kotak, besarnya organisasi di pusat memastikan siapa yang menangani/bertanggungjawab dan siapa yang bertugas, prinsip desentraslisasi yang di pusat hanya memastikan semua terkondisikan, yang memiliki peran besar adalah di tingkat daerah. Terakhir, tanggapan dari perwakilan BAPPENAS menyatakan bahwa prinsip money follow program memiliki manfaat yang sangat besar bagi masyarakat melalui program pemerintahan yang terintegrasi antar sektor.

Reporter : Budi Eko Siswoyo, SKM.,MPH
Aulia Novelira, SKM.,M.Kes

Implementasi 1000 hari pertama kehidupan

simp1318

Simposium 13 dan 18 dalam bagian konas IAKMI ini menyajikan materi dan pembahasan dengan tema “1000 hari pertama kehidupan”. Sebagai pengantar, Bapak Anung Sugihantono selaku direktur Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memberikan gambaran implementasi program 1000 hari pertama kehidupan. Dalam pengantar yang disampaikan Bapak Anung, beberapa masalah yang ditemukan seperti hampir lebih dari setengah masyarakat ternyata mengalami kekurangan gizi. Sedangkan pada saaat pemberian ANC, petugas kesehatan paling banyak hanya memfokuskan untuk kegiatan pemeriksaan kehamilan.

Program yang dikembangkan saat ini disesuaikan dengan SDGs berdasar pada poin pengentasan kelaparan dimana negara juga telah mendukung melalui Perpres 42 tahun 2013. Beliau juga memberikan pesan terkait pentingnya diversifikasi dalam menunjang stok pangan di inidonesia. Saat ini sudah ada pengembangan program beras sejahtera untuk masyarakat dengan target orang miskin

Saat ini sudah ada kesepakatan bersama antara direktural jenderal bina gizi kesehatan dengan 32 universitas se Indonesia, berbagai penelitian dan intervensi gizi telah dilaksanakan. Tiga universitas yang menjadi partner pemerintah dalam program ini seperti FKM UI, FKM Undip, dan FKM Unhas turut hadir dalam sesi kali ini

Prof DR dr Abdul Razak Thaha, MSc, SpGK dari Unhas, Hanifah Maher Denni SKM MPH, PHd dari Undip, dan dr. Agustin Kusumayati, M.Sc., Ph.D dari FKM UI memaparkan berbagai hasil penelitian dan intervensi yang dilakukan.

Dr.dr.Agustin Kusumayati, M.Sc.,Ph.D., Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia menyampaikan bahwa peran perguruan tinggi dalam hal ini FKM UI dalam program penyelamatan 1000 hari pertama kehidupan antara lain memastikan materi promosi 1000 HPK masuk dalam kurikulum kesehatan masyarakat, baik dalam kegiatan kurikuler (pembelajaran di kelas) maupun ko-kurikuler (KKN, bakti sosial). Selain itu, promosi 1000 HPK juga dilakukan melalui kegiatan ilmiah seperti seminar, serta ekspansi melalui penelitian dan pengabdian masyarakat.

Pada kesempatan yang sama, Prof. Dr. dr. Abdul Razak Thaha, M.Sc., Sp.GK. FKM Universitas Hasanuddin memberikan penekanan bahwa pemahaman yang benar tentang konsep scalling up nutrition kepada dosen dan staf mutlak diakukan, karena tidak bisa dipungkiri bahwa dosen yang nantinya akan berperan sebagai aktor yang akan berperan untuk melakukan transfer knowledge kepada mahasiswa dan masyarakat. Selain itu, integrasi dan sinergi penelitian, pendidikan, dan pengabdian masyarakat merupakan langkah utama yang ditempuh Unhas dalam mengarusutamakan isu 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Ditekankan pula bahwa integrasi promosi 1000 HPK ke dalam kurikulum kesehatan masyarakat pentng dilakukan. FKM Unhas mulai memaparkan 1000 HPK secara riil kepada mahasiswa semester petamadengan cara turun langsung ke lapangan. Tujuannya adalah memastikan bahwa program promosi 1000 HPK dapat berlangsung secara kontinyu.

Prof. Abdul Razak Thaha juga menyoroti tidak sinkronnya pendidikan, kebijakan, dan praktik promosi 1000 HPK menyebabkan sulitnya pencapaian target promosi 100 HPK. Harmonisasi integrasi perlu dilakukan mengingat masalah promosi 1000 HPK memerlukan sinergi antarberbagai macam sektor terkait. Sebagai sektor pendidikan, beberapa hal yang dilakukan Unhas antara lain:

Selain itu, intervensi terhadap kurikulum kesehatan masyarakat juga dilakukan oleh Unhas untuk mendukung sinergisitas percepatan penyelamatan 1000 HPK. Wujud nyata inovasi ini adalah disusunnya kurikulum Evidence Based Learning (EBL) cluster Gizi untuk mahasiswa maupun supervisor di lingkungan KM Unhas. Unhas juga mengembangkan instrumen pemantauan status gizi dengan memodifikasi instrumen Kementerian Kesehatan, serta melakukan pengumpulan dan manajemen data gizi berbasis rumah tangga.

Bertindak sebagai pembahas dalam workshop ini, Prof. Dr. Soekirman; Guru Besar Ilmu Gizi IPB memberikan masukan terkait standarisasi konsep gizi bagi para akademisidan stakeholder, sinergisitas lintas sektor dalam mengatasi masalah gizi, dan pemahaman yang benar bahwa intervensi program gizi harus dimulai dari outcome yang ingin dicapai sebagai baseline-nya. Pada kesempatan yang sama, Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, Ph.D. sebagai Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas menyampaikan bahwa dalam hal penyelamatan 1000 HPK, akademisi berperan memberikan sumbangsih terhadap kebijakan dari hasil penelitian yang dilakukan. Selain itu, penelitian juga harus menyasar masyarakat lokal, dalam arti mengakomodir local wisdom. Deputi KSPK BKKBN; Ir. Ambar Rahayu, MNS. menyorot tentang pentingnya elaborasi tridharma perguruan tinggi dalam hal penyelamatan 1000 HPK dengan program-program BKKBN antara lain Generasi Berencana (GenRe), Bina Keluarga Balita, dan sebagainya. Pada kesempatan yang sama, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan; Dr. dr. H. Rachmat Latief, Sp.PD, M.Kes, FINASIM mengkritisi bahwa selama ini implementasi program tidak sebagus yang direncankan dalam tataran akademik, sehingga perlu dikaji kembali efektivitas program penyelamatan 1000 HPK di tataran perencanaan. Kementerian Sosial RI yang diwakili oleh Dr. Harapan Lumban Gaol turut memberikan masukan bagi institusi pendidikan agar pengembangan kurikulum Perguruan Tinggi Kesehatan Masyarakat mengakomodir standarisasi kompetensi pendamping Program Keluarga Harapan.

Reportan : Faisal Mansur dan Dedik

 

SDG Untuk Pangan Dan Gizi”

oral10Pembicara 1 :
Dr. Arum Atmawikarta, SKM MPH (Manager Pembangunan Pilar Sosial, Sekretariat SDGs Nasional Kementerian PPN/ Bappenas)

Judul :
Evaluasi Pencapaian MDG’s dan Pelaksanaan SDG’s : Fokus Tujuan 2 “Tanpa Kelaparan”

Dimulai dari MDG”s yang telah berakhir pada tahun 2015, pencapaiannya dari 8 goal ada 18 target dan 67 indikator . Ada 49 indikator yang sudah tercapai dan 18 indikator yang tidak tercapai. Fokus pembicara adalah pada tujuan 2, tetapi sebelumnya bercerita mengenai tujuan 1 yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, bahwa rakyat Indonesia sampai saat ini belum bisa mencapai kecukupan gizi. Trend secara nasional sudah relatif rendah angka prevalensinya, tetapi disparitas antar wilayah menjadi buruk.

Tantangan ke depan adalah bagaimana kita bisa mengurangi prevalensi stunting dari anak baduta dan anak balita. Stunting bisa terjadi pada seluruh kelompok, tidak hanya pada kelompok miskin saja, tapi memang terbanyak 40% kelompok miskin prevalensinya lebih tinggi.

Sudah diteliti selama ini bahwa program Raskin mempunyai dampak hanya 1,4%, sedangkan bantuan uang kepada masyarakat program keluarga harapan (PKH) ini lebih tinggi karena jika anak disekolahkan atau diimunisasi, ibunya diperiksa kehamilannya maka diberi uang, dampaknya bisa menurun 2,4%. Program yang sedang dan akan meningkat adalah pemberian kupon, benar-benar kupon yang hanya bisa ditukarkan dengan produk yang lebih jelas targetnya. Jika melihat angka rata-rata yaitu 37% ini lumayan, tetapi jika melihat sebarannya antar propinsi di Indonesia sangat berbeda sebagai contoh di daerah NTT, Sulawesi Barat dan lain-lain ini 60% anak-anaknya stunting, dan ini menjadi isu disparitas. Seorang peneliti S3 di UI meneliti dengan menggunakan data Riskesdas mengenai sejarah stunting terhadap prevalesni penyakit Diabetes Melitus dan Hypertensi yang telah diteliti oleh Prof Barter, dicoba di Indonesia ternyata terbukti cukup menguatkan penelitian tersebut.

Sejak dulu sampai sekarang kita belum bisa menurunkan anemia pada ibu hamil, ternyata setelah diteliti oleh Litbankes, compliance meminum Fe hanya 30%, tetapi sudah diteliti di negara luar bahwa Fe sudah digabung dengan selenium, sehingga ini menjadi area riset ke depan di Indonesia.

Waktu MDG’s pemerintahan bekerja sendiri dan kurang mengikutsertakan pihak lain, tetapi sekarang dalam pelaksanaan SDGs aktornya ada 4, yaitu :

  1. Pemerintah
  2. Dunia usaha
  3. LSM
  4. Akademisi dan Organisasi profesi

Sehingga dana yang dulu hanya pemerintah tetapi sekarang dari semua keempat aktor yang ada di atas.
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah pada RPJMN kita sudah tertampung? Sudah, jadi dari 169 target global, yang ada pada RPJMN kita yaitu 96. Jadi belum semua kesepakatan global itu ada pada RPJMN kita, sehingga ini yang perlu kita perbaiki utk RPJMN dan rencana tahunan.

Kesimpulannya adalah pengalaman Indonesia dalam MDG’s sangat berguna dalam pelaksanaan SDG”s juga tujuannya lebih lengkap, sehingga kompetensi dan profesionalisme tenaga kesehatan, pangan dan gizi untuk mencapai sasaran SDG”s perlu terus ditingkatkan. Untuk itu, kerjasama erat antara Institusi Pendidikan Tinggi dan Organisasi Profesi terkait pangan dan gizi sangat diperlukan.

materi presentasi

Pertanyaan :

  1. Hadian Arifin dari Stikes Ekalaya/ Pita Putih Palangkaraya :
    Bagaimana jika semua yang hadir, membuat rencana kerja dalam menghadapi stunting. Perlu ada kebijakan, Fe yang tidak cukup, harusnya ada pemeriksaan hemoglobin. Seharusnya pemeriksaan hamil 14 kali bukan 4 kali, kr rakyat Indonesia terbiasa memilih yang minimal.

    Jawab :
    Data riskesdas 2007, 2010-1013 baru sadar masalah angka stunting, angka bukan membaik tapi meningkat dan ini sudah menjadi global isu.
    Sri Mulyani menunjuk sangat baik tentang stunting karena dampaknya ke depan.
    Fe jadi persoalan karena alasan mual, tetapi sudah diganti dengan asam fumarat Antenatal di indonesia terjadi hal yang aneh, karena pada tahun 2013 menguji kompetensi dan yang lulus hanya 50%, sehingga kompetensi menjadi persoalan yang bisa membuat antenatal tinggi tapi angka kematian juga tinggi.

  2. Ahmad Fahrudin dari Samarinda :
    Pentol cireng adalah makanan yang sering ada di sekolah, adakah kerjasama pihak sekolah dengan akademisi. Konsumsi lebih banyak nasi dari pada lauk, apakah ada pemeriksaan terhadap pesantren.

    Jawab:
    Sudah diangkat duta stunting yaitu Solahudin ( adik Gusdur) dan sudah ada kerjasama FKM UI dengan Solahudin. Solahudin sudah melakukan di pesantrennya sendiri dan stunting-nya pendek. BTKL Yogya, sekretariat SDG”s dan BPS sudah bekerja sama untuk air bersih, jika dulu MDG”s yang diperiksa akses air bersih, tetapi sekarang akses air bersih yang aman yang tidak mengandung E-coli.

Reportase : Bella Donna , dr. MKes

Kebijakan dan Ekonomi Kesehatan

simp16

Standar Pelayanan Minimal (SPM) Kesehatan menjadi topik pertama yang disampaikan oleh Prof. dr. Purnawan Junadi, MPH, DrPH (Universitas Indonesia) di simposium 16, Konas IAKMI (Jum’at, 4 Nov 2016). Berbeda dengan SPM sebelumnya, Prof. Purnawan menjelaskan bahwa SPM kesehatan tahun 2016 saat ini akan didukung dengan PP SPM. Sejauh mana pembagian urusan pemerintah pusat, provinsi, dan kab/ kota akan berpengaruh pada tercapainya keberhasilan SPM kesehatan. Berdasarkan data NHA tahun 2014, Prof. Purnawan menjelaskan bahwa biaya layanan preventif masih berkisar 10-15% dari total biaya kesehatan. SPM Kesehatan yang baru ini memegang peran penting dalam menyeimbangkan UKM dan UKP, terlebih telah menjadi indikator kinerja pemerintah daerah dengan target merata 100 %.

materi

Sebagai bagian kebijakan dan ekonomi kesehatan, Prof. Dr. dr. M. Alimin Maidin MPH (Universitas Hasanuddin) memaparkan materi yang mengevaluasi efektivitas program JKN dari aspek yankes, pelayanan kepesertaan, kepuasan pelayanan, dan efektivitas pelayanan. Prof. Alimin menegaskan bahwa permasalahan regulasi dan manajemen pelayanan masih sering terjadi yang salah satunya berdampak pada manajemen pengadaan obat. Kekosongan obat, tidak semua obat tersedia di dalam e-katalog, monopoli produsen obat tunggal, dan panjangnya proses administrasi e-katalog merupakan beberapa permasalahan yang Prof. Alimin temukan dalam kajiannya. Perbaikan kebijakan dan manajemen layanan yang menjadi bagian rekomendasi Alimin yaitu : prosedural kepesertaan, pengadaan obat, sistem rujukan, dan penerapan clinical pathway pada penyelenggaraan tarif INA-CBG’s.

materi

Sebagai praktisi, Hendi Wijaya, SKM, MPH (Direktur RSUD Sambas) melengkapi sesi ini dengan memaparkan story change di RSUD Sambas pasca BLUD. Berbagai perbaikan sarana prasarana juga diikuti oleh peningkatan ketersediaan tenaga kesehatan, khususnya dokter spesialis. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Hendi beserta tim yaitu adanya MoU antara RSUD Sambas dengan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro yang menjadi stase untuk residen senior. Melalui kerja sama dengan salah satu provider komunikasi, RSUD Sambas akhirnya menyediakan sarana pengaduan dan sarana informasi yang semakin mendekatkan pelayanan rumah sakit kepada masyarakat. Hendi tidak memungkiri bahwa perubahan ini tidak lepas dari keterlibatan multisektor dan komitmen promotif preventif yang senantiasa menjadi perhatian. Walaupun demikian, Hendi memaparkan bahwa masyarakat miskin yang belum dijamin oleh PBI pusat dan daerah masih menjadi permasalahan tersendiri bagi RSUD Sambas.

Oleh: Budi Eko Siswoyo

Peran Pemda dalam Peningkatan Derajat Kesehatan Masyarakat

simp20

1. Wakil Bupati Kutai Kertanegara, Drs. Edi Damansyah, MSi

Kutai Kertanegara adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur, yang memiliki kapasitas fiskal tinggi karena adanya hasil sumbangan sumber daya alam berupa tambang dan minyak bumi. Kutai Kertanegara menyumbang 237Triliun PDRBnya untuk PDB Nasional. Bagi hasil yang kembali ke Kutai hampir mencapai 4 triliun rupiah per tahun (2015). Tidak salah jika Kutai ini menjadi Kabupaten terkaya di Indonesia. Tetapi bagaimana dengan sektor kesehatannya? Kabupaten ‘sekaya’ Kutai ini ternyata masih menyimpan suatu tantangan besar dalam status kesehatan, terutama derajat kesehatan ibu dan anak. Jumlah kematian ibu masih tinggi, data terakhir menunjukkan jumlah angka kematian ibu mencapai 29 jiwa, untuk Kabupaten dengan jumlah penduduk sekitar 200 ribu jiwa. Tantangan besar ini telah diidentifikasikan oleh pemerintah daerah Kutai, dimana pada sisi layanan kesehatan, terjadi kesenjangan akibat adanya ketidaksinkronan antara layanan kesehatan primer ke layanan kesehatan sekunder dan lanjutan. Masalah rujukan ibu hamil untuk bersalin, menjadi tantangan besar yang harus dijawab oleh pemkab Kutai. Melalui serangkaian perbaikan sistem kesehatan dan sistem layanan kesehatan bagi ibu hamil dan bersalin, maka diambil suatu kebijakan yaitu sinkronisasi rujukan layanan kesehatan ibu bersalin melalui perbaikan sistem informasi. Melalui model ini ketika ibu hamil ingin bersalin, sejak di layanan kesehatan primer, sudah terpantau, sehingga ketika harus dirujuk ke layanan kesehatan lanjutan (RSUD), semua bisa dilakukan penanganan secara tepat, cepat dan akurat. Melalui Model Hotline Ibu Bersalin ini, kabupaten Kutai Kertanegara mulai menunjukkan sinyal positif penurunan jumlah kematian ibu.

2. Kepala Dinas Kesehatan Kab. Jeneponto, HM Syafruddin MKes

Jeneponto berubah dari daerah bermasalah kesehatan menjadi daerah dengan prestasi kesehatan. Daerah ini secara sisi supply sudah terlengkapi dengan berbagai macam sarana prasarana kesehatan. Akses juga mudah dijangkau, tidak ada akses ke faskes lebih dari 1 jam dengan masalah kualitas akses sedang (masih ada kendala kualitas jalan). Tetapi IPK
M Jeneponto termasuk yang terendah di Sulawesi Selatan. Ini terlihat dari cakupan programnya yang rendah. Secara anggaran, untuk dinas kesehatan saja sudah di atas 6%, dan jika digabung dengan RS, maka akan menjadi 11 % lebih. Ternyata telah terjadi kebijakan yang tidak tepat pada struktur anggaran. Banyak anggaran yang tidak secara langsung menyetnuh pada sisi peningkatan status kesehatan masyarakat.

Selain kepada kualitas pemberi layanan yang belum sesuai dengan standar. Masalah data juga menjadi masalah, karena data kependudukan tidak valid. Sehingga teridentifikasi ada masalah kondisi masyarakat yang tidak terlindung oleh sistem kesehatan. Permasalahan ini diselesaikan secara lintas program dan lintas sektor. Saat ini 70% program dikerjakan oleh SKPD kesehatan (dinas kesehatan, RS, dan BKKBN), dan 30% oleh lintas sektor. Fokus kepada program 1000 HPK untuk perbaikan input demand kesehatan masyarakat. Kunci suksesnya adalah kemitraan antar lintas program dan lintas sektor termasuk dengan lembaga kemasyarakatan, akademisi, dan kaum bisnis.

Reporter: Deni Harbianto, SE

Urgensi Riset Implementasi

Evaluasi Pembayaran Kapitasi Provider Primer di Era JKN
Dr. drg. Yulita Hendrartini, M.Kes

Mengapa dilakukan evaluasi? karena kesalahan pada pembayaran di provider pelayanan primer. Latar belakang bahwa provider primer sangat esensial untuk mencegah biaya pelayanan yang sangat besar yang pada awal 2014 yaitu 8 Trilyun di FKTP dan RJTL hampir 23 Trilyun dengan FKTP 197 ribu. Implementasi kebijakan BPJS Kesehatan yang menerapkan norma penetapan besaran kapitasi serta pembayaran kapitasi berbasis pemenuhan komitmen. Apakah implementasi kebijakan yang ditetapkan Pemerintah Pusat dan kebijakan yang dibuat BPJS Kesehatan sudah mampu mendorong pembayaran yang lebih efisien?

Data dari 755 FKTP melibatkan puskesmas, DPP, dan klinik pratama. Dukungan dana dari BPJS Kesehatan. Hasilnya ada ketimpangan distribusi peserta, kepersertaan di Puskesmas lebih besar. Terkait dengan beban kerja yang berlebihan yaitu 1 dokter bisa menangani 30 ribu peserta, ini fakta. Di daerah tertinggal kapitasinya hanya 3000-3500 rupiah. Sedangkan daerah non tertinggal bisa 6000 rupiah. Jumlah dokter di DTPK sangat terbatas apabila untuk memenuhi dokter umum yang ketentuannya harus 2. Distirbusi rasio utilisasi masih besar, dari 755 FKTP rasionya sekitar 6%, di perkotaan lebih tinggi lagi. Jumlah dokter terhadap biaya aktual ternyata tidak memberikan dampak signifikan. Tetapi rerata biaya di Puskesmas 130.000 – 231.000 ribu (unit cost berdasarkan pendekatan rasio utilisasi kuratif).

Sebaiknya kapitasi harusnya mempertimbangkan rasio utilisasi bukan jumlah dokter. Kapitasi dipengaruhi rasio utilisasi dan unit cost bukan jumlah dokter. Sehingga kesimpulan, pembayaran kapitasi ini memungkinkan inefisensi biaya, perlu formulasi dari kapitasi yang dapat mendorong peningkatan mutu dan tindakan promotif dan preventif.

Kesenjangan biaya aktual perlu dihindari dengan memeratakan beban kerja jumlah dokter dan karakteristik peserta JKN. Penentuan besaran kapitasi sebaiknya mempertimbangkan rasio utilisasi dan adjustment faktor. BPJS Kesehatan dapat memberikan insentif khusus bagi FKTP daerah terpencil untuk mendorong pemerataan akses dan ketersediaan tenaga kesehatan.

Hasil Riset Implementasi JKN di Pelayanan Primer-Kapitasi
dr. Likke Prawidya Putri, MPH

Mengapa penelitian kapitasi? karena kapitasi merupakan kebijakan, ada siklusnya dan ada perkembangan kapitasi selanjutnya. Lalu bagaimana pelaksanaan kapitasi di lapangan?. Penelitian yang dilakukan oleh UGM, P2JK, dan mitra universitas Sumut, Universitas Jember, dan Universitas Cendrawasih menjawab pertanyaan tersebut. Topik riset ditentukan dengan mengunjungi calon tempat studi, dan konsultasi dengan kementerian dan stakeholder tingkat nasional. Pertemuan nasional dilakukan untuk menentukan topik penelitian, salah satunya regulasi.

Tujuan penelitian riset implementasi adalah untuk memahami tantangan dan memahami kebijakan ke depan. Metode yang digunakan yaitu kualitatif dan kuantitatif. Tahap I pengumpulan data sekunder di FKTP termasuk kualitatif. Tahap selanjutnya datang ke dinas kesehatan, Bappeda dan instansi lain. Kendala-kendala ditemukan pada saat analisis data kualitatif. Kapitasi idealnya dapat meningkatkan kualitas pelayanan dengan mempengaruhi kinerja SDM. Terkait jumlah dokter, kapitasi tidak terlalu berpengaruh, ada FKTP yang bertambah dan ada juga yang berkurang. Kemudian rujukan, ini terkait kinerja, ketat merujuk tidak terjadi di semua kabupaten kota karena salah satunya dorongan dari masyarakat, hal lainnya yang menyebabkan rujukan adalah obat dan alkesnya tidak ada dan SDM kesehatannya juga tidak ada.

Maka, dibutuhkan peran dinas kesehatan untuk mengawasi dan mengelola dana kapitasi. Ada dinkes yang mengokomodir alat kesehatan dan obat, namun ada juga yang perannya terbatas. Kapitasi diberikan ke FKTP namun tidak mengungkit performa FKTP tidak hanya karena SDM, namun juga ketersediaan obat dan alkes dari dinas kesehatan itu sendiri.

Urgensi Riset Implementasi
dr. Yodhi Mahendradhata, M.Sc., PhD

Mengapa urgensi riset implementasi? Riset implementasi marak karena banyak kekecewaan dengan banyaknya teknologi dan kebijakan ketika di atas kertas sangat menjanjikan tetapi dalam pelaksanaan jauh dari yang diharapkan. Contoh intervensi CRTCT yang berbasis bukti dan cost efektif ternyata tidak banyak berdampak penurunan HIV karena banyak kendala di lapangan. Ini juga terkait mata rantai sangat panjang antara efikasi di atas kertas dibanding efektifitas di lapangan. Contoh kasus dengue yang baru dengan efikasi 60% bisa menurunkan prevalensi dengue 20-30% kalau datanya tidak mudah diakses maka dengue-nya tidak berkurang, provider tidak yakin maka juga tidak akan diberikan datanya. Ada reduksi dampak efikasi ke efektifitas.

Sekarang kita tahu bahwa intervensi generik/sama namun apabila diterapkan di konteks berbeda dan strategi implementasi yang berbeda maka hasilnya akan berbeda. Contoh kebijakan-kebijakan di Indonesia, di ratusan kabupaten/kota maka hasilnya juga berbeda wilayahnya. Ada 3 elemen yang mempengaruhi agar berhasil, yaitu:

  1. Strategi berbasis bukti
  2. Implementasi yang efektif
  3. Konteks yang mendukung

Riset implementasi intinya adalah riset kesehatan untuk mempromosikan upaya-upaya berbabis bukti supaya lebih berhasil dalam pelaksanaannya. Intinya mengidentifikasi dan mengatasi kendala-kendala dengan lebih efektif dan berkualitas. Inti solusinya dilakukan bersama dengan stakeholder dan pengambil kebijakan. Hukumnya wajib dilakukan bersama stakeholder. Pertanyaan penelitian menjadi jantungnya dan relevan dengan stakeholder dan pengambil kebijakan.

Diskusi:

Riset implementasi seperti apa. idealnya seperti apa?

Ada perubahan yang terjadi dalam Riset Implementasi, Principal Investigator atau PI-nya merupakan pengambil kebijakan sebagai bentuk ideal dalam riset implementasi. Terlibat dalam fase-fase kritis, analisis, kesimpulan dan rekomendasi.

Untuk saat ini, PI masih di akademisi, masih bersifat konsultasi dengan pengambil kebijakan dan pada saat pengumpulan data, pengambil kebijakan ini tidak mengikuti karena kemungkinan bisa terjadi bias. Hasil penelitian kapitasi ini merupakan dorongan kebijakan peraturan atas norma kapitasi yang harusnya melibatkan stakeholder yaitu P2JK, Kemenkes dan BPJS Kesehatan. Hubungan harmonis antara peneliti dengan stakeholder/policy maker harus dijaga dan harus independen.

Apakah rekomendasi dalan penelitian evaluasi bisa dikembangkan menjadi riset implementasi. Perlu adanya penguatan bagaimana sistem pembayaran insentif pelayanan dan menentukan kinerjanya. Permasalahan yang terjadi sekarang adalah tidak punya akses data ke BPJS Kesehatan. Pemda tidak mempunyai power mengatur BPJS Kesehatan. Pay performace bisa digunakan untuk mengukur kinerja berbasis kenerja individu. Implementasi sekarang menunjukkan apakah kinerja berbasis norma dan apakah benar bisa diterima di kondisi lapangan. Hasil penelitian pun menunjukkan rekomendasi norma kapitasi jangan berbasis jumlah dokter dan sarana prasarana namun berbassi kinerja. Hal ini dikarenakan istilah norma tidak tepat untuk menentukan jumlah kapitasi.

Kebijakan Badan Litbangkes dalam Riset Implementasi
Naigoat Consalony Tambunan, SKM, ME

Ada perubahan badan Litbang sejak menggunakan kerangka kerja WHO untuk Litbang. Awalnya litbang dibentuk atas kritik Pelita I dengan fokus pembangunan bersifat fisik. Organisasi litbangkes terdiri dari 4 pusat litbang besar mempunyai mandat fungsi litbangkes berbasis mitra di unit program Kemenkes. Visi yang diemban dalam proses internalisasi terus-menerus, ada pergeseran isi dari lembaga ke promosi litbangkes sebagai lokomotif pembangunan nasional. Arah badan Litbangkes mulai bergeser bahwa litbang sebagai pandu/pemberi arah dalam pembangunan kesehatan. WHO sudah memberi referensi dimana peran Litbang dalam pembangunan kesehatan.

Misi:

  1. Menyediakan data, informasi, dan pengetahuan tentang masalah Kesehatan dan Penyebabnya
  2. Menghasilkan solusi perbaikan pembangunan kesehatan melalui inovasi teknologi kesehatan
  3. Menyediakan data, informasi dan pengetahuan tentang pencapaian pembangunan kesehatan.

Pertemuan koordinasi telah dilakukan untuk menentukan sistem Litbang. Sistem Litbang tidak bisa lepas dari sistem lain yang terkait. Artinya bahwa badan Litbang bermitra untuk setiap program kesehatan.

 

oleh Faozi Kurniawan

Reportase Simposium 3

oral4

Keselamatan dan Kesehatan Kerja lalu lintas

Pembicara : Prof. Tjipto Suwandi
Judul : Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lalu Lintas

materi

Tujuan utama dari keselamatan kerja adalah meningkatkan produktifitas dan objek yang dipelajari dalam K3 hanya ada 2 yang utama yaitu : penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja.

Dari penelitiaan ternyata >60% kecelakaan yang terjadi justru bukan di tempat kerja. Dan di Indonesia sekitar 19,86% angka kecelakaan lalulintas lebih tinggi dibanding Negara Denmark, jerman, Australia,china.

Dan ternyata angka kejadian kecelakaan lebih tinggi pada Negara yang rendah pemasukannya. Situasi yang menyebabkan ini adalah substandard condition seperti hujan, mengemudi malam, keslahan sendiri pada kendaraan, es, salju, kabut /asap yang mengganggu, jalan jelek, kelokan tajam, binatang yang mendadak lewat jalan, dan kebut-kebutan di jalan.

Tetapi yang paling penting dan lebih berperan adalah karena substandard act seperti :tidak focus pada saat mengemudi, ngebut pesta sampai pagi, menjelang lampu merah semakin kencang, melanggar lalulintas.

Sehingga perlu adanya manajemen lalulintas dari Dinas Perhubungan, perencanaan tata kota dan pengawasan yang lebih ketat, seperti tindakan tilang, perbaikan jalan dan rambu dan penahan kendaraan.

Kesimpulan :bahwa safety riding adalah yang utama sebagai pencegahan dalam suatu kecelakaan.

Pembicara 2 : Hanifa M. Denny, SKM, MPH, Ph.D
Judul : Implementasi k3 : Dari kampus kemasyarakat ,Untuk masyarakat yang sehat menuju SDGs 2030

materi

Penerapan budaya K3 dalam rangka membentuk masyarakat pekerja sehat sangat dibutuhkan, agar terjadi pekerja yang sehat dan aman. Budaya K3 sering disebut safety culture tapi tidak safety health culture.

Setiap kali melakukan kumpul-kumpul dikampus maka harus ada safety induction dan kursi maksimal 2-2 untuk memudahkan evakuasi jika ada bencana. metode atau kondisi dilakukan agar tidak membahayakan keselamatan kerja.

Behavior-based safety and health adalah suatu proses yang membantu pekerja mengidentifikasi dan memilih berperilaku aman. Kondisi aman dan sehat tempat kerja komponen manusia ditentukan oleh :

  • Kapabilitasfisik
  • Pengalamandan
  • Training, perlu ada ceklist perilaku yang benar dan salah

Pada K3 yang paling pentinga dalah Simple, Praktis, Promotif dan preventif serta tidak muluk-muluk sehingga yang seharusnya celaka menjadi tidak celaka.

Implementasi yang perlu dilakukan di Perguruan Tinggi :

  • Pemasangan apar,
  • Pemasangan tanda-tanda petunjuk keselamatan
  • Penerapan safety induction
  • Implementasi prosedur kerja aman

Contoh :

  1. dosen dan mahasiswa merelayout ruangan untuk memudahkan evakuasi
  2. dosen memastikan bahwa ruangan aman, sampah dibuang pada tempatnya
  3. peringatan hujan dan tangga
  4. training pada mahasiswa

Budaya yang dilakukan dan diajarkan di kampus akan membawa mereka menjadi pekerja yang paham berbudaya aman

Pembicara 3 : Yahya Thamrin, PhD
Judul : Serious Injuries among Young Workers: Students’ perspectives toward Occupational Health and Safety Education

materi

Di Australia anak-anak usia 15-17 jauh lebih tinggi terjadi kecelakaan karena mereka sekolah sambil bekerja. Anak-anak diluar biasanya usia 17 tahun mereka sudah ingin hidup sendiri sehingga itu yang membuat mereka sekolah sambil bekerja. Tetapi ternyata di Indonesia usia 15-24 tahun juga tinggi angka kecelakaan kerja.

Di dapati juga bahwa lebih banyak orang-orang pendatang seperti di sekolah internasional, karena biasanya mereka membutuhkan dana lebih untuk membiayai sekolah dan hidup mereka. Sehingga dibutuhkan peran sekolah untuk murid :

  • Memberi materi safety induction di sekolah
  • Basic knowledge tentang K3
  • Diberi pemahaman untuk aman bekerja diluar sekolah.

Reportase : Bella Donna, dr. MKes

Kesehatan Tradisional Indonesia

oral4Simposium 22 Kongres Nasional IAKMI ke-13 mengangkat isu kesehatan tradisional Indonesia. Pada kesempatan ini hadir Dra. Meinarwati, Apt., M.Kes. selaku Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional, Ditjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Meinarwati memberikan paparan tentang kebijakan pelayanan kesehatan tradisional yang merupakan implementasi pilar kedua rencana strategis Kementerian Kesehatan RI 2015 – 2019 yaitu penguatan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan tradisional menurut Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Lebih lanjut Dra. Meinarwati, Apt., M.Kes. menyampaikan bahwa prinsip terapi dalam pelayanan kesehatan tradisional adalah mengembalikan keseimbangan tubuh (promotif – preventif).

Selanjutnya, Meinarwati juga menyampaikan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 103 tahun 2014 bahwa pelayanan kesehatan tradisional dikategorikan menjadi pelayanan kesehatan tradisional empiris, komplementer, dan integrasi. Pemberi layanan kesehatan tradisional empiris yang disebut sebagai penyehat tradisional bekerja sesuai dengan pendekatan biokultural empiris di area promotif dan dilarang melakukan tindakan invasif. Sedangkan pemberi layanan kesehatan tradisional komplementer yang disebut dengan tenaga kesehatan tradisional bekerja sesuai dengan pendekatan biokultural dan biomedis empiris di area promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pada kesempatan ini, kementerian kesehatan menekankan pentingnya para pelaku peyehat tradisional memiliki Surat Terdaftar Penyehat Tradisional (STPT) dan tenaga kesehatan tradisional memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dari Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI). Pada prinsipnya, kebijakan yang dikelarkan oleh pemerintah bertujuan untuk melindungi pengguna dan pelaku pelayanan kesehatan tradisional secara legal di bawah payung regulasi yang jelas.

Pada kesempatan yang sama hadir pula para akademisi, praktisi, dan peneliti yang memaparkan hasil kajian layanan kesehatan tradisonal yaitu Dr. dr. Anna Khuzaimah, M.Kes. dari Balai Kesehatan Tradisional Masyarakat (BKTM) Makassar, Prof. Ir. H. Mappatoba Sila, Ph.D. dari Pusat Terapi Lebah RS Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. dr. Suryani As’ad, M.Sc., SpGK (K) dari Sekolah Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universtas Hasanuddin, dan Asep Rahman, S.KM., M.Kes. dari Yayasan Bina Lentera Insan Manado. Dr. Anna Khuzaimah memaparkan tentang implementasi pelayanan kesehatan tradisional di Balai Kesehatan Tradisional Masyarakat (BKTM) Makassar. Area yang dikerjakan meliputi pelayanan ketrampilan ramuan, pangan fungsional, pelayanan spa, akupuntur, dan akupresur. Anna berharap pelayanan kesehatan tradisional mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pendekatan promotif dan preventif. Paparan dilanjutkan oleh Prof. Mappatoba yang merupakan peneliti dan praktisi dalam bidang terapi berbasis lebah (apiterapi). Dalam paparannya, Mappatoba menyampaikan bahwa terdapat 13 produk yang berasal dari lebah memberikan manfaat bagi kesehatan tanpa efek samping apapun dan sudah teruji secara biomedis. Prof. Mappatoba merupakan praktisi dan peneliti yang melakukan kajian berdasarkan pendekatan relijius. Misi utama beliau adalah melakukan sosialisasi QS. An Nahl: 68-69 tentang kandungan dan manfaat lebah dari kacamata ilmu pengetahuan. Belia berharap kebijakan pemerintah mampu mengakomodir terapi lebah madu seperti halnya pemerintah memberikan payung hukum terhadap pelayanan kesehatan tradisional yang lain.

Sesi berikutnya adalah pemaparan bukti-bukti ilmiah pelayanan kesehatan tradisional oleh Prof. Suryani As’ad. Pada sesi ini dijelaskan bagaimana pengobatan tradisional bekerja secara ilmiah, baik dari aspek patofisiologi maupun patomekanisme-nya. Untuk mendukung paparan, Suryani menunjukkan hasil penelitian tesis maupun disertasi mahasiswa Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin yang mengambil topik tentang pengobatan tradisonal. Sebagai contoh penggunaan getah daun jarak sebagai antiinflamasi dan antibiotik, kurma sebagai penghambat produksi asam laktat, teripang untuk mempercepat penyembuhan luka, dan sebagainya. Suryani berharap pengobatan tradisional tidak lagi dipandang sebelah mata sebagai bagian dari complementary medicine, karena sudah terbukti secara ilmiah patofisiologi dan patomekanisme-nya di dalam tubuh manusia. Sebagai penutup, Asep Rahman sebagai Ketua Yayasan Bina Lentera Insan menyampaikan pentingnya pelayanan kesehatan tradisional mendapatkan perlindungan hukum. Selain melindungi pengguna, Asep menegaskan bahwa perlindungan hukum bagi pemberi layanan kesehatan tradisional sangat diperlukan mengingat banyaknya penyehat tradisional di Indonesia yang belum mendapatkan STPT. Asep juga mendorong Kementerian Kesehatan mengkaji beberapa body of knowledge pelayanan kesehatan tradisional yang belum mendapatkan legalitas, termasuk mendorong majunya keilmuan kesehatan tradisional dengan membuka program studi kesehatan tradisional di perguruan tinggi.

Reporter Dedik Sulistiawan

Sistem Informasi Kesehatan dan Patient Safety

simp23

1. Dian Sidik, SKM, MKM, Peneliti SIMKES

m-Health adalah suatu pengelolaan data kesehatan melalui layanan sistem informasi nirkabel. Pemanfaatan m-Health dalam pelayanan kesehatan telah menjadi hal yang umum digunakan saat ini. m-Health menggunakan teknologi mobile (bergerak) dan nirkabel. Teknologi ini mengumpulkan data secara individu kemudian pooling melalui suatu server untuk kemudian diolah. Hasilnya merupakan rekapitulasi kondisi individu, sehingga bisa dibuat semacam peringatan untuk provider, atau secara tidak langsung kepada yang bersangkutan. Aplikasi mobile technology dalam kesehatan saat ini sudah banyak diterapkan melalui smartphone. Mulai dari pengiriman data penyakit sampai dengan menggunakan fitur kamera untuk melihat hasil visualnya. Teknologi m-Heath akan dikembangkan menjadi lebih maju, dengan menggunakan teknologi smartwatch. Sehingga data kesehatan individu bisa semakin lengkap karena posisinya bisa untuk deteksi detak jantung, tekanan darah, dan sebagainya, karena smartwatch posisinya melekat pada tubuh.

2. Poppy Yuniar, SKM, MPH, Peneliti FKM UI

Standar Data dan Algoritma Prosedur Sistem Surveilance Berbasis Komunitas ini dibangun untuk menilai standar jenis datanya. Jika m-Health bekerja pada standar teknologi alatnya. Sedangkan surveilans berbasis komunitas disini digunakan karena suatu sistem informasi harus bisa merepresentasikan status kesehatan berdasarkan komunitas. Fasilitas based data mempunyai kelemahan, yaitu hanya menangkap data yang masuk ke pelayanan, sedangkan data yang berdasarkan komunitas, lebih bisa terukur karena data dikumpulkan pada tingkat populasi di komunitas, sehingga tidak hanya menampilkan data pada sisi output(seperti data cakupan layanan), tetapi juga melihat kualitas input (dengan nominator dan denominator lebih valid). Keuntungan dari model komunitas based adalah bisa menangkap secara dinamis perubahan peristiwa demografi (kelahiran, kematian, kesakitan, dsb).

3. Dr dr Khalid Saleh, SpPD KKV, Dirut RSUD Dr Wahidin Sudirohusodo

Khalid menjelaskan tentang sistem rujukan terintegrasi dalam menungjang patient safety. Suatu kombinasi elemen yang bertujuan menghasilkan data informasi yang akurat, tepat waktu, dan sesuai kebutuhan. Sehingga sistem ini mendukung layanan kesehatan akibatnya kualitas dalam pemberian pelayanan kesehatan menjadi optimal. Keselamatan pasien bukan suatu pilihan, tetapi merupakan hak pasien yang telah mempercayakan masalah kesehatan pada suatu sistem layanan kesehatan. Patient Safetysangat penting untuk menghidari kejadian tidak dikehendaki selama masa perawatan. Serta mengurangi kasus kejadian malpraktek atau hal hal lain yang berpotensi menimbulkan kesalahan dalam perawatan. Enam (6) Sasaran Patient Safety; 1. Ketepatan Identifikasi Pasien, 2. Peningkatan komunikasi yang efektif, 2. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai, 4. Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien,. 5. Pengurangan resiko kejadian infeksi yang tidak diharapkan, 6. Penurunan resiko pasien jatuh.

Reporter: Deni Harbianto, SE

Workshop Halal Science and Research

simp25Dalam sesi ini, materi dalam simposium disampaikan oleh Prof.Dr. Winai Dahlan. Beliau adalah pendiri sekaligus direktur dari Halal Science Center Chulalongkorn University di Thailand. Di awal sesi, materi beliau difasilitasi penyampaiannya oleh Prof. Veni Hadju dari Universitas Hasanudin Makassar. Prof. Veni Hadju membuka sesi materi dengan menyampaikan hal-hal mendasar yang berkaitan dengan masalah halal yang sangat erat kaitannya dengan masalah akidah bagi seorang muslim. Halal itu sendiri sangat terkait dengan praktik-praktik sebagai seorang muslim, syariat dan ibadah, serta muamalah dalam kehidupan. Status halal dan haram itu jelas dalam Islam. Namun, di antara keduanya ada perkara-perkara yang tidak jelas, dinamakan dengan perkara syubhat. Materi kali ini sangat erat sekali dengan masalah “ilmu tentang halal” atau halal science. Dasar sebenarnya adalah segala sesuatu itu harus jelas terlebih dahulu halal haramnya, tidak memiliki keraguan. Sebagai seorang muslim, hal ini juga harus dibarengi dengan keyakinan bahwa hal tersebut halal atau haram. Pemahaman, ilmu, dan praktik tentang halal tidaknya sesuatu, sebenarnya bukanlah hal yang sulit, hal ini sangat easy to practice. Dalam Halal Science terdapat beberapa spektrum yang perlu dipahami, antara lain :

  1. Pengembangan standar halal/standarisasi sistem untuk produk dan pelayanan yang halal (Halal Product and Services/HPAS)
  2. Riset dan pengembangan alternatif untuk mengganti bahan baku mentah yang haram
  3. Pengembangan metodologi biokimiadalam laboratorium forensik halal untuk melakukan skrining halal pada produk/bahan dasar produk.
  4. Melakukan inovasi untuk pembersih yang halal dalam tingkatan proses ataupun bahan-bahan yang digunakan.
  5. Informasi Komunikasi dan Teknologi untuk menjamin integritas halal dan memfasilitasi perdagangan yang halal pula.
  6. Ilmu halal sebagai alat untuk membangun kepercayaan konsumen dan Consumer Brand Relationship (CBR)

Sebagai catatan khusus, sesuatu yang haram dapat digunakan/dimafaatkan hanya jika dalam keadaan terpaksa/darurat. Contohnya obat, makanan, dll yang memang tidak/belum ada pilihan lain tetapi hal tersebut sangat mendasar bagi kehidupan manusia. Jika kebiasaan halal ini diterapkan dalam semua aspek kehidupan, maka kebiasaan dan lingkungan yang mengacu pada “ke-halal-an” akan mudah tercipta di masyarakat. Tentunya hal ini juga akan membantu umat muslim untuk terhindar dari hal-hal yang haram ataupun menekan adanya keraguan-keraguan akibat hal-hal yang syubhat.

Spektrum halal dalam keilmuan ilmiah diperlukan untuk mengembangkan suatu sistem halal itu sendiri. Ada suatu riset ilmu yang dapat digunakan sebagai upaya mengganti gelatin pada kapsul dari rumput laut agar lebih halal atau mengembangkan inovasipembersih najis dari tanah atau dalam bentuk clay. Peran dari teknologi dan keilmuan ilmiah sangat besar untuk membentuk suatu sistem produksi yang halal dan konsumsi produk yang halal pula. Hal ini akan mudah untuk masuk ke dalam kehidupan yang sehat berdasar pada konsep dan cap halal pada suatu produk.

Di Thailand, Prof. Dr. Winai Dahlan tidak menjadikan alasan “halal” untuk mengembangkan suatu laboratorium penelitian dan Halal center. Satu hal yang beliau sadari adalah beliau ingin melindungi konsumen dan beliau bekerja sebagai seorang ilmuwan muslim. Maka, dapat disimpulkan bahwa beliau bekerja berdasakan landasan halal dalam Islam yang diterapkan untuk seluruh masyarakat.

Reporter : Aulia Novelira, SKM.,M.Kes

Reportase Pleno 1.1

pleno1-1

pleno1-1

Sesi plennary pertama diisi oleh Kepala BKKBN Surya Chandra Surapaty yang membuka dengan menekankan 4 pilar kependudukan: pilar pertama yakni program KB dan kesehatan reproduksi, program kesehatan reproduksi remaja (KRR), program ketahanan keluarga dan penguatan pelembagaan keluarga kecil. Dalam satu dekade ke depan, Indonesia akan mengalami situasi yang disebut dengan ‘bonus demografi’. Bonus demografi adalah situasi di mana proporsi penduduk usia produktif akan lebih tinggi daripada proposi penduduk non produktif, yakni yang berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun. “Bonus demografi adalah pedang bermata dua, bisa menjadi anugerah maupun musibah, anugerah akan diperoleh apabila tenaga kerjanya berkualitas, dan bencana terjadi bila kondisi sebaliknya”, lanjut Surya. Terkait dengan kualitas tenaga kesehatan, beliau menekankan pentingnya pembangunan karakter melalui revoluse mental, yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno di tahun 1957 dan didengungkan oleh Presiden Joko Widodo di tahun 2014. Revolusi mental ini ingin membangun jiwa yang menjunjung tinggi etos kerja dan gotong royong, yang dapat ditumbuhkan dengan adanya komunikasi seseorang dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan dengan Tuhan.

Terkait dengan program kesehatan, saat ini BKKBN telah menyelenggarakan program ‘Kampung KB’, yaitu suatu konsep miniatur pelaksanaan program Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) tingkat nasional yang dilaksanakan di tingkat RW, dusun ataupun setara. Konsep kampung KB ini mengutamakan adanya keterpaduan seluruh bidang atau lintas sektor terkait. Kampung KB dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Konsep kampung KB ini telah selaras dengan program keluarga sehat yang menjadi prioritas kementerian kesehatan saat ini.

materi

Sesi plennary kedua dibawakan oleh Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan, Kementerian PPN/Bappenas, Dr. Subandi Sardjoko. Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang diterapkan sebagai pengganti Millennium Development Goals menjadi strategi pembangunan kesehatan di Bappenas saat ini. Perbedaan utama antara MDGs dan SDGs adalah konsep top-down di MDGs yang berubah menjadi bottom-up di SDGs dengan melibatkan lebih banyak pihak untuk mencapai tujuannya, antara lain dari sektor bisnis dan filantropi. Sehubungan dengan ini, Bappenas menguatkan perannya untuk mengkoordinasikan semua pihak yang terlibat untuk bersinergi mencapai TPB antara lain melalui: 1) menyamakan persepsi dan membangun komitmen antara pemerintah dan parlemen, masyarakat sipil (CSO) dan media massa, filantropi dan bisnis, serta akademisi dan pakar; 2) mengembangkan prinsip kemitraan dengan penyusunan grand strategy komunikasi untuk memicu partisipasi tidak hanya dari pemerintah tetapi juga masyarakat, dan; 3) melakukan koordinasi dan fasilitasi kepada daerahdalam upaya pengarusutamaan TPB/SDGs ke dalam rencana pembangunan daerah.
Di sesi ini, Subandi menyebutkan bahwa IAKMI, sebagai ahli kesehatan masyarakat, memiliki peranan penting untuk peningkatan kapasitas, center of excellence, mendukung pemantauan-evaluasi-pelaporan, serta melaksanakan penelitian untuk menghasilkan kebijakan berbasis bukti.

Moderator menyimpulkan bahwa pendekatan keluarga yang bersifat bottom up adalah prioritas dalam kesehatan masyarakat saat ini dan merupakan kewajiban bagi para ahli kesehatan masyarakat untuk bahu-membahu mewujudkannya.

materi

reporter: Likke Prawidya Putri 

 

 

 NAVIGASI REPORTASE

Hari I

Hari II

Hari III

 

 

 

{jcomments on}

 

Reportase Workshop Penelitian Implementasi Kebijakan Kesehatan

work2nov1

work2nov1

“Selama ini penelitian hanya dibaca oleh pembuat kebijakan lalu dimasukkan ke dalam lemari, penelitian kebijakan harus melibatkan pembuat kebijakan secara aktif.” Begitulah kalimat pembuka yang disampaikan oleh Prof. Laksono Trisnantoro dalam kegiatan “Workshop Penelitian Implementasi Kebijakan” pada hari Rabu (02/11/2016). Workshop ini merupakan bagian dari rangkaian acara Pra-Konas IAKMI XIII yang diselenggarakan di Makassar, 3 – 5 November 2016. Kegiatan ini diramaikan sekitar 126 orang dari berbagai institusi baik praktisi maupun akademisi dan peneliti kebijakan kesehatan.

Salah satu definisi Riset implementasi, seperti diungkapkan oleh dr. Yodi Mahendradhata, MSc. PhD., merupakan sebuah pendekatan sistematik untuk memahami dan mengatasi kendala-kendala menuju implementasi intervensi, strategi, dan kebijakan kesehatan yang efektif dan berkualitas. Ini membuat riset implementasi cenderung “ateis”, artinya tidak terikat dengan suatu jenis metodologi saja, tapi menjadikan metodologi alat untuk menjawab pertanyaan penelitian dan kebutuhan untuk menyediakan bukti bagi implementasi kebijakan. Sementara penelitian biasa hanya berbicara mengenai indikator (what) dan outcome kesehatan, penelitian implementasi turut melihat bagaimana implementasi dijalankan (how) dan outcome implementasinya.

Workshop ini disertai sesi Panel yang diisi oleh dr. Likke Prawidya Putri, MPH yang menceritakan mengenai kegiatan penelitian implementasi JKN di layanan primer beserta tantangan-tantangan yang muncul selama penelitian. Ia mengungkapkan bahwa salah satu tantangan adalah kebijakan JKN berubah-ubah selama proses penelitian berjalan. Hal ini diakui oleh drg, Doni Arianto, MKM dari Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan (PPJK) Kemenkes RI. Meski demikian, ini merupakan tanda bagus karena walaupun penelitian masih berjalan, hasilnya dapat langsung digunakan dalam perbaikan kebijakan JKN. Upaya ini dinilai positif oleh pembahas Prof. Dr. dr. HM Alimin Maidin, MPH. Ia menambahkan bahwa permasalahan JKN lainnya di layanan primer adalah besarnya pemasukan kapitasi tidak diimbangi dengan kurangnya sumber daya dan kapasitas administrasi keuangan di Puskesmas.

Rangkaian acara workshop ini ditujukan untuk memperkenalkan peserta mengenai riset implementasi dan potensinya dalam pengembangan kebijakan kesehatan. Workshop ini juga memperkenalkan berbagai instrumen pembelajaran riset implementasi dan informasi terkini yang dapat diakses melalui website Indonesia Implementation Research (link: http://indonesia-implementationresearch-uhc.net/).

Presenter dari Filipina yang mendapat beasiswa pascasarjana FK UGM, Tyrone Reden menarik perhatian dengan mengemukakan tingginya angka pertumbuhan penderita HIV di Filipina. Ia mengajukan proposal penelitian implementasi mengenai feasibility dan appropriateness kebijakan peningkatan kemampuan pekerja kesehatan komunitas untuk melakukan tes dan konseling HIV. Di samping itu juga dipresentasikan beberapa penelitian implementasi yang berada dalam lingkup kerja sama UGM dan WHO.

Pada sesi penutup, Laksono menekankan bahwa saat ini ada arus besar menuju riset implementasi dalam berbagai studi di sektor kesehatan. Ini akan berimplikasi pada semakin banyaknya pembiayaan dan diharapkan ke depannya dapat meningkatkan kualitas dan efektivitas implementasi kebijakan di Indonesia.

reporter Insan Rekso Adiwibowo

 

Reportase Kesiapan Dokter Subspesialis dalam Persaingan Pelayanan Kesehatan di Era MEA

Yogyakarta – PKMK FK UGM menyelenggarakan pertemuan diskusi kedua dari Seri Seminar Perhimpunan Profesi pada Sabtu, 20 Februari 2016. Diskusi ini mengangkat tema Kesiapan Dokter Subspesialis dalam Persaingan Pelayanan Kesehatan di Era Mayarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Para pembicara dan pembahas dari bagian PPSDM Kementerian Kesehatan, PKMK, POGI, KKI, IDI, dan PAPDI hadirdalam seminar ini.

Dalam konteks MEA ini ada potensi konflik antara Ikatan Profesi dengan keinginan masyarakat. Masyarakat ingin lebih banyak dokter agar akses lebih baik. Sementara itu ada kemungkinan Ikatan Profesi berusaha menahan masuknya dokter asing. Bermula dari kekhawatiran inilah kemudian seminar ini diselenggarakan.

Diskusi dimulai dengan presentasi dari dr. Asjikin Iman H. Dachlan, MHA, Kepala Pusrengun PPSDM Kementerian Kesehatan dan Dr. dr. Andreasta Meiala, M.Kes dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM. Dr. Asjikin menjelaskan mengenai beberapa regulasi dan kesepakatan yang telah diatur dalam rangka MEA, sedangkan dr. Andreas mengemukakan beberapa data mengenai kondisi lapangan tenaga kesehatan di beberapa negara. Terdapat kesimpulan bahwa negara-negara ASEAN saat ini masih memproteksi tenaga kesehatan Warga Negara Asing dan bersepakat untuk hanya saling bertukar teknologi informasi. Selain itu, Indonesia merupakan negara yang sangat diminati untuk kerja dokter spesialis dari asing, membangun Rumah Sakit dan mengekspor pasien ke luar negeri. Meski sudah terdapat beberapa regulasi yang mengatur, namun Indonesia masih memiliki soft door policy sehingga dibutuhkan strategi yang lebih matang dalam menghadapi MEA, apakah strategi bertahan atau penetrasi ke luar negeri, atau untuk menambah supply tenaga kesehatan yang kurang. Terutama adanya klausul bahwa jika aturan lokal tidak sesuai dengan aturan internasional, seperti adanya ketimpangan rasio tenaga kesehatan, maka aturan pelarangan masuknya tenaga kesehatan asing dapat ditembus.

Setelah presentasi, dilanjutkan dengan diskusi bersama para pembahas yaitu DR. dr. Kiki Lukman, M(Med)Sc, Sp.B.KBD, FCSI (Wakil ketua MKKI) sebagai perwakilan IDI Pusat, Dr. Sukman Tulus Putra, Sp.A(K) (Ketua Divisi Pendidikan KK) dari Konsil kedokteran indonesia, dr. Nurdadi Saleh, SpOG dari POGI Pusat , dan DR. dr. Zulkifli Amin, SPPD-KP dari Kolegium PAPDI. Diskusi yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam ini membahas bahwa perhimpunan profesi tidak sepenuhnya menolak MEA, sebaliknya beberapa perhimpunan profesi telah menyiapkan banyak hal dalam persiapan menghadapi MEA. Selain itu, para perhimpunan profesi menginginkan disusunnya suatu regulasi tentang masuknya tenaga kesehatan asing dalam rangka melindungi masyarakat Indonesia agar mendapatkan pelayanan yang benar, termasuk juga melindungi dokter-dokternya, jangan sampai dokter Indonesia justru tidak bisa mencari lapangan pekerjaandi tanah air sendiri. Diperlukan pula penelitian lebih lanjut tentang distribusi

Dokter serta akar masalah lambat dan kurangnya layanan kesehatan, apakah dari alat yang rusak atau penganggaran dana kesehatan yang kurang. Pada akhirnya diperlukan terobosan baru dari pihak perhimpunan profesi, kementerian kesehatan, institusi pendidikan kedokteran, dan berbagai pihak yang terkait untuk mengatasi masalah ketimpangan distribusi dokter dan dokter spesialis-subspesialis agar tidak menjadi justifikasi bagi masuknya dokter asing ke Indonesia.

Sebagai ringkasan dan kesimpulan, posisi IDI dan KKI tidak sepenuhnya menolak MEA. Ke depan, diperlukan kemampuan diplomasi yang baik untuk melindungi kepentingan masyarakat Indonesia dan anggota perhimpunan profesi. Jangan sampai IDI menjadi public enemy karena tidak pandai berdiplomasi. Selain itu, dibutuhkan pula data yang lebih detail tentang spesialis dan sub-spesialis serta menjadikan residen sebagai pekerja dokter yang sedang magang melalui academic health system yang lebih baik. Dengan kemampuan menyusun strategi persiapan yang lebih matang dalam menghadapi MEA, diharapkan kita dapat menjadikan MEA sebagai peluang untuk memperbaiki status kesehatan di Indonesia, bukan sebagai ancaman.

Reporter: Noor Afif Mahmudah

{jcomments on}

Reportase Seminar Peran IDI & Perhimpunan Profesi dalam Memperjuangkan Hak Residen dan Fellow dalam Proses Pendidikan

Yogyakarta – Jum’at, 4 Maret 2016 Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan UGM bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran UGM telah menyelenggarakan Seminar Perhimpunan Profesi Diskusi yang ke-3 dengan judul “Peran IDI dan dan Perhimpunan Profesi dalam memperjuangkan hak residen dan fellow dalam proses pendidikan” di Ruang Theater, Gedung Perpustakaan FK UGM. Seminar ini terdiri dari dua sesi dan mendatangkan berbagai pembicara serta pembahas dari AIPKI, ARSPI, PERSI, IDI, IKABI, Direktur RSUP dr. Sardjito, dan Kepala Pusat Pendidikan SDM Kesehatan.

  Pengantar

Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian Annual Scientific Meeting FK UGM 2016 dibuka oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D selaku Ketua Board PKMK UGM. Acara ini terselenggara atas kerja sama PKMK FK UGM dan Roche. Laksono mengutarakan tujuan dari seminar ini untuk membahas kemajuan proses pemenuhan hak residen dan fellow sesuai dengan UU Pendidikan Kedokteran; membahas peranan IDI dan Perhimpunan Dokter Ahli dalam pemenuhan hak residen dan fellow; serta membahas bentuk gabungan antara university-based dengan hospital-based training untuk residen dan fellow dalam Academic Health System.

  Sesi I – Pembicara

Sesi pertama membahas mengenai apakah residen dan fellow merupakan dokter yang bekerja dalam pendidikan ataukah seorang siswa? Apakah ada kemajuan dalam pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran?. Sesi ini diawali dengan presentasi oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. Laksono memaparkan tentang setelah 2 tahun UU Pendidikan Kedokteran disahkan, masih tampak sistem pendidikan kedokteran dan sistem pelayanan kesehatan berjalan secara terpisah. Diperlukan adanya integrasi antara duasistem tersebut untuk mencapai pelayanan kesehatan yang lebih baik. Ditekankan pula bahwa residen dan fellow bukan siswa biasa dan tidak dapat dipisahkan dengan SDM kesehatan lain di Rumah Sakit, dimana mereka juga memiliki hak sebagai perkerja seperti hak mendapatkan insentif, serta hak untuk beristirahat. Dukungan dari perhimpunan profesi seperti IDI sangat dibutuhkan dalam reformasi ini.

  Sesi I – Pembahasan Tahap ke-1

Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan pertama oleh beberapa pembahas yaitu Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Ph.D., Sp.OG(K) sebagai perwakilan ketua AIPKI dari Pokja Spesialis dan Subspesialis, Prof. dr. H. Abdul Khadir, Ph.D., Sp.THT/KL(K)., MARS selaku Ketua 1 ARSPI yang juga menjabat sebagai Direktur RS Dharmais, serta dr. Kuntjoro A. Purjanto, MMR sebagai ketua PERSI.

Pada sesi pembahasan tahap ini, Prof. dr. Ova Emilia mendukung reformasi ini dan mengusulkan misi dari reformasi adalah untuk meningkatkan bentuk tanggung jawab residen dari pendidikan tidak hanya dari pencapaian segi kompetensi saja, namun juga meningkatkan kinerja pelayanan kesehatan. Pihak ARSPI juga sangat mendukung dan menyatakan bahwa ke depannya harus ada reformasi serta diharapkan adanya penguatan Fakultas Kedokteran dan RS Pendidikan melalui Academic Health System. Beliau juga menegaskan kembali tentang tiga hak residen yang harus dipenuhi berdasarkan UU Dikdok, yaitu hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, hak untuk mendapatkan insentif, dan hak untuk mendapatkan istirahat. Ketua PERSI mengutarakan bahwa PERSI menunggu aplikasi rundown serta roadmap yang jelas dari reformasi ini, agar bersifat akuntabel dan jelas jalan eksekusinya. Selain itu, dibutuhkan pula pemberdayaan masyarakat agar masyarakat tahu dan bisa memenuhi keadilan dan pemerataan kesehatan di seluruh Indonesia. Hal ini dapat terwujud jika adanya komitmen yang kuat dari semua pihak terkait.

Setelah pembahasan kemudian terdapat diskusi yang sangat menarik antara pembahas dengan peserta seminar. Salah satu peserta, dr. Endro Basuki, Sp. BS dari RSUP dr. Sardjito menyatakan bahwa residen harus dimanusiakan. Target utama adalah bagaimana residen selesai masa pendidikan dengan selamat, serta yang paling mudah selain pemberian insentif adalah residen tidak perlu membayar biaya PPDS karena sudah dibiayai oleh pemerintah atau instansi lain. Dari sesi ini dapat diambil kesimpulan bahwa semua pihak setuju bahwa residen perlu mendapatkan haknya, dan detail operasional tentang pemenuhan hak ini perlu dibicarakan lebih lanjut.

  Sesi I – Pembahasan tahap ke-2

Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tahap ke-2. Prof. DR. Dr. David S Perdanakusuma, Sp.BP-RE(K) selaku Ketua MKKI – IDI menyatakan bahwa IDI perlu memprioritaskan status residen di Rumah Sakit sebagai apa, kemudian sumber alokasi dana insentif dari mana, serta dilaksanakan dalam jumlah yang memadai. IDI berharap bahwa ada dukungan dari pemerintah untuk dapat mencapai tujuan ini.

Ketua IKABI Pusat, yakni dr. R. Suhartono, Sp.BT-KV menekankan perlunya kesamaan persepsi tentang residen dari pihak fakultas, perhimpunan profesi, dan kementerian kesehatan (Kemenkes). Selain itu dalam penerimaan residen, harus disesuaikan dengan kebutuhan dari Kemenkes sehingga terdapat kesesuaian antara jumlah residen yang diterima oleh universitas dan kebutuhan di Rumah Sakit.

dr. Achmad Soebagjo Tancarino, MARS sebagai kepala pusat pendidikan SDM Kesehatan mengutarakan tentang adanya pembentukan perencanaan yang disusun bersama oleh dinas kesehatan kabupaten di mana kini sedang konsolidasi peta kebutuhan SDM tenaga kesehatan selama 5 tahun mendatang. Perencanaan kebutuhan SDM kesehatan ini tidak hanya diperlukan di RS Pemerintah saja, namun juga RS Swasta.

Pada diskusi pembahasan tahap ini diutarakan beberapa pendapat, seperti harapan bahwa dosen klinis dari residen perlu dimanusiakan juga agar mendapatkan porsi yang sesuai. Suara dan aspirasi dari Persatuan Dokter Dosen Klinis (PERDOKDI) juga diharapkan untuk turut didengar dalam penyusunan PP dari UU Dikdok. Ditekankan pula perlu diciptakan iklim yang sehat dan kondusif tidak hanya untuk residen, namun juga untuk dokter senior. Sembari menanti penyusunan PP, pihak-pihak yang bersangkutan juga mempersiapkan yang dibutuhkan sehingga ketika PP telah jadi bisa langsung dieksekusi.

  Sesi II – Pembicara

Pada sesi kedua dilakukan pembahasan mengenai Harapan di masa mendatang tentang skenario Academic Health System di Indonesia berdasarkan PP RS Pendidikan dan harapan untuk badan PPSDM Kementerian Kesehatan. Pembicara sesi ini yaitu Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes, Dipl. PH sebagai ketua minat MMR FK UGM menyampaikan hasil data kajian pemberian insentif yang dilakukan di RSUP dr. Sardjito, RSUD dr. Moewardi, dan RSUP dr. Cipto Mangunkusumo.

Di Era JKN peningkatan jumlah pasien yang tidak diikuti oleh jumlah DPJP menyebabkan adanya pembagian beban kerja yang “dibungkus” oleh pendidikan. Dalam pembagian beban ini sudahkah ada pembagian beban kerja, kompensasi, dan keadilan yang jelas antara DPJP dan residen?
Dari hasil riset didapatkan bahwa ada beberapa bentuk pembagian insentif dari Rumah Sakit, namun dengan dasar acuan yang tidak jelas dan memiliki aturan masing-masing yang tergantung pada: status residen, regulasi yang mendukung, dan manajemen RS. Melalui riset, didapatkan pula bahwa residen sudah masuk dalam siklus manajemen, namun yang belum ada adalah sistem reward dan punishment bagi residen. Selain itu data jumlah residen, fellow, dan data kapasitas RS Pendidikan serta data dosen pendidik untuk pendidikan spesialis dan sub-spesialis masih sulit untuk ditemukan.

Prof. Laksono sebagai moderator menambahkan tentang Academic Health System di mana Fakultas Kedokteran sebagai pihak pengelola residen sehingga tetap dikenakan biaya SPP, namun yang membayar bukan pihak residen pribadi namun RS, Pemerintah daerah, atau kelompok tertentu yang membayar. Selain itu penetapan RS Pendidikan dan jejaring tidak bisa asal namun sesuai kebutuhan. Jika RS tidak membutuhkan adanya residen atau fellow, maka tidak perlu menjadi RS Pendidikan. Ijazah dan sistem kontrol mutu pendidikan yang mengeluarkan tetap universitas karena kondisi yang sulit keluar dari UU Sisdiknas.

  Sesi II – Pembahas

Pembahasan sesi ke-2 kali ini diisi oleh dr. Achmad Soebagjo Tancarino, MARS (Kepala Pusat Pendidikan SDM Kesehatan), Prof. DR. dr. David S Perdanakusuma, Sp.BP-RE(K) (Ketua MKKI – IDI), dan dr. M. Syafak Hanung, Sp.A (Direktur Utama RSUP dr. Sardjito). Melalui pembahasan kali ini didapatkan fakta bahwa data mengenai residen yang melalui tugas belajar di Pusat Pendidikan SDM Kesehatan dapat diakses jika perlu. Ketua MKKI juga menyampaikan bahwa data-data di perhimpunan profesi juga ada dan tengah dirapikan, serta diharapkan minggu depan sudah dapat dirilis. Sedangkan dr. Syafak menyampaikan bahwa di RSUP dr. Sardjito telah membentuk tim ad hoc untuk membicarakan tentang bagaimana sistem pendidikan residen dapat diatur dengan lebih baik agar dapat memenuhi hak dan kewajiban dari residen terhadap RS Pendidikan.
Dari diskusi pada sesi ini diungkapkan bahwa semua pihak telah sepakat bahwa residen itu juga termasuk pekerja pelayanan kesehatan sehingga hak insentif dan jam istirahat harus diperjuangkan. Tentang jam istirahat, ada kaidah kesehatan kerja yang seharusnya diimplementasikan pada residen yang tidak menghambat residen untuk meraih target kompetensi.

  Penutup dan Kesimpulan

Seminar yang berjalan selama kurang lebih 6 jam ini ditutup dengan dukungan penuh dan kesepakatan dari semua pihak baik dari Perhimpunan profesi, RS Pendidikan, Fakultas Kedokteran, dan Kementerian Kesehatan tentang residen dan fellow juga termasuk tenaga medis RS sehingga harus dipenuhi hak dan kewajibannya. Langkah ini jangan hanya berhenti di PP saja, namun juga harus sampai teknis operasionalnya. Ke depannya akan dibentuk tim yang membahas teknik operasional dari berbagai stakeholder. IDI menyatakan siap untuk menjadi anggota tim. RSUP dr. Sardjito juga sedang menyiapkan tim ad hoc untuk teknis operasional ini. Kemenkes bersedia menjadi inisiator dan bekerjasama dengan Kemenristek dikti. Serta Kemenkes berencana akan mengumpulkan dan melibatkan kolegium serta RS Pendidikan untuk dokter spesialis dan subspesialis. Dapat diambil kesimpulan bahwa semua pihak bertekad untuk terus menjalankan amanat UU dan siap untuk memfasilitasi proses ini.

Oleh: Noor Afif Mahmudah dan M. Ali Rosadi

 

Hasil Pertemuan II: Bentuk Grand Design Promosi Kesehatan di Puskesmas

LATAR BELAKANG

Kebijakan Kementerian Kesehatan untuk memprioritaskan kegiatan promotif-preventif di puskesmas tahun 2016 ini tercermin dalam Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan, serta Sarana Prasarana Penunjang Subbidang Sarpras Kesehatan Tahun Anggaran 2016, khususnya pada Subbab IV tentang Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). Hal ini merupakan tonggak penting karena akhirnya keberpihakan pada kegiatan promotif-preventif bisa tercermin dalam alokasi anggaran yang jelas dan relatif besar.

Dalam konteks demikian, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM bekerja sama dengan IAKMI dan Pusat Promosi Kesehatan FK UGM menyelenggarakan seminar khusus untuk itu. Mengingat luas dan kompleksnya permasalahan yang ada, seminar ini diselenggarakan dalam 2 (dua) kali. Seminar ke-1 telah dilakukan pada Kamis 11 Februari 2016, sedangakan Seminar ke-2 dengan tema: Bentuk Grand Design Promosi Kesehatan di Puskesmas juga telah diselenggarakan pada Kamis 18 Februari 2016. Resume hasilnya disampaikan dalam laporan singkat ini.

RESUME

  1. Grand Design Promosi Kesehatan dibutuhkan sebagai acuan kegiatan promosi kesehatan mulai dari level provinsi, kabupaten/kota, hingga ke puskesmas. Dasar pemikirannya antara lain:
    • Jangka Waktu 5 Tahun. Seperti halnya RPJMD dan Rencana Strategis, Grand Design Promosi Kesehatan memiliki jangka waktu 5 tahun. Hal ini menguntungkan karena kegiatan promosi kesehatan yang bertujuan mengubah perilaku sulit dilihat hasilnya dalam satu tahun atau jangka pendek. Dengan adanya Grand Design, ada acuan (dan diharapkan jaminan) untuk mengimplementasikan strategi promosi kesehatan secara berkesinambungan (minimal 5 tahun) agar perubahan perilaku dapat terjadi.
    • Fokus Perubahan Perilaku terkait Masalah Kesehatan Prioritas. Grand Design Promosi Kesehatan sejalan dengan Rencana Strategis Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota karena harus mengacu pada masalah kesehatan prioritas yang ada dan dirumuskan dalam Renstra. Dengan demikian, posisi Grand Design Promosi Kesehatan adalah “penjabaran” Renstra di bidang promosi kesehatan dengan focus perubahan perilaku terkait masalah kesehatan prioritas.
      Catatan: Masalah Kesehatan Prioritas adalah 1000 Hari Pertama Kelahiran (HPK), Sanitasi Terpadu Berbasis Masyarakat (STBM), Posbindu, ATM (AIDS, TB, Malaria), dan Upaya Kesehatan Sekolah (UKS).
    • Integrasi Kegiatan di Semua Level. Grand Design di daerah dikembangkan di level provinsi kemudian dijabarkan di level kabupaten/kota sebagai acuan penyusunan rencana kerja kegiatan promosi kesehatan di puskesmas. Dengan prinsip integrasi seperti ini, kegiatan promosi kesehatan dapat lebih fokus untuk mendukung upaya mengatasi masalah kesehatan prioritas di suatu wilayah khususnya terkait perubahan perilakunya.
    • Pendekatan Akademis dan Praktis. Grand Design disusun dengan mengacu pada sistematika yang dianjurkan dalam teori. Meskipun demikian, penyusunan Grand Design tidak terlalu teoritis. Untuk itu kombinasi dengan pendekatan praktis juga dilakukan agar Grand Design yang dihasilkan lebih membumi.
    • Fokus pada Program Nyata. Kegiatan promosi kesehatan selama ini seringkali dianggap “abstrak.” Salah satu penyebabnya adalah upaya tersebut tidak dijabarkan dalam “bahasa program” yang jelas indikatornya dan dapat dihitung biayanya. Grand Design Promosi Kesehatan ini berfokus pada program nyata untuk menghindari ketidakjelasan (abstrak) tersebut.
    • Dimensi Upaya Promosi Kesehatan Terintegrasi dengan BOK. Secara operasional, Grand Design dijabarkan ke dalam program yang mencakup empat dimensi yaitu KIE, Pemberdayaan Masyarakat, Advokasi, dan Kemitraan dengan sasaran Rumah Tangga, Pelayanan Kesehatan, Sekolah, Tempat Kerja, dan Tempat Umum. Keempat dimensi tersebut sudah tersedia “menunya” dalam Juknis BOK dari Kementerian Kesehatan. Dengan demikian, penganggaran implementasi Grand Design ini di level puskesmas tidak menjadi masalah.
    • Terbuka Inovasi dalam Implementasi di Level Lokal. Posisi Grand Design ini berada di level “meso” (antara makro dengan mikro). Dalam penjabarannya di level mikro (puskesmas) sangat terbuka peluang untuk melakukan inovasi baik teknologi maupun pendekatannya sesuai kebutuhan setempat. Adanya Grand Design untuk memastikan agar semua kegiatan promosi kesehatan dapat terfokus dan terintegrasi di semua level.
  2. Dari aspek kebutuhan SDM, dalam penyusunan Grand Design Promosi Kesehatan dibutuhkan Tim Tenaga Ahli (minimal S2 Promosi Kesehatan). Di sisi lain, untuk implementasi di level puskesmas, dibutuhkan tenaga promoter kesehatan. Dalam Juknis BOK, puskesmas dapat mengontrak tenaga promoter kesehatan. Namun, yang belum jelas adalah sumber anggarannya untuk mengontrak tenaga ahli tersebut.
  3. Secara teknis, bagaimana menyusun (how to) Grand Design agar dapat direplikasi di semua daerah, masih harus dibahas lebih lanjut.

 

{jcomments on}

Grand Design Sebagai Tools Kegiatan Promotif Dan Preventif Yang Terintegrasi

Grand Design promosi kesehatan diharapkan memiliki bentuk lebih aplikatif , dan bisa menjadi kebijakan nasional yang bersifat lokal specifik. Hal ini yang menjadi perdebatan panjang dalam seminar seri kedua yang bertajuk Bentuk Grand Design Promosi Kesehatan di Puskesmas. Seminar ini diselenggarakan oleh PKMK FK UGM pada Kamis 18 Februari 2016.

Melalui seminar seri kedua ini PKMK FK UGM ingin menyepakati bagaimana bentuk dari Grand Design dari promosi kesehatan. Selama ini sering terjadi disintegrasi antara kegiatan promotif dan preventif, yang seharusnya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, promotif harus ada disetiap program-program preventif dan dilakukan oleh tenaga ahli. Bagaimana hal tersebut diatur dan siapa yang mengatur akan dikemas dalam sebuah Grand Design sehingga sangat penting untuk dirumuskan.

Yayi Suryo Purbandari (Departemen Perilaku Kesehatan,Lingkungan dan Kedokteran Sosial) sebagai narasumber dalam seminar ini menjelaskan bahwa Grand Design disusun disetiap level, ada yang ditingkat nasional, provinsi, ada yang ditingkat kabupaten.

Menambahkan pernyataan tersebut, Rita Damayanti (Perkumpulan Promotor dan Pendidik Kesehatan Masyarakat Indonesia) sebagai narasumber juga mengatakan bahwa Grand Design minimal harus menyinggung 5 program utama dalam promosi kesehatan (Gerakan 1000 hari pertama kehidupan , STBM, Posbindu, ATM (AIDS, TB,Malaria), UKS), dan tetap harus menyambung program generiknya BOK. Grand Design harus cukup efisien, dan fleksibel serta jelas. Fleksibel artinya dapat disesuaikan dengan keadaan daerah masing-masing.

Yayi Suryo Purbandari (Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan dan Kedokteran Sosial) menjawab seharusnya Grand Design dibuat oleh Tim Ahli, dan Grand Design yang ada sekarang ini masih terus direview.

Menyambung hal tersebut Dwi Handono Sulistyo (Konsultan PKMK FK UGM) menyampaikan bahwa pembahasan Grand Design ini tidak akan sampai pada seminar seri kedua ini saja, akan ada seminar lanjutan untuk mematangkan konsep Grand Design tersebut.

{jcomments on}

Resume Hasil Pertemuan 1: Kajian Prospek Kegiatan Promotif-Preventif Di Puskesmas Dalam Anggaran Kemenkes

LATAR BELAKANG

Kebijakan Kementerian Kesehatan untuk memprioritaskan kegiatan promotif-preventif di puskesmas tahun 2016 ini tercermin dalam Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan, serta Sarana Prasarana Penunjang Subbidang Sarpras Kesehatan Tahun Anggaran 2016, khususnya pada Subbab IV tentang Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). Hal ini menjadi tonggak penting karena akhirnya keberpihakan pada kegiatan promotif-preventif bisa tercermin dalam alokasi anggaran yang jelas dan relatif besar.

Anggaran Kementerian Kesehatan di tahun 2016 ini perlu diketahui oleh para ahli promosi kesehatan. Ada beberapa pertanyaan mendasar, antara lain:

  1. Apakah “menu” kegiatan promosi kesehatan yang bersifat generik tersebut dapat diterapkan dan sesuai dengan kebutuhan spesifik masing-masing puskesmas?
  2. Bagaimana bentuk kegiatan riil promosi dan preventif kesehatan di Puskesmas dengan menggunakan dana yang ada?
  3. Apakah memang diperlukan system kontrak?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM bekerja sama dengan IAKMI dan Pusat Promosi Kesehatan FK UGM menyelenggarakan seminar khusus untuk itu. Mengingat luas dan kompleksnya permasalahan yang ada, seminar ini diselenggarakan dalam dua kali. Seminar pertama telah dilakukan pada Kamis, 11 Februari 2016. Resume hasilnya disampaikan dalam laporan singkat ini. (Catatan: Seminar ke-2 dengan tema: Bentuk Grand Design Promosi Kesehatan di Puskesmas akan diselenggarakan pada Kamis 18 Februari 2016).

RESUME

Dengan dukungan dana BOK 2016, prospek kegiatan promotif-preventif di puskesmas menjadi cerah. Prospek cerah ini akan tercapai jika berbagai prasyaratnya terpenuhi antara lain:

  • Dinas Kesehatan Kab/Kota harus dapat menjabarkan Juknis DAK Bidang Kesehatan dari pusat ke dalam Juklak sesuai situasi dan kebutuhan setempat. Hal ini dibutuhkan sebagai acuan bagi puskesmas termasuk dalam membuat indicator kinerja bagi tenaga kontrak promoter kesehatan.
  • Lingkungan internal kesehatan (mulai dari level kabupaten hingga ke puskesmas) harus benar-benar memahami kebijakan baru tersebut agar bisa mendukung dan atau melaksanakan kegiatan tersebut dengan baik. Namun, dikhawatirkan belum semua pegawai memahami hal ini.
  • Pemda setempat perlu diadvokasi agar penyerapan dana BOK ini bisa dilakukan sejak awal tahun. Permasalahan muncul karena tahun ini dana BOK harus melalui APBD sehingga ada pemda yang mengharusnya penyerapan dana BOK harus sesuai mekanisme APBD. Hal ini berdampak pada terlambatnya penyerapan.
  • Kegiatan promosi kesehatan tidak bisa lagi dilakukan secara rutin dengan pendekatan klasik (tanpa inovasi atau tidak sesuai dengan kebutuhan setempat). Agar upaya ini efektif, kegiatan tersebut harus berdasarkan suatu Grand Design. Grand Design ini disusun di level provinsi, kemudian dijabarkan di level kabupaten/kota sebagai acuan pelaksanaan di level puskesmas.

Kualifikasi tenaga promoter kesehatan yang dibutuhkan tergantung pada level organisasi dan tugas yang harus dilakukan. Jika hanya sebagai eksekutor di puskesmas, maka cukup D3 Kesehatan (tapi jika harus membuat analisis, harus S1). Untuk level kabupaten/kota, minimal S1 Promkes. Untuk level provinsi, minimal S2 Promkes. Artinya, di semua level tenaga promoter kesehatan dibutuhkan dengan kualifikasi yang sesuai.
Bagi daerah yang sulit untuk mendapatkan tenaga promoter kesehatan (seperti di Indonesia Bagian Timur), muncul ide agar dilakukan pendekatan teknologi informasi yang paling sesuai.

{jcomments on}

 

Tantangan Promosi Kesehatan di tahun 2016 , What do we need?

11febkki

11febkki

Menyambut tahun emas Promkes, Indonesia memerlukan Promoter Kesehatan yang bersifat lokal spesifik dan menu kegiatan promotif preventif yang tidak generik. Begitulah kira-kira kesimpulan hasil seminar yang diselenggarakan PKMK FK UGM pada Kamis 11 Februari 2016 yang bertajuk Kajian Prospek Promotif dan Preventif di Puskesmas Dalam Anggaran Kemenkes 2016.

“Tahun ini merupakan tahun istimewa bagi sektor kesehatan karena Pemerintah Pusat menaikan anggaran untuk kesehatan terutama kegiatan promosi kesehatan dari tahun sebelumnya, sehingga penting untuk membuat suatu model atau bentuk kegiatan yang efektif agar dana tersebut terserap dengan tepat “, ungkap LaksonoTrisnantoro dalam pembukaan seminar.

Melalui seminar ini PKMK mencoba mengkritisi Permenkes No.82 tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan, serta Sarana Prasarana Penunjang Subbidang Sarpras Kesehatan Tahun Anggaran 2016. Ada dua poin, yaitu menu upaya promotif dan preventif, dan sistem kontrak tenaga promoter kesehatan, dalam konteks ini Dwi Handono Sulistyo (Konsultan PKMK FK UGM) juga mengarahkan para ahli promkes untuk membuat suatu grand design dalam pelaksanaan upaya promotif-preventif yang terarah.

Hal tersebut merupakan langkah awal untuk mengoptimalkan Dana DAK non fisik yang dialokasikan untuk kegiatan promotif-preventif yang dirasakan selama ini masih banyak gagal di daerah.

Menu promosi kesehatan dalam Juknis DAK selain generik juga tidak up-to date , ungkap salah satu penanya dari webinar.

Menanggapi hal tersebut Dedi Kuswenda (Direktur Promosi Kesehatan Pemberdayaan Masyarakat Kemenkes) menyatakan bahwa hal tersebut sebenarnya masih bisa di modifikasi, dan hal tersebut juga merupakan upaya untuk tetap mengingatkan tugas Puskesmas sebagai pelaksana UKM, tidak hanya UKP saja seperti yang selama ini terjadi.

Tanggapan mengenai menu kegiatan promosi kesehatan juga dibahas oleh Veronika Evita Setyanignrum (Kepala Puskesmas Moyudan, Sleman, DIY) Beliau membenarkan bahwa menu promosi kesehatan tersebut masih generik dan untuk mengatasi hal tersebut, Puskesmas Moyudan membuat petunjuk kegiatan operasional agar lebih mudah diimplementasikan di daerah.

Poin kedua yang dibahas mengenai kualifikasi tenaga promkes yang akan di kontrak. Fatwa Sari Tetra (Departemen Perilaku Kesehatan,Lingkungan dan Kedokteran Sosial) memberikan masukan bahwa kualifikasi tenaga promkes yang dikontrak seharusnya mempertimbangkan kearifan lokal. Dedi Kuswenda menyampaikan bahwa kualifikasi tenaga ahli sesuai dengan levelnya yaitu level provinsi, kabupaten/kota, dan pengembangan sistem kontrak dimulai dengan grand design untuk menjadi acuan nantinya.

Seminar ini merupakan seminar seri pertama dalam rangkaian seminar Promosi Kesehatan dan akan dilanjutkan pada Hari Kamis, 18 Februari 2016 mendatang dengan pematangan mematangkan konsep grand design.

{jcomments on}