Kegiatan follow-up untuk Monev JKN di tahun 2017

followupmonevjkn

Pada tahun 2017 PKMK FK UGM merencanakan serangkaian kegiatan penelitian dan pengamatan, serta diskusi untuk menjadi bahan bukti bagi monitoring dan evaluasi kebijakan JKN. Silahkan klik pada kegiatan-kegiatan di bawah ini.

Januari 2017

Februari 2017

Maret 2017

April 2017

Mei 2017

Juni 2017

Agustus 2017

Oktober 2017

Desember 2017: Outlook 2018

 

 

 

 

 

 

Panel 2: Isu Prioritas

Sinkronisasi RPJMD-RPJMN Sub Bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat

Pemateri: Dr. dr. Dwi Handono Sulistyo, M.Kes

Sinkronisasi merupakan amanat UU dan semangat NKRI. Sinkronisasi menjadi prioritas dalam tatanan sistem perencanaan pembangunan kesehatan di Indonesia yang terintegrasi. Mengapa harus sinkronisasi? Selama ini upaya sinkronisasi belum jelas, dokumen perencanaan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah di daerah (RPJMD) belum semua memperhatikan dan sinkron dengan RPJM Nasional (RPJMN). Faktanya, perencanaan yang sinkron dan terintegrasi satu sama lain sudah diamanatkan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) di Indonesia bahwa perencanaan haruslah terintegrasi dan sinkron satu sama lain serta diamanatkan dalam Undang-Undang No.23 tahun 2014 bahwa Pemerintah Daerah haruslah membuat dokumen perencanaan daerah (RPJMD) yang mengacu RPJPD dan memperhatikan RPJM Nasional (RPJMN).

Ketidaksinkronkan ini juga terjadi akibat adanya situasi politik dimana pemilihan kepala daerah dengan pemilihan presiden tidak sinkron dari aspek waktu. Dalam konteks politik tersebut pilkada serentak yang sekarang sudah mulai dilakukan di Indonesia, mengharuskan para kepala daerah wajib membuat RPJMD sekurang-kurangnya 6 bulan setelah pelantikan. Berdasarkan UU. No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 269 dinyatakan bahwa Menteri berhak membatalkan Perda RPJMD di tingkat provinsi, jika dinilai RPJMD tersebut tidak sesuai dengan RPJMD Provinsi dengan RPJMN. Pada level Kabupaten/Kota tertuang dalam UU No. 23 Tahun 2014 pasal 271 yang menyatakan bahwa jika RPJMD Kabupaten/Kota dinilai oleh Gubernur dan DPRD Provinsi tidak sesuai dengan RPJPD Kabupaten/Kota dan RPJMD Provinsi, serta RPJMN, maka sebagai perwakilan pemerintah pusat berhak untuk membatalkan Perda-nya.

Sebagai upaya perwujudan sinkronisasi di perencanaan sektor kesehatan PKMK FK UGM bekerjasama dengan Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat di Kementrian PPN/Bappenas serta didukung oleh lembaga donor seperti DFAT, AIPHSS, dan UNICEF telah mewujudkannya dalam penyusunan modul sinkronisasi RPJMD-RPJMN Subbidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat yang telah dimulai pada tahun 2015. Modul sinkronisasi tersebut disusun untuk menjembatani pemerintah pusat dengan pemerintah daerah untuk melakukan sinkronisasi, dan modul tersebut sudah diselesaikan baik dalam versi cetak maupun dalam versi online.

Outlook sinkronisasi RPJMD-RPJMN ini, tidak hanya sampai dengan outlook 2017 tetapi jangka panjang sampai dengan tahun 2027 karena pilkada serentak akan terus dilaksanakan pada tahun tersebut, setelah pemilihan presiden akan dilakukan pada tahun 2025. Pada pilkada serentak di tahun tersebut akan ada 500 Kabupaten/Kota yang akan mengikutinya. Pilkada yang terdekat adalah pilkada pada 15 Februari tahun 2017 mendatang yang akan dilakukan oleh 101 Kabupaten/Kota. Tentunya, upaya penyesuaian dan penyelarasan harus benar-benar dilaksanakan dengan penuh komitmen.
Pelaksanaan tersebut tentunya tidak hanya membutuhkan sumber daya saja namun juga membutuhkan dukungan regulasi-regulasi daerah yang memperkuat. Surat Edaran Bersama (SEB) Tiga Menteri yang akan segera disahkan, jika hal tersebut terjadi maka akan banyak kegiatan-kegiatan pendampingan yang melibatkan banyak tenaga konsultan. PKMK FK UGM tidak mungkin dapat menjangkau semua daerah-daerah yang menjadi target, sehingga harus melibatkan konsultan atau fasilitator pendamping yang ada di daerah untuk melakukan asistensi atau pendampingan sinkronisasi. Sebagai tahapan awal, pemenuhan fasilitator pendampingan ini sudah mulai dilakukan pada akhir 2016 dengan melakukan pelatihan jarak jauh untuk calon fasilitator pendamping yang nantinya juga akan direkomendasikan sebagai fasilitator pendamping bagi daerah. Sinkronisasi yang dilaksanakan dengan komitmen penuh oleh semua pihak yang terlibat baik pemerintah pusat, pemerintah daerah dan sektor-sektor yang terkait yang berkontribusi terhadap pembangunan kesehatan dapat mewujudkan pembangunan kesehatan yang merata.

Notulen: Emmy Nirmalasari, SKep, MPH


Sinkronisasi Produk Hukum di Bidang Kesehatan

Pemateri: Rimawati

Regulasi kesehatan adalah seperangkat aturan yang tertulis bidang kesehatan yang dibuat oleh badan legislatif maupun stakeholder terkait yang tujuannya adalah untuk mengatur pelaksanaan dan penyelenggaraan kesehatan di Indonesia. Sepanjang periode pertengahan tahun 2015 sampai dengan awal Desember 2016 telah disusun dan disahkan sebanyak 158 regulasi kesehatan dalam berbagai jenis produk hukum. Jenis produk peraturan yang teridentifikasi selama tahun 2016 terdiri dari Undang-undang (7 buah), Peraturan Pemerintah (5 buah), Peraturan Presiden (9 buah), Peraturan Menteri Kesehatan (27 buah), Peraturan Menteri Keuangan (10 buah), Peraturan Menteri Perdagangan (5 buah), SE Menteri Kesehatan (3 buah), Keputusan Menteri Kesehatan (10 buah), Peraturan BPJS (20 buah), Peraturan BPOM (17 buah), Peraturan Daerah/Provinsi/ Kabupaten Kota (55 buah). Dari 158 beberapa menyangkut tentang bidang kesehatan yang terdiri dari Pelayanan Kesehatan (43 buah), Asuransi Kesehatan dan JKN (37 buah), Tenaga Kesehatan (16 buah), Perbekalan dan Alkes (9 buah), Sistem Informasi Kesehatan (9 buah), Farmakin (10 buah) dan Sistem Kesehatan Daerah (34 buah).

Dalam konteks pembentukan regulasi kesehatan banyak dipengaruhi oleh politik hukum kesehatan yang akan menciptakan kebijakan hukum kesehatan. Produk perundangan itu dibedakan menjadi dua bentuk yaitu Regeling dan Beschikking. Dilihat dari kedua ini perumusan regulasi kesehatan akan sangat dipengaruhi dengan politik hukum. Sinkronisasi Regulasi Kesehatan tidak selamanya sepanjang tahun 2016 mengalami implementasi peraturan sebagaimana yang diharapkan. Ada beberapa produk hukum bidang kesehatan yang diajukan melalui MK untuk dilakukan Judicial Review. Proses ini seringkali murni karena produk hukum yang dibuat bertentangan dengan konstitusi adakalanya juga dipengaruhi oleh Politik hukum.

Ada beberapa isu Prioritas yang ada dalam regulasi di bidang kesehatan yaitu, yudisial review UU 20 /2013 tentang Dikdok (Putusan Mk No. 122/PUU-XII/2014), UU 24/2011 tentang BPJS (Putusan MK No. 47/PUU-XIII/2015), UU 36/2014 tentang tenaga kesehatan (Putusan MK No. 82/PUU-XIII/2015 dan No. 88/PUU-XIII/2015), Kewenangan Daerah UU No. 9/2015 dan PP No. 18/2016 dan Pelayanan Kesehatan dan SDM.

Regulasi tahun 2016 masih ada beberapa regulasi bidang kesehatan khususnya terkait isu pelayanan kesehatan, asuransi kesehatan/ JKN dan tenaga kesehatan yang masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Disahkannya PP No. 18 tahun 2016 di mana RSUD menjadi UPT Dinkes membutuhkan aturan pelaksana dalam bentuk produk hukum Perpres. Regulasi kesehatan pada tahun 2016 membutuhkan peran aktif dari para perumus baik dari badan legislatif maupun stakeholder terkait. Dalam penyusunan regulasi kesehatan perlu dipertimbangkan adanya politik hukum dalam penyusunan untuk menghindari adanya kemandulan dalam produk hukum yang dibuat.

Outlook Regulasi Kesehatan 2017, DPR RI/ DPRD melakukan Advokasi untuk penyusunan dan/atau perubahan produk hukum bidang kesehatan yang menjadi Kewenangan Pemerintah sebagai legislative body. Pemerintah (Badan Eksekutif) melakukan Advokasi penyusunan dan/atau perubahan produk hukum bidang kesehatan yang menjadi Kewenangan Pemerintah sebagai executive body. Kementrian Kesehatan dan Kementrian terkait melakukan advokasi penyusunan dan/atau perubahan produk hukum bidang kesehatan yang menjadi Kewenangan Teknis dari amanat peraturan perundang-undangan sebagai penyelenggara teknis. Pemerintah daerah (bagian hukum sekertaris daerah) melakukan advokasi penyusunan dan/atau perubahan produk hukum bidang kesehatan. Peranan PKMK FK UGM dalam penyusunan Regulasi Kesehatan 2017 antara lain:

  1. Melakukan fasilitasi dan konsultasi dengan DPR, DPRD maupun Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan serta Organisasi Profesi untuk penyusunan naskah akademik dan rancangan penyusunan kebijakan teknis yang dibutuhkan
  2. Melakukan advokasi penyusunan regulasi teknis kesehatan baik pada level pemerintah pusat maupun pemerintah daerah

Notulen: Intan Anatasia N.P., M.Sc.,Apt


Emergency Medical Team

Pemateri : Madelina Ariani, SKM,MPH.

Indonesia kembali dikejutkan dengan bencana gempa bumi yang berkekuatan 6SR pada pukul 05.03 WIB di Kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh, setelah Tsunami yang terjadi sekitar 12 tahun yang lalu. Ada sekitar 1009 kejadian bencana yang terjadi di Aceh sejak tahun 1815-2016. Tetapi Jawa masih menjadi juara dalam jumlah kejadian bencana yang terbanyak di Indonesia (sumber: Pusat Data Informasi dan Humas – BNPB).

Sama seperti di tahun 2015, bencana perubahan iklim masih menjadi kejadian bencana yang banyak terjadipada tahun ini. Walaupun di awal tahun bencana kebakaran hutan dan lahan sempat menjadi perhatian dari beberapa propinsi, seperti Propinsi Riau, Palembang, Jambi dan Kalimantan.
Perjalanan kesiapan penanggulangan bencana di Indonesia selama tahun 2016 semakin meningkat. Fasilitas kesehatan baik puskesmas, rumahsakit dan sumber daya manusia semakin sadar bahwa dibutuhkan peningkatan kapasitas terhadap itu semua. Salah satu bentuk yang dilakukan adalah dengan penyusunan rencana kontijensi yang sudah dilakukan Dinas Kesehatan serta kesiapan Rumah Sakit (HDP) dan Puskesmas di Indonesia.

Kebutuhan masyarakat dalam menerima pelayanan terhadap kejadian gawat darurat juga sudah dilakukan pada tahun ini oleh pihak Kementrian Kesehatan berdasarkan Instruksi Presiden no 4/2013, lewat Public Safety Center (PSC) 119. Walaupun dari 539 kabupaten, baru sekitar 90 kabupaten yang memiliki PSC 119, tetapi ini juga menjadi salah satu usaha pemerintah dalam membantu masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kegawatdaruratan. Tidak hanya itu, melalui Permenkes No 19 Tahun 2016 Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu juga dikembangkan menjadi salah satu sistem yang terkordinasi dari pre Hospital, Inter Hospital dan Intra Hospital. Melihat hal ini maka dibutuhkan sumber daya baik tenaga medis maupun para medis yang terampil dan siap jika dibutuhkan sewaktu-waktu. Saat ini sudah dilakukan pertemuan dan rencana kedepan agar tiap kabupaten, propinsi dan sampai tingkat nasional wajib menyiapkan Tim Reaksi cepat (Emergency Medical Team) sesuai dengan panduan WHO, dan siap terjun saat terjadi krisis kesehatan ataupun bencana.

Berdasarkan prioritas dan perubahan paradigma ke arah kesiapsiagaan, dalam kebijakan penanggulangan bencana di tahun 2017 pada fase pra bencana sesuai dengan “Sendai Framework” yaitu pengurangan risiko bencana dengan penguatan kapasitas masyarakat dan pemerintah lokal. Maka Divisi Manajemen Bencana juga melakukan aksi ini dengan berbagai kegiatan bekerja sama dengan Kemenkes, WHO, rumah sakit, Puskesmas, BPBD, Pemda dan lintas fakultas dalam memberikan pendampingan guna membantu Fasilitas kesehatan dan sumber daya manusia agar siap dalam menghadapi krisis kesehatan.

Lewat Deklarasi UGM kampus tangguh bencana, maka pengembangan kurikulum manajemen bencana masih akan tetap dilakukan dan selalu dievaluasi agar Fakultas Kedokteran khususnya bisa memiliki mahasiswa yang memahami peran mereka jika masuk dalam situasi bencana. Tidak hanya mahasiswa, tetapi pihak Ilmu Kesehatan masyarakat (IKM) di Fakultas Kedokteran akan membangun sistem keselamatan kerja terhadap dosen, staf, satuan keamanan, petugas yang sehari-hari bertugas saat jam kerja dan di luar jam kerja, untuk siap menghadapi situasi gawat darurat. Harapannya tidak hanya di lingkungan IKM tetapi seluruh civitas di lingkungan FK akan terbangun sistem Keselamatan kerja dan bangunan yang aman (safety building).

Notulen: Intan Anatasia N.P., M.Sc.,Apt


 

Pembahas : drg. HM Taufiq Ak, M. Kes,

Dinas Kesehatan Provinsi D.I. Yogyakarta

Dalam melakukan sinkronisasi pembangunan kesehatan, pihak terkait dalam hal ini adalah stakeholder, harus memiliki ideologi yang sama. Sederhananya adalah pemahaman, konsep, dan kesepakatan yang sama agar sinkronisasi ini dapat terjadi. Cotohnya, di Provinsi D. I. Yogyakarta selama ini jika daerah akan menyusun suatu kebijakan (kesehatan), daerah harus paham bagaimana meningkatkan kesadaran masyarakat, kesehatan masyarakat, dan prinsip dasar pembangunan kesehatan. Fokus yang harus disepakati, diatur dalam suatu kebijakan yang dapat berlaku lokal masing-masing, jadi harus ada kesepakatan bersama. Mulai dari kepemimpinan, perbaikan kebijakan, dan perbaikan pelayanan kesehatan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari BPJS Kesehatan, bahwa pelayanan kuratif BPJS Kesehatan telah membayar 6,9 Trilyun untuk di D. I. Yogyakarta. Ini menjadi contoh bahwa dalam proses pembiayaan akan memiliki dampak yang luas khususnya juga kepada masalah ekonomi secara luas. Maka, perlu ada tindak lanjut mulai dari apa yang harus dilakukan selanjutnya dan bagaimana sinkronisasi yang akan kita kerjakan. Jika semisal sudah ada RPJMD, ada hukum, ada kewenanagan, tapi ternyata ada permasalahan yaitu perbedaan prioritas masalah. Masalah penentuan prioritas ini tidak mudah. Perlu ada sinkronisasi kebijakan dulu dalam tingkat stakeholder (misal dalam 5 tahun pemilu) dan kita harus seoptimal mungkin menggunakan sumber daya yang kita miliki. Selain itu, dengan adanya laporan dari BPJS Kesehatan tersebut, kita harus dapat melakukan standar pelayanan kesehatan di Indonesia. Standar pelayanan ini sebaiknya juga mencakup dari kualitas, mutu, dan akses ke pelayanan kesehatan yang optimal. Salah satu sistem yang harus diperbaiki adalah masalah sistem rujukan, kompetensi dan kualitas SDM Kesehatan, profil kemampuan masing-masing FKTP dan FKTL, mengembangkan permberdayaan masyarakat, mutu pelayanan, dan lingkungan. Sinergisme aspek-aspek tersebut dapat menjadi acuan bagi stakeholder untuk dapat sampai pada penentuan program prioritas bersama, khususnya dalam bidan kesehatan.

Diskusi Panel 2

Moderator : Anis Fuad, DEA

Mengapa permasalahan bencana mudah menjadi penggerak bagi setiap orang yang terkait untuk dapat bekerja sama dan berkoordinasi dengan baik? (Pertanyaan dari Anis Fuad, DEA)

Jawaban :
Sebenarnya tidak mudah untuk dapat berkoordinasi dalam menanggulangi/tanggap darurat bencana, tapi masing-masing pihak terkait darimanapun, dengan kepentingan yang sama mereka akan menurunkan ego masing-masing sehinigga dapat bersatu dan berkoordinasi dengan lebih baik. Disisi lain, jika dilihat dari sisi manajemen SDM, respon terhadap bencana memberikan spontan recruitment personal yang mudah karena pemahaman bahwa bencana ini erat kaitannya dengan cepat tanggap dan memerlukan respon yang tinggi. Retension dari sisi bencana mulai dari fase emergency respon sampai fase selanjutnya bahkan masih ada terus tenaga-tenaga yang respon/turut serta menolong. Atau dapat dikatakan akan ada retensi yang lebih lama. Dalam proses release personalnya pun bahkan ada ceremony khusus yang dilakukan. Mungkin, hal-hal seperti ini dapat diadopsi untuk diterapkan dalam menghadapi permasalahan kesehatan pada daerah-daerah terpencil atau perbatasan.

Berkaitan dengan masalah sinkronisasi secara umum, dari tingkat provinsi biasanya akan memberikan gamabran secara umum yang akan diterapkan dan disesuaikan oleh masing-masing daerah kabupaten/kota. Permasalahannya adalah apakah penerjemahan maksud dan makna dari gambaran umum provinsi akan ditangkap atau ipahami sama ke depannya oleh kabupaten/kota di wilayahnya. Penerjemahan dalam sinkronisasi dalam waktu yang sama itu biasanya masih menjadi kendala. Tapi, biasanya saat terjadi bencana itu akan terjadi lebih mudah. Pemanfaatan anggarannya pun biasanya akan berbeda karena ada situasi sosial yang memang berbeda dari kondisi biasanya/normal.

Bagaimana meningkatkan retensi tenaga kesehatan di wilayah terpencil? (Pertanyaan via webinar dari Alvin Pasaribu),

Jawaban :
SDM Kesehatan harus dipastikan memiliki kompetensi dan kemampuan yang memadai. Selain itu, harus dipastikan bahwa kemampuan mereka itu cocok dengan kebutuhan masyarakat di lokasi yang menjadi sasaran. Kedekatan dengan pihak lokal juga dapat meningkatkan motivasi dalam bekerja. Disisi lain, dari pihak lokal/daerah juga harus memastikan bahwa ada kesiapan sarana prasarana yang menunjang prosedur kerja tenaga kesehatan terkait. Hal lain yang berpengaruh adalah kaitan dengan masalah insentif dan ikatan dinas Pegawai negeri Sipil (PNS). Mengingat bahwa ini berada di lokasi yang terpencil/perbatasan, maka sebaiknya yang harus dipastikan adalah sistem pelayanan/prosedur yang tetap/terstandar, meskipun nanti tenaga kesehatannya akan berganti-ganti.

Siapakah yang memiliki kewenangan dalam mengharmonisasikan kebijakan/regulasi? (Pertanyaan dari Shita Listyadewi, PhD),

Jawaban :
Dalam tata pemerintahan kita ada 3 lembaga terkait yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Legislatif memiliki wewenang dalam mengeluarkan produk hukum Undang-Undang. Dari pihak eksekutif, pemerintah pusat ataupun daerah memiliki c.q untuk lembaga teknisnya melalui kementerian atau instansi di daerah. Yudikatif sendiri memiliki kewenangan untuk menegakkan produk hukum baik di pusat ataupun di daerah. Di sisi lain, dalam melakukan penyusunan regulasi/peraturan, seharusnya juga mengikutsertakan orang-orang ahli yang terkait dengan substansi peraturan yang akan dibuat. Fungsi lain yang tidak boleh dilupakan adalah pihak-pihak yang terkait dalam penyusunan tersebut harus melihat bahwa jangan sampai ada pertentangan antara peraturan yang dia atasnya atau yang sudah ada sebelumnya. Harmonisasi ini diharapkan dapat menjadi penghubung dalam sinkronisasi substansi kebijakan dari pusat misalnya yang akan diturunkan atau diadopsi di daerah. Harmonisasi ini juga sangat penting untuk dilakukan agar tidak menimbulkan kebingungan/makna ganda dalam suatu regulasi tertentu.

{jcomments on}

Notulensi Panel 3: Isu Prioritas

Telah dilaksanakan diskusi Refleksi 2016 dan Outlook Kebijakan dan Manajemen Kesehatan 2017, sesi ini merupakan panel ke-3 yang dimoderatori oleh dr Bella Donna, M.Kes. Bertindak sebagai Pembahas yakni dr. Arida Oetami, M.Kes. Sesi ini memotret penjelasan yang sudah disampaikan oleh dr Nurcholis yang mengangkat tema KB dan Isu care pathway yang disampaikan oleh dr Shinta Prawitasari, SpOG. Menurut dr.Arida apa yang sudah dijelaskan oleh panelis merupakan kegiatan yang saling terkait antara satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan.

Jika melihat permasalahan KB dan KIA maka tidak lepas dari komponen keluarga, misalnya apa yang terjadi di Yogyakarta pada 2016 saja sudah lebih dari 60 kelahiran usia remaja dan hal ini tidak lepas dari komponen keluarga. Menurut Arida ,harus ada pengendalian penduduk baik terkait kualitas maupun kuantitasnya. Kualitas mencakup kualitas hidup termasuk umur harapan hidup), kuantitas yakni dengan pendewaasaan usia pernikahan. Untuk mengatur pertambahan penduduk secara kuantitas maka beberapa hal harus dilakukan dengan pengaturan kehamilan yang diinginkan, pembinaan kepesertaan KB, penggunaan alat obat KB, peningkatan pendidikan, akses layanan KB, penurunan kematian ibu pasca melahirkan dan kematian bayi dan anak. Atau bisa disebut pengaturan fertilitas dan penurunan mortalitas.

Menurut ibu yang pernah menjabat sebagai kepala Dinkes DIY ini, rencananya tahun depan pihak-pihak terkait akan merancang PERDA tentang ketahanan keluarga. Hal ini dilakukan untuk memastikan ibu hamil setelah melahirkan telah menjadi peserta KB baru. Dijelaskan juga bahwa perlu menguatkan sistem mulai dari pemerintah sampai dengan pelayanan KIA, tidak bisa yang diperbaiki hanya sistemnya saja, tapi sistem dalam komunitas itu juga harus dikerjakan. Maka, langkah selanjutnya ialah perlu membentuk konselor keluarga.

Sesi diskusi pada isu prioritas ke-3 berlangsung dengan baik, beberapa pertanyaan disampaikan sebagai bentuk mempertegas kembali terkait dengan kondisi terkini keterlibatan KB dan KIA dalam situasi kesehatan nasional saat ini. Beberapa permasalahan mengemuka terkait permasalahan kematian ibu dan anak, salah satu penyebab diantaranya adalah karena faktor budaya, mutu pelayanan kesehatan yang rendah, meskipun pada permasalahan akses bukan menjadi kendala. Jika dilihat dari program yang dilaksanakan terlihat bahwa masing-masing komponen sepertinya memeiliki agenda sendiri-sendiri padahal tujuannya sama sehingga ke depan diharapkan berhasil dalam mensinegrikan kebijakan antara Kemkes dan BKKBN. (Reporter: Andriani)

 

Sesi Pengantar Umum Kesehatan Global 2017: Resilient Health System

Mengawali Pertemuan Refleksi 2016 dan Outlook Kebijakan dan Manajemen Kesehatan 2017 PKMK FK UGM, dr. Yodi Mahendradhatta, MSc, PhD mengisi sesi pertama Pengantar Umum mengangkat tema kesehatan global yang di tahun 2017 yang akan mengusung topik Resilient Health System. Resilient Health System digadang-gadang akan menjadi revolusi besar di sektor kesehatan 2017, karena kata resilient atau resiliensi sendiri secara harfiah dapat diartikan ketahanan dari kejatuhan dan untuk bangkit. Konsep ini sebetulnya bukan konsep kesehatan secara murni, namun diadopsi mengingat banyaknya kejadian dan krisis yang terjadi pada tahun 2016 di berbagai sektor kehidupan yang turut mengancam ketahanan sistem kesehatan global sehingga relevan untuk diterapkan. Menurut jurnal Lancet, 2016 merupakan tahun kegelapan dengan banyaknya krisis yang terjadi termasuk di bidang kesehatan, diantaranya merebaknya Zika Virus yang bahkan dinyatakan oleh WHO sebagai global health emergency.

Kemudian terkait pendanaan kesehatan baik di skala nasional maupun global, berbagai konflik dan isu politis dunia turut berpengaruh terhadap pendanaan kesehatan. Misal akibat konflik Syiria, menyebabkan gelombang imigrasi besar-besaran di berbagai negara Eropa yang mengakibatkan negara-negara Eropa harus mengatur ulang pendanaan kesehatan nasionalnya untuk menangani pengungsi. Sedangkan di sisi lain, negara-negara Eropa memegang peran penting dalam pendanaan kesehatan global sehingga menyebabkan pemotongan kucuran-kucuran dana bagi negara berkembang dan tertinggal. Tidak terkecuali dengan kejadian Brexit atau keluarnya Inggris dari Eropa, yang turut mempengaruhi pendanaan kesehatan global karena Inggris juga merupakan salah satu penyumbang terbesar. Ditambah lagi dengan kondisi politik Amerika pasca terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden Amerika, pendanaan kesehatan dunia dalam ketidakpastian sedangkan Amerika merupakan penyumbang terbesar di WHO. Menurut dr. Yodi, dilatarbelakangi kondisi-kondisi inilah maka sistem kesehatan di 2017 agak sulit untuk diprediksi. Maka dalam Simposium Global Health Ke-4 di Vancouver beberapa waktu lalu, ditetapkanlah konsep Resilient Health System ini untuk Sistem Kesehatan 2017. Elemen-elemen dari Resilient System Sistem Kesehatan Global ini adalah :

  • kapasitas mendeteksi ancaman kesehatan sebelum terjadi (detect health system before they strike)
  • seberapa jauh sistem kesehatan komprehensif dan menjangkau masyarakat (melalui JKN)
  • kapasitas sistem mencegah disrupsi
  • seberapa cepat sistem memobilisasi sumber daya di luar kesehatan
  • sistem cepat bangkit ketika terguncang

Refleksi Sektor Kesehatan Secara Umum di Indonesia

Masih dalam sesi Pengantar Umum, pembahasan kedua mengangkat tema Refleksi Sektor Kesehatan Secara Umum di Indonesia, oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro. Dalam presentasinya Prof. Laksono mencoba merefleksikan kembali kondisi sistem kesehatan di Indonesia di tahun 2016 yang ternyata masih banyak masalah. Pertama dari sisi pembiayaan kesehatan, di tahun ke-3 pelaksanaan JKN Presiden Joko Widodo menyatakan, pemerintah mengalami kerugian mencapai 7 trilyun rupiah akibat defisit dana BPJS karena dana PBI digunakan oleh PBPU sehingga tidak tepat sasaran. Kedua, dari sisi hubungan antar lembaga, masih terjadi disharmonisasi antara BPJS dengan daerah karena sistem BPJS tidak match dengan sistem desentralisasi. Ketiga dari sisi supply side, yang menjadi keprihatinan adalah pertumbuhan rumah sakit swasta profit yang semakin agresif dibandingkan jenis rumah sakit lainnya, kemudian untuk penyebaran dokter spesialis kurang merata dan masih terpusat di Jawa. Keempat, dari sisi Promosi Kesehatan juga masih memprihatinkan, karena meski dananya sudah ada namun programnya tidak juga berjalan karena tenaga ahlinya masih kurang. Kelim,a dari sisi Alokasi Anggaran 2016 masih banyak klaim dana yang tertunda di BPJS, serta kasus fraud juga belum tertangani dengan baik. Melihat berbagai permasalahan ini maka kita patut pesimis bahwa UHC 2019 dapat tercapai di Indonesia, mengingat upaya pemerataan kesehatan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan sebagai goal UHC masih jauh dari harapan. Sehingga solusi di tahun 2017 adalah fokus pada pembiayaan kesehatan dan evaluasi kebijakan pembiayaan kesehatan (UU SJSN tahun 2004 dan UU BPJS tahun 2011). Fokus pada pembiayaan kesehatan dalam hal ini antara lain :

  1. Solusi Penambahan Sumber Dana : peningkatan penerimaan pajak, memberlakukan kebijakan batas atas untuk pengeluaran jumlah tertentu kelebihannya ditutup oleh Pemda
  2. Solusi pembatasan pengeluaran BPJS : pemberlakuan batas atas untuk PBPU, pemberlakuan batas atas untuk rumah sakit
  3. Solusi realisasi dana kompensasi BPJS, yang diatur dalam UU SJSN tahun 2004

Sementara itu, memasuki sesi diskusi, berbagai pertanyaan dan pernyataan mengemuka dari para peserta Pertemuan Refleksi 2016 dan Outlook Kebijakan dan Manajemen Kesehatan 2017, yang ditujukan kepada kedua pembicara sesi pengantar umum. Diantaranya mengenai keprihatinan banyaknya stateless people seperti anak jalanan yang notabene tidak memiliki identitas resmi sehingga posisinya tidak diatur dalam JKN. Menanggapi hal ini, dr. Yodi berpendapat bahwa dari sisi kesehatan global permasalahan stateless people tidak hanya terjadi di Indonesia. Bahkan di negara-negara maju jumlahnya masih banyak dan menjadi perhatian pemerintah. Sementara menurut Prof. Laksono, dari sisi kesehatan nasional permasalahan stateless people dalam status kesehatan dapat diatasi melalui Jamkesda. Meski di tahun 2017 wacananya Jamkesda akan dilebur ke dalam JKN. Namun menurutnya lebih baik Jamkesda jangan sampai hilang, karena BPJS dinilai masih belum siap mengambil alih semua beban pembiayaan kesehatan.

Pertanyaan kedua datang dari dr. Handoyo Pramusinto dari Divisi Manajemen Bencana PKMK FK UGM, yang menanggapi tema kesehatan 2017 : Resilient Health System sejalan dengan manajemen krisis, sekaligus menanyakan apakah UHC 2019 hanya merupakan beban BPJS saja dan bagaimana keadilan BPJS terhadap kesenjangan daerah. Menanggapi pertanyaan ini dr. Yodi mengungkapkan bahwa resiliensi masyarakat Indonesia menghadapi krisis diacungi jempol oleh dunia internasional, namun sistemnya yang perlu diperbaiki. Sedangkan terkait pertanyaan UHC, Prof. Laksono setuju bahwa UHC tidak bisa dibebankan kepada BPJS saja untuk keberhasilannya karena ternyata memang belum mampu.

Sementara itu, dr. Siti Noor Zaenab, M.Kes turut memberikan pendapatnya dengan menyatakan tidak cukup bila solusi pembiayaan kesehatan 2017 hanya dengan pemberlakuan batas atas saja. Melainkan perlu dilakukan perbaikan kelembagaan di semua lini, baik BPJS, rumah sakit, dan Pemda.

{jcomments on}

 

 

Ringkasan Diskusi Alokasi dan Sinergi Anggaran Kesehatan

backk

Anggaran Kesehatan dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, hal ini merupakan langkah besar bangsa Indonesia dalam hal investasi. Investasi yang dimaksud ibu Menkeu adalah berjalannya program pembangunan kesehatan sesuai yang dibutuhkan masyarakat Indonesia. Mekanisme anggaran melalui DAK Fisik, DAK Non Fisik dan mekanisme lain harus secara ketat diatur dalam regulasi dan pedoman untuk pelaksanaannya. Jadi penyerapan anggaran tidak hanya menunjukkan angka tetapi juga menunjukkan hasil dan dampak yang baik bagi pembangunan kesehatan.

Kasus-kasus yang sekarang banyak dihadapai menunjukkan bahwa perlunya perbaikan dimulai dengan Perencanaan Berbasis Bukti, berbasis data, pelaksanaan dari level pusat sampai level desa. Anggaran kesehatan yang naik di level Pemerintah Pusat hendaknya diikuti oleh kenaikan alokasi anggaran kesehatan di Pemerintah Daerah. Penggunaan anggaran yang “bijak” sesuai dengan kebutuhannya akan lebih menghasilkan dampak yang optimal. Sejalan dengan itu penguatan koordinasi dan integrasi program antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan dampak positif bagi investasi kesehatan di negara Indonesia.

Oleh: M Faozi Kurniawan

  Berikut arsip diskusi:

Likke Prawidya
Bagaimana pendapat Anda mengenai yang dipaparkan oleh bu Menkeu?
Isu lain apa yang menurut Anda penting?
Kontribusi apa yang dapat dilakukan oleh pelaku dan pemerhati kesehatan masyarakat di Indonesia?

Felix Mailoa
Dalam era desentralisasi bidang kesehatan, salah satu hal yang ditekankan oleh ibu menteri keuangan adalah komitmen untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan masyarakat karena merupakan suatu investasi namun menurut saya yang juga harus di perhatikan berkaitan dengan isu ini adalah menjamin anggaran kesehatan itu terserap dengan baik didaerah karena pengalaman selama ini, anggaran kesehatan didaerah sering tidak terserap dengan cukup baik. Sehingga, banyak program kesehatan didaerah yang dibuat hanya untuk menghabiskan anggaran dalam tahun berjalan. Jika hal ini tidak dimaksimalkan maka dikhawatirkan berapapun peningkatan angka/persentasi APBN terhadap sektor kesehatan tidak bisa sepenuhnya menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat khususnya didaerah.
Terima Kasih….

Ridwan
Betul Pak Felix, ijin menambahkan berkaitan dengan penyerapan anggaran di daerah, pengalaman selama ini banyak yang tidak terserap dengan baik karena berbagai alasan antara lain pemegang “kegiatan” didaerah tidak berani ambil resiko terkait pelaksanaan kegiatan yang kadangkala adanya pemahaman yang berbeda mengenai Juknis pelaksanaan kegiatan, seringkali anggaran yang berasal dari pusat (APBN) khususnya DAK Bidang Kesehatan berubah-ubah, maksudnya dalam tahun berjalan dimana DPA di Daerah sudah ditetapkan ternyata ada perubahan nominal penerimaan tiap daerah, adalagi penerapan JUKNIS yang dibuat oleh Pusat seringkali tidak tepat untuk dilaksanakan didaerah. Suatu waktu juga pernah disampaiakan oleh “Pusat” bahwa yang penting penyerapan anggaran di daerah harus sesuai target (terserap dengan baik) terkait dampak itu nomer sekian, sehingga memunculkan asumsi saya bahwa pelaksanaan pembangunan kesehatan hanya terfokus pada penyerapan anggaran saja mengenai hasil dan dampaknya akan mengikuti meskipun tidak optimal. Jadi, hemat saya Anggaran yang besar tetap berdampak pada pelayanan kesehatan didaerah, akan tetapi dalam proses perencanaannya akan lebih baik lagi kalau Daerah lebih dilibatkan dalam proses awal sehingga antara Pusat dan Daerah bisa Sinkron dalam pembangunan kesehatan (meskipun sudah ada sistem perencanaan yang baik melalui musrenbang dsb) dan terkait aspek-aspek hukum barangkali perlu lebih ditegaskan dalam Juknis yang ada dan perlu disampaikan juga kepada Kementerian/Lembaga terkait selaku pengawas/pemeriksa sehingga pelaksana didaerah lebih “nyaman” dalam pelaksanaannya dan pelaksanaan pembangunan kesehatan didaerah dapat terlaksana dengan baik serta tercapai dari segi output maupun outcome yang akhirnya berpengaruh pada penanganan masalah-masalah kesehatan di daerah bahkan secara nasional. Terima Kasih

Likke Putri
Betul pak Felix, ini senada dengan komentar bu Nanik di bawah, tidak hanya proporsi serapan yang belum optimal, tetapi juga bagaimana kualitas dari dana yang dipakai tersebut apakah sudah cukup bagus dan dapat mendongkrak kualitas pelayanan kesehatan?
Dana seringkali diserap hanya sekedar menyerap.
Apakah ada saran Pak bagaimana untuk ke depannya supaya serapannya itu tepat guna?
Terima kasih

Haryo Bismantoro
Penghitungan unit cost untuk tarif kapitasi yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik di kabupaten/kota penting untuk dilakukan untuk memastikan ketepatan alokasi dana untuk daerah.

Riesa
Salah satu hal yang menarik perhatian saya, namun juga sedikit menggelitik adalah pemberian IAKMI award kepada ibu menteri keuangan. Bahkan beliau sendiri mempertanyakan alasan pemberian tersebut, karena beliau merasa baru berkiprah 3 bulan dalam kancah kabinet saat ini. Juga sempat bertanya, apakah ini semacam down payment agar anggaran kesehatan selalu mendapatkan perhatian. sebenarnya ada setting apa di balik ini?
Terimakasih

Laksono Trisnantoro
Bu Riesa …ini diplomasi tingkat tinggi dari IAKMI. Sangat menarik….gaya IAKMI membina hubungan dengan Menkeu.
Bu Menkeu sendiri merasa berhutang…Ini hasil yang sangat menarik …Apakah tahun-tahun mendatang Bu Menkeu tetap pro-kesehatan masyarakat atau sebaliknya.
Salam

Riesa D
Kesehatan adalah salah kebutuhan mendasar masyarakat. Dan sektor keuangan menjadi salah satu kunci pokok keberlangsungan pembangunan kesehatan. Tidak bisa dipungkiri, tanpa ada ketersediaan sumber daya keuangan, pembangunan kesehatan bisa stagnan bahkan mandeg. Meski program kesehatan sebagus apapun tanpa dukungan pembiayaan yang memadai takkan dapat berjalan dengan optimal. Walaupun sumber pembiayaan kesehatan tidak hanya semata-mata berasal dari pemerintah, namun Menkeu merupakan salah satu aktor kunci dalam menjamin ketersediaan anggaran untuk terselenggaranya pembangunan kesehatan
Terimakasih

Nanik Sri Wahyuni
Saya menggaris bawahi pertanyaan Ibu Menkeu: “Setelah UHC ini dilakukan, apakah betul pelayanan kesehatan mencapai hasil yang baik?”
Pertanyaan tersebut sederhana namun maknanya mendalam.
Sebagai ahli kesehatan masyarakat, tentunya akan merasa tertantang untuk bisa berkontribusi lebih banyak dalam pembangunan kesehatan.
Terima kasih

Grace Sicilia
Poin penting yang disampaikan oleh Bu Mentri antara lain bahwa aspek kesehatan adalah aspek yang sangat strategis di semua Negara dengan permasalahan yang berbeda-beda. Keinginan untuk menciptakan UHC adalah baik menurut beliau namun persoalan yang muncul setelah tercapainya UHC adalah bagaimana menunjukkan hasil pelayanan yang baik bagi masyarakat. Karena dari hasil program evaluasi UHC yang beliau pimpin langsung di China digambarkan bahwa makin banyak jumlah anggaran yg dialokasikan pemerintah untuk kesehatan, masyarakatnya makin tidak puas. Dapat dimaknai bahwa permasalahan ternyata bukan hanya masalah “uang”. Hal yang tidak kalah pentingnya selain komitmen besar dari sisi anggaran adalah komitmen yang sama besarnya harus dimunculkan dari sisi desain, perencanaan, pemikiran dan pelaksanaan serta organisasi sampai ke level desa. Sehingga dapat mewujudkan suatu sistem terintegrasi antara pelaksanaan preventif dan promotif menjadi satu kesatuan dengan kuratif dengan memenuhi aspek efisiensi, akuntabilitas dan efektifitas untuk mencapai masyarakat yang sehat dan produktif. Terima kasih.

Arda Dinata
Menyimak paparan ibu Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani, dalam acara Kongres IAKMI di Makasar, ada beberapa hal yang menarik untuk diskusikan, seperti Pengalaman beliau selama bekerja di Word Bank (Bank Dunia), masalah kesehatan itu merupakan aspek strategis di semua negara. Keinginan untuk menciptakan Universal Health Coverage (UHC) itu baik, banyak negara menuju ke situ atau bahkan sudah mencapai UHC, seperti Negara Turki, Cina. Namun persoalan yang muncul setelah UHC, apakah pelayanannya menjadi baik dan mencapai hasil yang baik?

Hasil evaluasi UHC di Cina, justru menggambarkan kondisi pemerintah semakin banyak mengalokasikan anggaran kesehatan, ternyata masyarakatnya makin tidak puas. Jadi, persoalannya bukan masalah uang dan saya senang menggunakan kasus-kasus ini untuk menunjukkan, meskipun kita bisa memberikan komitmen besar dari sisi anggaran. Namun, tanpa adanya komitmen yang sama dari sisi desain, perencanaan, pemikiran, dan pelaksanaan, serta organisasi, sampai ke level desa.

Arti lainnya, kita tidak hanya membangun atau menambah jumlah sarana kesehatan (Puskesmas, RS), tetapi juga berapa jumlah sumber daya tenaga kesehatannya. Bagaimana kita bisa melakukan upaya secara preventif dan promotif itu dapat menjadi satu kesatuan dengan upaya kuratif dalam suatu sistem integrasi, sehingga ada aspek efesiensi, akuntabilitas, dan efektivitas dalam mencapai masyarakat yang sehat dan produktif.

Untuk itu IAKMI sebagai wadah para ahli masyarakat Indonesia dan institusi perguruan tinggi yang menghasilkan tenaga kesehatan masyarakat Indonesia ini, hendaknya dapat memproduksi dan memperbaiki kurikulum untuk bisa mengantisipasi persoalan pengelolaan kesehatan Indonesia. Di sini, kurikulum ahli kesehatan masyarakat itu betul-betul digali dari permasalahan yang urgen di masyarakat sebagai bahan proses belajar mengajarnya. Sehingga diharapkan nantinya para lulusan ahli kesehatan masyarakat ini benar-benar sudah terbiasa dalam menghatasi masalah kesehatan yang muncul di masyarakat. Selain itu, dengan pola pendidikan yang berkarakter sebagai ahli kesehatan masyarakat. Jangan sampai, perilaku dan praktek kesehariannya bertolak belakang dengan budaya hidup sehat.

Jadi, pada konteks ini, dimensi pembangunan yang paling relevan di sini adalah pembangunan manusia Indonesia yang berkarakter kesehatan masyarakat. Tenaga kesehatan adalah jadi salaah satunya. Artinya, sebelum kita mendidik kesehatan pada masyarakat, maka hendaknya para pelaku bidang kesehatan memberikan contoh dan teladan yang mendukung pola hidup sehat. Bukan justru malah sebaliknya. Di sinilah, keberadaan aspek pendidikan, kesehatan, perumahan, dan karakter serta mental manusia itu menjadi juga sama pentingnya.

Akhirnya, berdasarkan materi paparan dari ibu Menteri Keuangan RI tersebut, menurut saya ada kata kunci yang harus kita kawal dan dukung terkait visi dan komitmen pemerintah daerah, baik itu Gubernur, Bupati, Wali Kota dan Pemerintahan Desa terhadap anggaran pembangunan daerah untuk bidang kesehatan dari alokasi anggaran APBD di daerahnya masing-masing. Inilah diantara tugas para ahli kesehatan masyarakat yang tergabung dalam IAKMI untuk melakukan advokasi dan mengawal gerakan kesehatan masyarakat di tiap daerah di Indonesia. (www.ArdaDinata.com).

Faozi
Ijin komentar..
terkait Peran Pemda di Era JKN, beberapa penelitian memang belum menunjukkan hasil yg positif.
Untuk anggaran kesehatan program kesehatan di dinas kesehatan masih terbatas. UU 36/2009 yang mengamantkan10% untuk kesehatan diluar gaji masih belum tercapai.
Apakah perlu teguran keras dari Kemendagri terkait alokasi anggaran kesehatan 10%, apabila yaa..bagaimana dengan Pemda yang memang tidak memmpunya cukup anggaran untuk memenuhi anggaran 10% tersebut.

Laksono Trisnantoro
Setelah mendengar pidato bu Menkeu, apakah benar ada semacam penegasan dari beliau: Anggaran kesehatan dari APBN tidak akan bertambah banyak di masa mendatang. Para pengguna dana APBN diharapkan lebih efisien.
Disamping itu, perlu ada peningkatan anggaran dari luar APBN, termasuk APBD.
Apakah benar pengamatan saya?

Felix Mailoa
Saya sependapat dengan pendapat Prof tentang hal ini karena peningkatan anggaran belum tentu dapat mengatasi permasalahan kesehatan masyarakat secara lebih baik. Evaluasi menyeluruh terhadap keberhasilan program dari pusat sampai didaerah sangat penting untuk memetakan program-program yang selama ini berjalan namun tidak mencapai target yang ditetapkan sehingga dapat mengurangi beban anggaran dan mengalihkannya pada program-program yang lebih membutuhkan anggaran besar. Selain melakukan efisiensi di tingkat birokrasi, pemerintah juga harus melakukan efisiensi belanja, upaya pengelolaan anggaran di daerah harus transparan, akuntabel, ekonomis, efisiensi dan efektif, rasional dan terukur. Selain itu menemukan formulasi yang tepat dalam penentuan anggaran khususnya agar terhindar dari politik anggaran baik di legislatif maupun eksekutif dan yang terakhir adalah mengurangi belanja pegawai yang tidak rasional dan mengalokasikan anggaran yang tepat sasaran.
Terima Kasih

 

 

Pleno 1.2

pleno1-2

Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kesehatan Masyarakat

pleno1-2

Sulistiono (Ketua MTKI), memaparkan bahwa Surat Tanda Registrasi (STR) yang merupakan bukti tertulis dan dikeluarkan oleh MTKI dapat berlaku secara nasional maupun internasional. Saat ini hampir 34 ribu tenaga kesehatan masyarakat yang telah memiliki STR, dan terbanyak berasal dari Provinsi Sulsel (6000-an orang). Sulistiono menambahkan bahwa tenaga dengan jabatan fungsional atau dengan pengalaman tertentu yang ditetapkan oleh organisasi profesi sendiri, bisa mendaptakan sertifikasi meskipun secara pendidikan tidak melewati jenjang tertentu.

materi

Usman (Kepala Badan PPSDM Kementeran Kesehatan) mengatakan bahwa seharusnya kompetensi puskesmas diperkuat untuk mencegah semakin meningkatnya PTM. Data menunjukkan bahwa penanganan penyakit jantung telah menghabiskan anggaran JKN sebesar Rp 3,5T padahal kasus ini ada di urutan keempat terbanyak. 80% dana JKN digunakan untuk kuratif. IDI telah mengusulkan agar komposisinya diubah menjadi 50 : 50, untuk memperbesar kapitasi. Penyebaran tenaga kesehatan menunjukkan kecenderungan dimana kebanyakan nakes mengisi daerah-daerah barat dan kota besar. Hanya tenaga sanitarian yang menunjukkan pola sebaliknya, yaitu makin ketimur dan perifer makin banyak. Saat ini ribuan puskesmas masih kekurangan tenaga kesehatan. Diproyeksikan kebutuhan tenaga kesehatan untuk mengisi puskesmas-puskesmas tersebut adalah sebanyak hampir 63 ribu tenaga. Tahun 2019 ada lebih dari 56 ribu tenaga kesehatan sudah akan ditngkatkan kompetensinya.

materi

Anung Sugihantono (Dirjen Kesehatan Masyarakat) menggelitik peserta dengan pertanyaan siapa yang bertanggungjawab terhadap pengeluaran rumahtangga yang komposisinya lebih banyak untuk belanja makanan instan (26%) dan rokok (hampir 13%). Menurutnya, dengan perubahan generasi X dan Y menjadi generasi Z saat ini, para ahli kesehatan masyarakat harus pandai berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda, dan bukan hanya membicarakan mengenai trend kesakitan maupun prevalensi melainkan sampai keukuran-ukuran ekonomi, misalnya berapa kerugian dari banyaknya pasien dialysis perbulan yang menyerap APBN maupun APBD.

materi

IAKMI – sebagaimana dipaparkan oleh Dedi Supratman (Ketua UKSKMI) – telah melakukan berbagai upaya strategis untuk mewujudkan profesi kesehatan masyarakat yang mutunya diakui, misalnya dengan mengebangkan instrument untuk uji kompetensi dan menjalin MoU dengan berbagai instansi yang terkait. Sayangnya, hasil uji kompetensi yang dipaparkan oleh Agustin Kusumayanti menunjukkan bahwa kurang dari 40% peserta uji yang lulus. Artinya, mutu sarjana kesehatan masyarakat masih rendah dan sangat bervariasi antar – perguruan tinggi. 

silahkan klik materi dedi supratman dan agustin kusumayanti  materi 1   materi 2

Reporter: Putu Eka Andayani

 

 NAVIGASI REPORTASE

Hari I

Hari II

Hari III

 

 

 

{jcomments on}

 

Presentasi Oral Hari 3

oral5

Ekonomi Kesehatan

oral5Dwi Handono dari PKMK FK UGM memaparkan hasil penelitiannya mengenai kendala penyerapan Jampersal di salah satu kabupaten di Kalimantan Barat. Pembiayaan melalui program Jampersal di tahun 2016 ini dimanfaatkan untuk operasional rumah tunggu, operasional pelayanan kesehatan di rumah tunggu serta biaya transportasi rujukan persalinan. Daerah-daerah dengan karakteristik perdesaan ataupun terpencil membutuhkan rumah tunggu untuk mengantisipasi komplikasi maternal, namun demikian dana Jampersal tersebut belum terserap karena kurang terperinci-nya juklak/juknis, belum adanya Perda yang mengatur besaran biaya perjalanan untuk jarak tertentu, serta belum ada standar biaya dan fasilitas rumah tunggu yang akan disewa.

Peneliti lain dari PKMK FK UGM mengangkat topik kesetaraan alokasi pembiayaan program kesehatan antar wilayah perkotaan dan perdesaan di 3 kabupaten di Papua. Dari penelitian ini, ditemukan bahwa belum ada pedoman dalam perencanaan dan penganggaran yang spesifik mengarahkan perlunya alokasi secara khusus untuk wilayah perdesaan atau terpencil, guna memastikan bahwa dana dimanfaatkan dan dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat dalam satu kabupaten.

Beralih ke isu di pelayanan kesehatan tingkat rujukan, Ryman Napirah dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Tadulalako, Palu memaparkan hasil penelitannya mengenai costing Rumah Sakit melalui metode ABC, Activity Based Costing. Penelitian yang mengambil RS Anutapura sebagai lokasi penelitian menggunakan metode penghitungan costperawatan di Rumah Sakit berdasarkan aktivitas yang dilakukan oleh 3 kelompok pos pembelanjaan, yakni: 1) Unit level activity meliputi: telepon, listrik, air, makan-minum, perawat; 2) batch level activity: biaya kebersihan, bahan habis pakai, dan administrasi, serta; 3) Facility level activity: meliputi biaya laundry, gedung dan fasilitas. Dari analisis tersebut, Ryman menemukan bahwa perhitungan cost dengan metode ABC menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan penghitungan cost model tradisional. Ryman menutup sesinya dengan merekomendasikan penggunaan metode ini ke depannya untuk meningkatkan transparansi dan akurasi penghitungan unit cost di Rumah Sakit.

Nurfardiansyah Bur dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia, Makassar mengangkat isu hubungan antara bauran pemasaran Rumah Sakit Umum Daerah di Gowa dengan loyalitas pelanggan. Dalam dunia pemasaran, dikenal istilah ‘bauran pemasaran’ yang dapat diartikan sebagai alat perusahaan untuk memperoleh respon yang diinginkan dari pasar. Penelitian Nurfardiansyah mengambil sampel 114 pasien rawat dinap di RSUD Gowa dan melihat berbagai aspek pelayanan, antara lain: promosi, tenaga kesehatan penyedia pelayanan kesehatan, proses pelayanan, dan fasilitas fisik. Hal yang menarik adalah bahwa fasilitas fisik, promosi serta penyedia pelayanan kesehatan yang baik menjadi faktor-faktor yang berpengaruh pada loyalitas pasien, sedangkan proses pelayanan tidak berpengaruh pada loyalitas pasien. Tidak berhubungannya antara proses pelayanan dengan loyalitas dapat saja disebabkan oleh status pasien yang sebagian besar anggota BPJS Kesehatan dan status RS sebagau milik pemerintah, sehingga cenderung memiliki loyalitas tinggi.

Reporter: Likke Prawidya Putri, MPH

Penyakit Epidemiologi 4

oral9Pada simposium penyakit epidemioogi bagian 4 yang merupakan sesi presentasi oral yang melibatkan 8 peserta Konas dari berbagai daerah di Indonesia. Topik yang dibahas sangat beragam, mulai dari diare, polio, hingga TB-HIV.

Presentan pertama adalah Retno Mardhiati yang memaparkan hasil penelitian dengan judul faktor yang paling berperan dalam upaya kader care. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka kesembuhan mencapai 87%. Pasien yang sembuh adalah didominasi oleh responden berumur tua, jenis kelamin laki-laki, berpendidikan rendah serta rata-rata berpenghasilan rendah dengan waktu luang yang lebih banyak. Hipotesis utama menunjukkan bahwa PMO, dukungan keluarga dan kader berpengaruh terhadap kesembuhan pasien TB.

Presentan kedua yang tampil adalah Zulkifli yang mengupas tentang hubungan factor lingkungan dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare. Dalam penjelasannya, diare yang dimaksud dalam penelitian ini adalah diare akut dimana diare yang terjadi selama 14 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu hanya mengetahui saja tetapi belum bisa mengimplementasikan berbagai pendekatan kebersihan lingkungan. Faktor lingkungan dan pengetahuan ibu mempengaruhi kejadian diare, dimana pengetahuan adalah faktor yang paling besar pengaruhnya.

Ricky Hamdani dari Universitas Airlangga melakukan penyelidikan terhadap penyakit difteri, Untuk angka kasus penyakit difteri, Indonesia berada di peringkat kedua dunia. Di kabupaten Mojokerto sendiri, terdapat 22 kasus difteri pada tahun 2015. Metode penelitian menggunakan formulir penyelidikan KLB. Pasien yang merasa demam dan setelah diteliti lagi maka terdapat pseudo membrane maka pasien tersebut termasuk dalam sampel penelitian. Rekomendasi mengarah kepada penanganan pasien difteri adalah pemberian ADS dan pemeriksaan kontak

Rosa Hadisaputra menyampaikan materi tentang efektivitas vaksin polio. Pada saat ini penggunaan polio IVP tidak berisiko menurunkan virus polio dari vaksin sehingga penting untuk terus didorong Selain itu faktor penting pendukung efektivitas imunisasi polio adalah keterlibatan masyarakat dan pelaporan aktif, penggunaan formulir FP-PD dan PWS KLB, pengetahuan petugas, dan cakupan imunisasi.

Cicilya Windyaningsih memaparkan determinan ketahanan hidup ODHA di kota Jambi. Sampel terdiri dari 181 ODHA dengan kasus paling banyak meninggal adalah permasalahan yang kombinasi. Temuan penelitian ini bahwa pengobatan, umur, jumlah CD4 dan tingkat pendidikan adalah variabel yang dominan dimana semua faktor memiliki peran hingga 18% terhadap kondisi ketahanan hidup. Saran penelitian ini adalah diagnosis dan treament yang tepat sehingga pasien ODHA dapat lebih lama bertahan.

Syamsa Latif, seorang mahasiswa yang sedang menyusun disertasi dengan topik implementasi sistem skoring Indonesia dalam diagnosis tuberkulosis. Sistem skoring telah lama ada di Indonesia namun belum efektif. Sehingga perlu adanya modifikasi sistem skrining. Model yang dibentuk adalah model tambahan pada model sebelumnya (SSI). Kesimpulan implementasi disertai modifikasi dari SSI ternyata meningkatkan temuan penderita TB sampai 40%.

Thresya Febrianti menyebutkan bahwa faktor fisik rumah telah menyebabkan TB paru, kondisi rumah sehat tidak lebih dari 40 % kelembaban, pencahayaan, dan suhu, Selain itu, terdapat hubungan antara kondisi fisik terdiri dari pencahayaan, luas jendela, jenis dinding, dan jenis lantai rumah.

Reporter Faisal Mansyur

Presentasi Oral Jaminan Kesehatan Nasional 1

Presenter pertama adalah Budi Eko Siswoyo dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM. Budi mempresentasikan hasil penelitiannya yang berjudul “Cakupan Kepesertaan Sektor Informal dalam Program JKN dan Studi Kasus di Provinsi DIY”. Sekitar 20,41 % penduduk DIY termasuk pekerja sektor informal (DIY dalam angka, 2013) dan sekitar 33,60 % di antaranya adalah kelompok pekerja yang berusaha sendiri. Cakupan PBPU pada pekerja sektor informal di DIY masih sangat rendah dan peningkatannya kurang signifikan. Dari 200 responden pekerja sektor informal, mayoritas memiliki pendapatan 2x dari UMR Provinsi DIY, jadi tidak semuanya miskin. Pekerja kasar adalah kelompok yang paling rendah kesadarannya untuk ikut JKN, padahal paling rentan terhadap kecelakaan kerja.

Hasil studi menunjukkan bahwa responden memahami pentingnya JKN namun cenderung menunda kepesertaan karena menganggap manfaat dan prosedurnya rumit, serta pemahaman yang minim. Keluhan dari peserta menular ke masyarakat yang belum menjadi peserta dan menambah keengganan untuk menjadi peserta. Untuk meningkatkan kesadaran pekerja informasl, rekomendasinya adalah memperbaiki sarana dan konten prioritas sosialisasi, program layanan tambahan, penanganan keluhan masyarakat dan kajian dan monev JKN lebih lanjut.

Presenter kedua – Evindiyah PD, mahasiswa Prodi S3 FKM UI – membawakan makalah berjudul “Analisis Tingkat Penutupan Biaya Klinik Swasta “X” terhadap Pembayaran Kapitasi BPJS di Kota Depok Tahun 2015 “Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masih sangat kurangnya penilaian yang terkait dengan masalah penutupan biaya klinis. Tujuannya mendapatkan Angka Penutupan Biaya (Cost Recovery Rate/CRR) dari kapitasi yang dibayarkan BPJS terhadap seluruh biaya yang dikeluarkan oleh Klinik Swasta “X” di Kota Depok Tahun 2015. Hasilnya, Klinik X mendapatkan penerimaan dari kapitasi yang dibayarkan oleh BPJS sebesar Rp.10.000,- per peserta per bulan selama 6 bulan (bulan Januari –Juni 2015). Total penerimaan kapitasinya adalah Rp.1.426.250.000,- Untuk Cost Recovery Rate (CRR) atau Angka Penutupan Biaya) selama 6 bulan adalah 119,1%, artinya penerimaan yang didapat bisa menutup seluruh biaya yang dikeluarkan untuk melayani peserta BPJS ditambah klinik mendapatkan surplus (keuntungan)

Presenter ketiga – Ghofur Hariyono, FK UGM – berjudul “Implementasi Prosedur Admisi Pasien Rawat Inap Peserta Jaminan Kesehatan Nasional di RSUD Dr. Soetomo Surabaya”. Sejak JKN, pasien rawat inap yang menjadi peserta JKN menunjukkan trend yang meningkat, padahal sistem rujukan berjenjang sudah diatur oleh pemerintah. Ternyata, pasien peserta JKN yang berobat langsung mengakses fasilitas kesehatan lanjutan ketika membutuhkan layanan kesehatan, seharusnya pasien mematuhi sistem rujukan secara terstruktur dan berjenjang. Manajemen rumah sakit kurang responsif terhadap kebutuhan sarana prasarana, seharusnya menyediakan kecukupan tempat tidur, ruang tunggu, dan sarana informasi yang cukup memadai sesuai dengan kebutuhan tempat tidur pasien yang naik kelas perawatan. Pengelolaan sistem informasi rujukan yang belum terpadu antara fasilitas kesehatan yang merujuk pasien dengan fasilitas kesehatan yang dituju.

“Program Prolanis dalam Penerapan Kebijakan Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan Kesehatan di Puskesmas Kota Bengkulu” yang dibawakan oleh Henni Febriawati adalah presentasi terakhir pada sesi paralel ini. Puskesmas dikatakan berhasil bila angka kontak tinggi, angka rujukan non spesialistik rawat jalan rendah dan pengelolaan prolanis yang efisien dan efektif. Harapan tehadap peran puskesmas mencakup bukan hanya melayani kunjungan pasien sakit melainkan juga melayani kunjungan masyarakat sehat.

Ada 20 puskesmas di kota Bengkulu, hanya 6 yang masuk ke zona prestasi (skor sama dengan atau lebih dari 99%) dan zona aman (skor sama dengan atau lebih dari 50%). Senam rutin dan edukasi dilakukan oleh puskesmas-puskesmas yang masuk zona aman dan prestasi. Puskemas yang tidak masuk dalam zona aman dan zona prestasi oleh presenter digolongkan ke dalam zona merah. Kelompok puskesmas ini memiliki sarpras pendukung yang masih terbatas, Masyarakat tidak mengikuti keg. Preventif dan Promotif serta tidak patuh prolanis dan masyarakat belum terdata sbg penderita DM tipe 2. Kesimpulan dari penelitian ini: 1) Pembayaran kapitasi puskesmas di Kota Bengkulu masih sangat jauh dari target, yaitu 75% puskesmas % pembayarannya dibawah 100% dan 2) besaran kapitasi rata-rata puskesmas kota Bengkulu Rp. 5.125,- dari maksimal Rp. 6.000,- . dana kapitasi (pea).

Reporter : Putu Eka Andayani, M. Kes

Presentasi Oral Jaminan Kesehatan Nasional 2

Juanita
Evaluasi klaim JKN di RSUD dan RS swasta di Sumatera Utara

Penelitian berfokus pada klaim JKN di RSUD dan RS Swasta, merupakan studi deskriptif dengan menggunakan data klaim JKN 6 RS di daerah Sumatera Utara tahun 2014 – 2016. Menarik, di RS Sibolga pembayaran dilakukan > dari yang diklaimkan. Di semua sample RS, terlihat trend peningkatan klaim. Klaim di RS swasta juga lebih besar daripada RSUD. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak RS di daerah Sumatera Utara yang kurang lengkap peralatannya cenderung merujuk pasiennya ke RS swasta. Data juga menunjukkan bahwa mayoritas adalah pasien JKN mandiri dengan penyakit kronis. Ini merupakan peluang penghematan karena PTM sebenarnya dapat dicegah dengan promotif preventif.

Kasman Makkasau
Kerugian Ekonomi vs Asuransi Kesehatan

Argumentasi yang diajukan adalah pentingnya melakukan advokasi khususnya kepada pimpinan daerah. Caranya dengan belajar dari sektor lain (dalam hal ini Pekerjaan Umum) yaitu menunjukkan kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan. Misalnya, disinyalir ada kerugian ekonomi di Kabupaten Polman pada tahun 2013 sebesar Rp.62 milyar. Artinya, pemerintah daerah harus bertindak untuk mencegah potensi kerugian ini. Hasilnya, program jaminan kesehatan Provinsi Sulbar diterapkan dengan bekerja sama dengan PT Askes untuk memastikan bahwa pesertanya tetap mendapat pelayanan walaupun tengah berada di provinsi lain.

Maxsi Irmanto
Implementasi JKN pada Puskesmas di Provinsi Papua Tahun 2016

Penelitian yang dilakukan di Jayapura (5 Puskesmas) dan Jayawijaya (8 Puskesmas) tahun 2016 ini menunjukkan beberapa masalah dalam pemanfaatan dana kapitasi yang dipersepsikan kurang fleksibel karena sudah ditentukan proporsinya, dan ada penambahan beban kerja pegawai Puskesmas yang tidak diikuti oleh penambahan staf. Di samping itu, pemanfaatan dana Non kapitasi juga dirasa belum optimal karena pengajuannya diberi persyaratan administrasi yang rumit. Selain itu, banyak penduduk yang belum memiliki kartu BPJS. UKM masih bertumpu pada dana BOK dan Otsus. Disarankan bahwa pelaksanaan JKN harus mempertimbangkan aspek kewilayahan khususnya mempertimbangkan faktor geografis dan indeks kemahalan.

M. Faozi Kurniawan
Supply Side Kesehatan dan Equity

Penelitian memperlihatkan bahwa jumlah spesialis dasar per provinsi menunjukkan pertumbuhan besar masih terpusat di DKI dan Jawa Barat diikuti Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pola yang sama terulang di semua jenis profesi termasuk bidan dan perawat. Pertumbuhan Puskesmas juga masih tertinggi di Jawa, diikuti oleh Sumatera. Sementara untuk RS, walaupun pertumbuhannya tinggi tapi ternyata pertumbuhan yang paling pesat terjadi di sektor swasta. Begitu pula dalam hal tempat tidur (TT), walaupun TT sektor publik masih jauh lebih banyak, tetapi pertumbuhannya yang pesat tetap di sektor swata. Akibatnya dapat diperkirakan bahwa klaim JKN masih tertinggi di Jawa. Ditekankan bahwa selama pembangunan infrastruktur kesehatan belum menjadi prioritas di RPJMN dan RPJMD maka sisi supply masih akan mengalami kekurangan.

Endang Sutisna
Monitoring dan Evaluasi JKN di Karanganyar dan Kota Surakarta

Penelitian memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan memiliki hubungan nyata dengan pengetahuan tentang BPJS. Terdapat perbedaan yang sangat nyata mengenai persepsi pemberi pelayanan kesehatan terhadap dampak sistem kapitasi pada kualitas pelayanan menurut perdesaan dan perkotaan. Disinyalir ada pula persepsi bahwa sistem kapitasi memiliki hubungan yang negatif dengan kepuasan layanan.

Isniati
Analisis Tingkat Kepuasan Pasien Peserta JKN di Puskesmas Kota Padang tahun 2016

Penelitian cross-sectional dengan kerangka servqual menunjukkan bahwa beberapa atribut masih membutuhkan perhatian, yaitu atribut kenyamanan ruang tunggu pasien, jadwal ketepatan jadwal pelayanan, kecepatan tindakan nakes dalam menangani pasien, keramahan nakes dan perhatian nakes terhadap keluhan pasien.

Andi N. Amin
Kemampuan stakeholder dalam melaksanakan JKN di RSUD Yowari Kabupaten Papua

Terlihat dari hasil wawancara (pada tahun 2015) faskes masih belum mampu memberikan layanan yang komprehensif misalnya dari 145 TT hanya 121 yang bisa digunakan, ambulans ada 2 namun yang bisa beroperasi hanya 1. Selain itu, belum ada regulasi pelaksanaan JKN di Kabupaten Jayapura, terutama karena Kartu Papua Sehat masih menjadi prioritas dibanding JKN. Selain itu, dari sisi persediaan obat dan alkes, banyak masih kekosongan akibat perencanaan yang digunakan masih didasarkan pada tahun sebelumnya. Selain itu, mereka belum memahami cara mencari dan membeli obat dengan E-katalog. Dari sisi SDM, karena tidak ada dokter spesialis, pasien harus dirujuk. Tenaga bidan dan perawat sangat minim. Sosialisasi yang sudah dilakukan dinilai kurang karena pelaksanaan sosialisasi tidak berarti bahwa informasi sudah dipahami.

Gizi dan 1000 HPK-8

oral6Dalam sesi ini, dilaksanakan presentasi oral dari hasil studi peserta yang berkaitan dengan tema utama yaitu Gizi dan 1000 Hari Pertama Kehidupan-8. Pada presentasi pertama, ada judul yang agak berbeda dengan tema besar, namun presentasi tetap dapat dilanjutkan karena materinya sangat menarik, yaitu tentang Integrasi Manajemen dan Regulasi pada Program Pengobatan ARV dalam Sistem Kesehatan di Kota Makassar. Presentasi ini disampaikan oleh Shanti Riskiyani dari Universitas Hasanudin Makassar. Studi yang dilakukan merupakan hasil kerjasama juga antara DFAT Australia, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM, dan Universitas Hasanudin Makassar. Latar belakang dalam pengambilan studi ini adalah terkait dengan Sulawesi Selatan khususnya Kota Makassar sejak 2014 menjadi wilayah pelaksanaan inisiatif penggunaan ARV untuk pengobatan dan pencegahan yang dikenal dengan Strategic Use of ARV (SUFA). Tujuannya untuk menemukan mekanisme integrasi manajemen dan regulasi pada program pengobatan ARV ke dalam sistem kesehatan di Kota Makassar. Dikatakan bahwa dukungan kepatuhan dan ketersediaan ARV diperlukan dari pemerintah. Program Puskesmas LKB dan SUFA meningkatkan jumlah orang yang tes HIV, peran partisipasi masyarakat khususnya tenaga penjangkau mendorong kelompok resiko tinggi untuk tes HIV, dan pentingnya peningkatan integrasi antarlembaga dan kepentingan.

Presentasi kedua disampaikan oleh Nuryani dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Gorontalo. Presentasi yang disampaikan berjudul Hubungan Pola Pemberian ASI dan MP ASI dengan Status Gizi Balita di Desa Tinelo, Kabupaten Gorontalo. Penelitian ini menekankan di awal bahwa Asupan gizi yang baik dan cukup dapat mendorong pertumbuhan, perkembangan, dan status sehat balita. Fokusnya adalah pada pemberian ASI eksklusif selama enam bulan dan dilanjutkan MP ASI yang aman dan cukup. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara pola pemberian ASI dan MP ASI dengan status gizi balita di desa Tinelo, Kabupaten Gorontalo. Dalam presentasi dikatakan bahwa ada pengaruh dari tingkat pengetahuan ibu mengenai usia optimal mendapatkan MP ASI dengan pemberian MP ASI dini. Selain itu, disarankan pula untuk sikap proaktif masyarakat dalam melakukan penimbangan dan pengukuran tinggi badan balita.

Terakhir, sebagai penutup sesi presentasi oral hari ini, presentasi ketiga disampaikan oleh Eka Prasetia dengan judul Hubungan Asupan Protein dengan Kadar Ureum dan Kreatinin pada Penderita Gagal Ginjal Kronik Sebelum Terapi Hemodialisis di Rumah Sakt Umum Daerah
(Rsud) Undata Palu. Penelitian ini merupakan kerjasama antara Bagian Kimia FKIP Universitas Tadulako Palu, Bagian Gizi RSUD Undata Palu, dan Bagian Gizi FKM Unismuh Palu. Dari studi yang disampaikan ditemukan bahwa asupan protein berhubungan dengan kadar ureum dan kreatinin pada pasien gagal ginjal kronik. Menindaklanjuti hal ini dikatakan perlu ada penyuluhan dan konseling gizi untuk pasien tentang terapi diet untuk mengendalikan kadar ureum dan kreatinin dalam darah.

Reporter : Aulia Novelira, SKM.,M.Kes

Presentasi Oral – KB dan Kespro

Mengambil tema Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Reproduksi, sesi ini diisi oleh 7 presenter dari berbagai daerah di Indonesia. Yang pertama adalah Dessy Ramayanti dari Dinas Kesehatan Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Di daerah ini, membicarakan kesehatan reproduksi diidentikkan dengan seks sehingga dianggap tabu. Agar program sosialisasi kepada remaja tetap dapat berjalan, Dinas Kesehatan mengambil tindakan inovatif, yaitu dengan menggunakan kesenian tradisional daerah madihin. Pesan-pesan kesehatan disampaikan melalui baris-baris puisi yang diiringi dengan musik Banjar. Informasi kesehatan yang disampaikan dengan cara ini terbukti efektif meningkatkan pengetahuan pelajar di sekolah mengenai kesehatan reproduksi.

Presenter kedua, dr. Leo Prawirohardjo, Sp.OG, Ph.D menyampaikan mengenai cara memotivasi ibu-ibu yang datang ke RSIA Siti Fatimah, Makassar untuk menggunakan kontrasepsi IUD dan implan. KB termasuk pelayanan kesehatan dasar yang penting untuk mengendalikan kuantitas penduduk agar menghasilkan generasi yang berkualitas. Kementerian Kesehatan juga memasukkan pelayanan KB sebagai salah satu benefit package dalam JKN. Saat ini, penggunaan metode kontrasepsi yang paling tinggi adalah suntik, sementara IUD dan implant sudah terbukti lebih efektif malah berkurang jumlah pengunanya. Untuk mendorong penggunaan alat kontrasepsi ini, RSIA Siti Fatimah membuat Poli Keluarga Berencana. Staf poli dilatih dengan materi effective communication untuk memberikan konseling sejak ibu datang untuk pemeriksaan ANC hingga saat ibu datang untuk imunisasi anaknya. Dengan konseling ini, diharapkan ibu wanita usia subur dapat memilih kontrasepsi yang efektif dan rasional. Di RSIA Siti Fatimah, penggunaan kontrasepsi IUD dan implant tebukti meningkat.

Selanjutnya, Ibu Masni memaparkan penelitiannya yang dilatarbelakangi oleh Angka Kematian Ibu (AKI) yang tinggi di Sulawesi Tengah. Tingginya angka unmet need (persentase wanita kawin yang tidak ingin punya anak lagi atau ingin menjarangkan kelahiran berikutnya, tetapi tidak memakai alat/cara kontrasepsi) juga menyebabkan angka abortus sangat tinggi. Penelitian ini menunjukkan bahwa di RSUD Undata, Sulteng, ibu yang mengalami abortus rata-rata berusia 20-35 tahun (usia reproduski sehat) dan berpendidikan SMA ke atas. Sebagian besar dari mereka juga tidak bekerja di luar rumah, tidak menggunakan alat kontrasepsi dan tidak memiliki riwayat abortus.

Presenter keempat adalah Bapak Abe yang berasal dari NTB yang membuktikan bahwa pendekatan advokasi kepada pemerintah di tingkat kabupaten dan desa berhasil meningkatkan cakupan pengguna MKJP ( Metode Kontrasepsi Jangka Panjang). Dukungan kebijakan berupa Surat Edaran Bupati menghimbau pemerintah desa mengalokasikan 10 % dari Anggaran Dana Desa (ADD) untuk program KB dan Kesehatan. Hasilnya, tercatat 110 Perdes yang terbit dan terbentuk 10 tim KB desa dan 10 tim KB kecamatan. Selain itu, pendekatan budaya juga dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat untuk mengubah mindset masyarakat.

Presenter kelima, Bapak Asnawi Abdullah, melakukan penelitian di 3 kabupaten di NTT untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan Angka Kematian Ibu (AKI). Tercatat di sepanjang tahun 2009-2014, AKI di ketiga kabupaten ini turun drastis secara konsisten. Sementara pada periode yang sama, daerah lain masih bergumul dengan sulitnya menurunkan AKI. Ternyata, pencapaian ini didukung oleh faktor kepemimpinan lokal yang kuat, inovasi dalam memecahkan masalah, kemampuan membangun kepercayaan stakeholders secara konsisten, mobilisasi masyarakat dan menumbuhkan rasa kepemilikan sehingga program penurunan AKI menjadi bagian dari tatanan dalam kehidupan bermasyarakat. Organisasi informal jejaring KIA, seperti Pekan Kesehatan Ibu dan Anak (PKIA) serta Paroki Siaga Lokal juga memainkan peran yang tidak kalah pentingnya. Dari temuan ini, tim peneliti menyimpulkan bahwa semua hal ini akan menjamin keberlanjutan gerakan program terpelaps dari ada atau tidaknya bantuan donor.

Presenter kedua terakhir adalah Ibu Emy Leonita dari Pekan Baru, yang mengidentifikasi perilaku suku Nias di Pekan Baru, dimana cakupan kelahiran dengan bantuan tenaga kesehatan masih rendah. Sebagian besar dari mereka bermata pencaharian sebagai buruh pembuat batu bata dengan rata-rata penghasilan Rp. 500,000 per keluarga per bulan. Faktor keterbatasan ekonomi membuat mereka enggan melakukan kunjungan ANC dan Posyandu, apalagi melahirkan di fasilitas kesehatan. Jaminan kesehatan juga tidak bisa diakses karena sebagian besar adalah pendatang dan tidak memiliki kartu identitas. Biasanya penolong persalinan adalah suami, ibu kandung atau ibu mertua. Sebelum melahirkan biasanya perut ibu hamil akan dipijat atau ditekan agar bayi cepat keluar. Mereka juga menggunakan pisau silet atau bambu untuk memotong tali pusar. Pasca melahirkan, ibu diberi minuman bersoda yang dipercaya dapat mengeluarkan darah kotor dengan cepat. Bila setelah beberapa hari pusar belum kering, maka pusar akan diolesi dengan bubuk kelopak pinang bakar.

Presenter ketujuh, sekaligus yang terakhir adalah mahasiwa FK Universitas Lambung Mangkurat yang mencoba mengidentifikasi apakah Angka Kematian Bayi (AKB) yang tinggi berhubungan dengan status ekonomi keluarga dan akses ke fasilitas kesehatan. Batasan status ekonomi yang dipakai adalah UMR Kabupaten Banjar, yakni Rp. 1,850,000 dan batasan untuk akses adalah jarak rumah ke fasilitas kesehatan sejauh 5 kilometer. Penelitian ini membuktikan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara AKB dengan status ekonomi maupun akses ke fasilitas kesehatan.

Presentasi Oral Hari 2

oral1

Kemitraan dalam Pembangunan Berkelanjutan

oral1Pembangunan berkelanjutan tentunya membutuhkan kerjasama lintas sektor. Peningkatan derajat kesehatan untuk masyarakat hidup sehat dan bahagia dalam mencapai sasaran pembangunan berkelanjutan yang merupakan tajuk dari Konas IAKMI XIII Makassar, menyiratkan pentingnya kemitraan untuk mencapai visi Indonesia Sehat. Sesi presentasi oral pada hari Jum’at (05/11/2016) menghadirkan pemateri-pemateri yang telah terlibat dalam upaya inisiasi maupun eksekusi kemitraan lintas sektor.

Dari sektor KIA, Ketut Surmayaksa, Tuti Sumartinah, dan Deni Harbianto mengangkat berbagai pendekatan kemitraan yang berbeda dalam menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Ketut menyasar pendampingan pada ibu hamil sebagai bagian dari program pengabdian mahasiswa untuk memastikan kunjungan antenatal diketahui dan dijalankan oleh ibu hamil. Tuti menggali potensi kemitraan yang dapat dilakukan Dinas Kesehatan dengan indung beurang (dukun bayi). Potensi indung beurang ke depan diharapkan dapat menjadi agen pemeliharaan kesehatan keluarga berbasis budaya dan agama untuk melengkapi fungsi bidan sebagai tenaga profesional. Deni, peneliti dari PKMK FK UGM, menggandeng SKPD Kesehatan dan SKPD terkait lainnya untuk melakukan Perencanaan Penganggaran Berbasis Bukti (PPBB) untuk mendukung perencanaan KIA berbasis permasalahan lokal.

Isu-isu menarik lainnya datang dariRisnah yang mengambil pendekatan Participatory Action Research (PAR) di Jeneponto dengan terlibat langsung untuk memberdayakan aset masyarakat bersama-sama warga setempat. Dengan upaya ini, Risnahingin membangun inklusi sosial yang dapat meningkatkan kemandirian individu. Ni Made Dian Kurniasari melakukan survey untuk melihat potensi pemberian informasi kesehatan pada wisatawan melalui pramuwisata di Bali. Dian menemukan bahwa pramuwisata memiliki efikasi dan keinginan untuk menjadi aktor kesehatan di sektor pariwisata.

Dito Anurogo melirik kerjasama keilmuan di sektor kesehatan dan melihat adanya potensi malconduct dan ketidaketisan yang terjadi saat ini dan akan terjadi di masa yang akan datang, terutama pada studi mengenai otak dengan teknologi yang semakin canggih. Dito mengungkapkan bahwa neuroetik (etika mengenai sistem syaraf) harus diturunkan, bukan lagi sebagai wacana tapi sudah merambah isu publik. Oedojo Soedirham menyoroti perubahan persepktif kesehatan masyarakat yang bukan lagi menyangkut sanitary tapi ke arah health setting. Persepektif ini adalah perspektif holistik lintas-sektor di mana kesehatan tidak hanya dilihat dari penyediaan infrastruktur tetapi juga dengan memodifikasi lingkungan dan budaya. Oedojo mencoba menjelaskan perspektif ini untuk melihat kemungkinan diterapkannya health promoting university, di mana pengelola universitas secara aktif membangun healthy setting di kampus.

Singkatnya waktu dan banyaknya pembicara membuat sesi ini terkesan terburu-buru dan alokasi untuk waktu tanya jawab dihilangkan. Meski demikian, peserta dapat melihat potensi berbagai jenis kemitraan baik yang dilakukan oleh universitas, dinas kesehatan, bahkan dinas pariwisata.. Sesi ini memberikan gambaran yang menarik bagaimana memanfaatkan kemitraan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan.

reporter : Insan Rekso Adiwibowo

Gizi dan 1000 Hari Pertama Kehidupan

oral7

Nasrul, SKM, MKes

Pembicara pertama mempresentasikan suatu hasil penelitian yang berjudul “Determinan stunting pada anak usia 6-23 bulan di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah”. Pembicara menyatakan bahwa determinan utama stunting pada bayi kelompok 6-23 bulan di Kota Palu berasal dari masalah gizi pada fase ibu hamil, rendahnya kecukupan ASI serta kurangnya pengetahuan masyarakat terutama ibu hamil dan ibu menyusui terkait dengan pentingnya gizi dalam rangka penurunan kejadian stunting. Bahkan sebagian besar masyarakat masih belum mengetahui kejadian stunting. Pola perbaikan gizi masyarakat menjadi kebijakan utama dinas kesehatan kota Palu dalam penurunan kejadian stunting pada bayi.

Saifuddin Sirajuddin,

Pembicara kedua menyajikan “Pengaruh pemberian bubur bekatul terhadap kadar glukosa HDL dan LDL anak obesitas”. Penelitian selama setahun terakhir menunjukkan bahwa dengan pemberian tambahan gizi dari penyajian bekatul yang diolah berupa makanan bubur akan berpengaruh kepada tingkat HDL dan LDL pada anak yang telah dinyatakan obesitas. Kadar kolesterol menurun sehingga akan memperbaiki struktur glukosa dalam darah pada anak obesitas.

Abdul Salam

Presentasi ketiga berjudul “Body Image kaitannya dengan kebiasaan makan, eating disorder, pengetahuan gizi dan aktifitas fisik remaja”. Hasil kajian menarik disajikan melalui penelitian ini, yang menyatakan bahwa remaja perempuan mempunyai kecenderungan untuk melakukan perubahan pola makan, diet dan bahkan sampai penurunan drastis berat badan tanpa alasan, hanya karenamerasa tubuhnya tidak proporsional (Body Image Negatif). Sehingga meningkatkan pola eating disorder, dan akan menyebabkan gejala gangguan gizi kepada remaja putri.

Andi Sani Silawah

Pengembangan Makanan Pendamping ASI berbasis ulat sagu di Sulawesi Selatan telah membawa hasil peningkatan status gizi yang lebih positif. Penelitian di Jeneponto menyatakan bahwa ulat sagu memiliki kandungan gizi dan lemak yang bagus untuk pembentukan protein pada bayi. Pengolahan ulat sagu menjadi bubur makanan pendamping ASI, bisa menjadi solusi di daerah yang menggunakan sagu sebagai bahan makanan pokok, untuk sarana menambah protein bagi bayi.

M. Ardan Wahyudin

Presenter terakhir menyajikan paparan “Hubungan antara Obesitas dengan kejadian Artritis di Puskesmas Marangkayu, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kaltim” Hasil kajian menunjukan adanya korelasi positif antara obesitas dengan kejadian artritis. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang berat badan yang ideal dan sehat telah mendorong tingginya angka kejadian artritis pada kelompok sampel yang mengalami obesitas.

Workshop Halal Science and Research

oral2Dalam sesi ini, materi dalam simposium disampaikan oleh Prof.Dr. Winai Dahlan. Beliau adalah pendiri sekaligus direktur dari Halal Science Center Chulalongkorn University di Thailand. Di awal sesi, materi beliau difasilitasi penyampaiannya oleh Prof. Veni Hadju dari Universitas Hasanudin Makassar. Prof. Veni Hadju membuka sesi materi dengan menyampaikan hal-hal mendasar yang berkaitan dengan masalah halal yang sangat erat kaitannya dengan masalah akidah bagi seorang muslim. Halal itu sendiri sangat terkait dengan praktik-praktik sebagai seorang muslim, syariat dan ibadah, serta muamalah dalam kehidupan.

Status halal dan haram itu jelas dalam Islam. Namun, di antara keduanya ada perkara-perkara yang tidak jelas, dinamakan dengan perkara syubhat. Materi kali ini sangat erat sekali dengan masalah “ilmu tentang halal” atau halal science. Dasar sebenarnya adalah segala sesuatu itu harus jelas terlebih dahulu halal haramnya, tidak memiliki keraguan. Sebagai seorang muslim, hal ini juga harus dibarengi dengan keyakinan bahwa hal tersebut halal atau haram. Pemahaman, ilmu, dan praktik tentang halal tidaknya sesuatu, sebenarnya bukanlah hal yang sulit, hal ini sangat easy to practice.

Dalam Halal Science terdapat beberapa spektrum yang perlu dipahami, antara lain :

  1. Pengembangan standar halal/standarisasi sistem untuk produk dan pelayanan yang halal (Halal Product and Services/HPAS)
  2. Riset dan pengembangan alternatif untuk mengganti bahan baku mentah yang haram
  3. Pengembangan metodologi biokimiadalam laboratorium forensik halal untuk melakukan skrining halal pada produk/bahan dasar produk.
  4. Melakukan inovasi untuk pembersih yang halal dalam tingkatan proses ataupun bahan-bahan yang digunakan.
  5. Informasi Komunikasi dan Teknologi untuk menjamin integritas halal dan memfasilitasi perdagangan yang halal pula.
  6. Ilmu halal sebagai alat untuk membangun kepercayaan konsumen dan Consumer Brand Relationship (CBR)

Sebagai catatan khusus, sesuatu yang haram dapat digunakan/dimafaatkan hanya jika dalam keadaan terpaksa/darurat. Contohnya obat, makanan, dll yang memang tidak/belum ada pilihan lain tetapi hal tersebut sangat mendasar bagi kehidupan manusia. Jika kebiasaan halal ini diterapkan dalam semua aspek kehidupan, maka kebiasaan dan lingkungan yang mengacu pada “ke-halal-an” akan mudah tercipta di masyarakat. Tentunya hal ini juga akan membantu umat muslim untuk terhindar dari hal-hal yang haram ataupun menekan adanya keraguan-keraguan akibat hal-hal yang syubhat.

Spektrum halal dalam keilmuan ilmiah diperlukan untuk mengembangkan suatu sistem halal itu sendiri. Ada suatu riset ilmu yang dapat digunakan sebagai upaya mengganti gelatin pada kapsul dari rumput laut agar lebih halal atau mengembangkan inovasipembersih najis dari tanah atau dalam bentuk clay. Peran dari teknologi dan keilmuan ilmiah sangat besar untuk membentuk suatu sistem produksi yang halal dan konsumsi produk yang halal pula. Hal ini akan mudah untuk masuk ke dalam kehidupan yang sehat berdasar pada konsep dan cap halal pada suatu produk.

Di Thailand, Prof. Dr. Winai Dahlan tidak menjadikan alasan “halal” untuk mengembangkan suatu laboratorium penelitian dan Halal center. Satu hal yang beliau sadari adalah beliau ingin melindungi konsumen dan beliau bekerja sebagai seorang ilmuwan muslim. Maka, dapat disimpulkan bahwa beliau bekerja berdasakan landasan halal dalam Islam yang diterapkan untuk seluruh masyarakat.

Reporter : Aulia Novelira, SKM.,M.Kes

Presentasi Oral Jaminan Kesehatan Nasional 1

Presenter pertama adalah Budi Eko Siswoyo dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM. Budi mempresentasikan hasil penelitiannya yang berjudul “Cakupan Kepesertaan Sektor Informal dalam Program JKN dan Studi Kasus di Provinsi DIY”. Sekitar 20,41 % penduduk DIY termasuk pekerja sektor informal (DIY dalam angka, 2013) dan sekitar 33,60 % di antaranya adalah kelompok pekerja yang berusaha sendiri. Cakupan PBPU pada pekerja sektor informal di DIY masih sangat rendah dan peningkatannya kurang signifikan. Dari 200 responden pekerja sektor informal, mayoritas memiliki pendapatan 2x dari UMR Provinsi DIY, jadi tidak semuanya miskin. Pekerja kasar adalah kelompok yang paling rendah kesadarannya untuk ikut JKN, padahal paling rentan terhadap kecelakaan kerja.

Hasil studi menunjukkan bahwa responden memahami pentingnya JKN namun cenderung menunda kepesertaan karena menganggap manfaat dan prosedurnya rumit, serta pemahaman yang minim. Keluhan dari peserta menular ke masyarakat yang belum menjadi peserta dan menambah keengganan untuk menjadi peserta. Untuk meningkatkan kesadaran pekerja informasl, rekomendasinya adalah memperbaiki sarana dan konten prioritas sosialisasi, program layanan tambahan, penanganan keluhan masyarakat dan kajian dan monev JKN lebih lanjut.

Presenter kedua – Evindiyah PD, mahasiswa Prodi S3 FKM UI – membawakan makalah berjudul “Analisis Tingkat Penutupan Biaya Klinik Swasta “X” terhadap Pembayaran Kapitasi BPJS di Kota Depok Tahun 2015 “Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masih sangat kurangnya penilaian yang terkait dengan masalah penutupan biaya klinis. Tujuannya mendapatkan Angka Penutupan Biaya (Cost Recovery Rate/CRR) dari kapitasi yang dibayarkan BPJS terhadap seluruh biaya yang dikeluarkan oleh Klinik Swasta “X” di Kota Depok Tahun 2015. Hasilnya, Klinik X mendapatkan penerimaan dari kapitasi yang dibayarkan oleh BPJS sebesar Rp.10.000,- per peserta per bulan selama 6 bulan (bulan Januari –Juni 2015). Total penerimaan kapitasinya adalah Rp.1.426.250.000,- Untuk Cost Recovery Rate (CRR) atau Angka Penutupan Biaya) selama 6 bulan adalah 119,1%, artinya penerimaan yang didapat bisa menutup seluruh biaya yang dikeluarkan untuk melayani peserta BPJS ditambah klinik mendapatkan surplus (keuntungan)

Presenter ketiga – Ghofur Hariyono, FK UGM – berjudul “Implementasi Prosedur Admisi Pasien Rawat Inap Peserta Jaminan Kesehatan Nasional di RSUD Dr. Soetomo Surabaya”. Sejak JKN, pasien rawat inap yang menjadi peserta JKN menunjukkan trend yang meningkat, padahal sistem rujukan berjenjang sudah diatur oleh pemerintah. Ternyata, pasien peserta JKN yang berobat langsung mengakses fasilitas kesehatan lanjutan ketika membutuhkan layanan kesehatan, seharusnya pasien mematuhi sistem rujukan secara terstruktur dan berjenjang. Manajemen rumah sakit kurang responsif terhadap kebutuhan sarana prasarana, seharusnya menyediakan kecukupan tempat tidur, ruang tunggu, dan sarana informasi yang cukup memadai sesuai dengan kebutuhan tempat tidur pasien yang naik kelas perawatan. Pengelolaan sistem informasi rujukan yang belum terpadu antara fasilitas kesehatan yang merujuk pasien dengan fasilitas kesehatan yang dituju.

“Program Prolanis dalam Penerapan Kebijakan Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan Kesehatan di Puskesmas Kota Bengkulu” yang dibawakan oleh Henni Febriawati adalah presentasi terakhir pada sesi paralel ini. Puskesmas dikatakan berhasil bila angka kontak tinggi, angka rujukan non spesialistik rawat jalan rendah dan pengelolaan prolanis yang efisien dan efektif. Harapan tehadap peran puskesmas mencakup bukan hanya melayani kunjungan pasien sakit melainkan juga melayani kunjungan masyarakat sehat.

Ada 20 puskesmas di kota Bengkulu, hanya 6 yang masuk ke zona prestasi (skor sama dengan atau lebih dari 99%) dan zona aman (skor sama dengan atau lebih dari 50%). Senam rutin dan edukasi dilakukan oleh puskesmas-puskesmas yang masuk zona aman dan prestasi. Puskemas yang tidak masuk dalam zona aman dan zona prestasi oleh presenter digolongkan ke dalam zona merah. Kelompok puskesmas ini memiliki sarpras pendukung yang masih terbatas, Masyarakat tidak mengikuti keg. Preventif dan Promotif serta tidak patuh prolanis dan masyarakat belum terdata sbg penderita DM tipe 2. Kesimpulan dari penelitian ini: 1) Pembayaran kapitasi puskesmas di Kota Bengkulu masih sangat jauh dari target, yaitu 75% puskesmas % pembayarannya dibawah 100% dan 2) besaran kapitasi rata-rata puskesmas kota Bengkulu Rp. 5.125,- dari maksimal Rp. 6.000,- . dana kapitasi (pea).

Reporter : Putu Eka Andayani, M. Kes

Presentasi Oral Jaminan Kesehatan Nasional 2

Juanita
Evaluasi klaim JKN di RSUD dan RS swasta di Sumatera Utara

Penelitian berfokus pada klaim JKN di RSUD dan RS Swasta, merupakan studi deskriptif dengan menggunakan data klaim JKN 6 RS di daerah Sumatera Utara tahun 2014 – 2016. Menarik, di RS Sibolga pembayaran dilakukan > dari yang diklaimkan. Di semua sample RS, terlihat trend peningkatan klaim. Klaim di RS swasta juga lebih besar daripada RSUD. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak RS di daerah Sumatera Utara yang kurang lengkap peralatannya cenderung merujuk pasiennya ke RS swasta. Data juga menunjukkan bahwa mayoritas adalah pasien JKN mandiri dengan penyakit kronis. Ini merupakan peluang penghematan karena PTM sebenarnya dapat dicegah dengan promotif preventif.

Kasman Makkasau
Kerugian Ekonomi vs Asuransi Kesehatan

Argumentasi yang diajukan adalah pentingnya melakukan advokasi khususnya kepada pimpinan daerah. Caranya dengan belajar dari sektor lain (dalam hal ini Pekerjaan Umum) yaitu menunjukkan kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan. Misalnya, disinyalir ada kerugian ekonomi di Kabupaten Polman pada tahun 2013 sebesar Rp.62 milyar. Artinya, pemerintah daerah harus bertindak untuk mencegah potensi kerugian ini. Hasilnya, program jaminan kesehatan Provinsi Sulbar diterapkan dengan bekerja sama dengan PT Askes untuk memastikan bahwa pesertanya tetap mendapat pelayanan walaupun tengah berada di provinsi lain.

Maxsi Irmanto
Implementasi JKN pada Puskesmas di Provinsi Papua Tahun 2016

Penelitian yang dilakukan di Jayapura (5 Puskesmas) dan Jayawijaya (8 Puskesmas) tahun 2016 ini menunjukkan beberapa masalah dalam pemanfaatan dana kapitasi yang dipersepsikan kurang fleksibel karena sudah ditentukan proporsinya, dan ada penambahan beban kerja pegawai Puskesmas yang tidak diikuti oleh penambahan staf. Di samping itu, pemanfaatan dana Non kapitasi juga dirasa belum optimal karena pengajuannya diberi persyaratan administrasi yang rumit. Selain itu, banyak penduduk yang belum memiliki kartu BPJS. UKM masih bertumpu pada dana BOK dan Otsus. Disarankan bahwa pelaksanaan JKN harus mempertimbangkan aspek kewilayahan khususnya mempertimbangkan faktor geografis dan indeks kemahalan.

M. Faozi Kurniawan
Supply Side Kesehatan dan Equity

Penelitian memperlihatkan bahwa jumlah spesialis dasar per provinsi menunjukkan pertumbuhan besar masih terpusat di DKI dan Jawa Barat diikuti Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pola yang sama terulang di semua jenis profesi termasuk bidan dan perawat. Pertumbuhan Puskesmas juga masih tertinggi di Jawa, diikuti oleh Sumatera. Sementara untuk RS, walaupun pertumbuhannya tinggi tapi ternyata pertumbuhan yang paling pesat terjadi di sektor swasta. Begitu pula dalam hal tempat tidur (TT), walaupun TT sektor publik masih jauh lebih banyak, tetapi pertumbuhannya yang pesat tetap di sektor swata. Akibatnya dapat diperkirakan bahwa klaim JKN masih tertinggi di Jawa. Ditekankan bahwa selama pembangunan infrastruktur kesehatan belum menjadi prioritas di RPJMN dan RPJMD maka sisi supply masih akan mengalami kekurangan.

Endang Sutisna
Monitoring dan Evaluasi JKN di Karanganyar dan Kota Surakarta

Penelitian memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan memiliki hubungan nyata dengan pengetahuan tentang BPJS. Terdapat perbedaan yang sangat nyata mengenai persepsi pemberi pelayanan kesehatan terhadap dampak sistem kapitasi pada kualitas pelayanan menurut perdesaan dan perkotaan. Disinyalir ada pula persepsi bahwa sistem kapitasi memiliki hubungan yang negatif dengan kepuasan layanan.

Isniati
Analisis Tingkat Kepuasan Pasien Peserta JKN di Puskesmas Kota Padang tahun 2016

Penelitian cross-sectional dengan kerangka servqual menunjukkan bahwa beberapa atribut masih membutuhkan perhatian, yaitu atribut kenyamanan ruang tunggu pasien, jadwal ketepatan jadwal pelayanan, kecepatan tindakan nakes dalam menangani pasien, keramahan nakes dan perhatian nakes terhadap keluhan pasien.

Andi N. Amin
Kemampuan stakeholder dalam melaksanakan JKN di RSUD Yowari Kabupaten Papua

Terlihat dari hasil wawancara (pada tahun 2015) faskes masih belum mampu memberikan layanan yang komprehensif misalnya dari 145 TT hanya 121 yang bisa digunakan, ambulans ada 2 namun yang bisa beroperasi hanya 1. Selain itu, belum ada regulasi pelaksanaan JKN di Kabupaten Jayapura, terutama karena Kartu Papua Sehat masih menjadi prioritas dibanding JKN. Selain itu, dari sisi persediaan obat dan alkes, banyak masih kekosongan akibat perencanaan yang digunakan masih didasarkan pada tahun sebelumnya. Selain itu, mereka belum memahami cara mencari dan membeli obat dengan E-katalog. Dari sisi SDM, karena tidak ada dokter spesialis, pasien harus dirujuk. Tenaga bidan dan perawat sangat minim. Sosialisasi yang sudah dilakukan dinilai kurang karena pelaksanaan sosialisasi tidak berarti bahwa informasi sudah dipahami.

Reportase Pleno 2

pleno2

Universal Health Coverage

pleno2

Sesi ini dibuka oleh Ketua Umum IAKMI terpilih, dr. Ridwan M. Thaha, MSc dan Direktur Utama BPJS, Prof. DR. dr. Fahmi Idris, MKes. Ridwan Thaha menyatakan bahwa masalah eskalasi biaya kesehatan merupakan masalah semua pihak. Fahmi Idris yang juga merupakan anggota IAKMI menyampaikan terima kasih atas MoU dan kesempatan dalam memaparkan berbagai hal yang terkait dengan BPJS Kesehatan.

Sesi plenary ini adalah sesi terakhir dari rangkaian Kongres Nasional IAKMI 2016. Sesi yang dimoderatori oleh Sumarjati Arjoso ini menghadirkan narasumber dari UNFA, Dirut BPJS, Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Prof. Ascobat Ghani dan Kepala Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI, DR. Siswanto.

Fahmi Idris mengatakan bahwa progress yang tercapai saat ini on the right track. Mandat UU cukup berat, yaitu hanya sebagai pembeli pelayanan kesehatan. Namun karena kondisi sistem yang belum optimal (pelayanan kesehatan, kendali mutu, sistem pembayaran) sehingga mandat UU BPJS adalah mengembangkan ketiga hal tersebut. Data menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan lebih besar dari biaya yang diterima, karena tingginya kasus katastropik (menyerap 33% dari dana kesehatan). Satu-satunya jawaban untuk mengatasi ini adalah pencegahan. Jika struktur biaya iuran yang tidak sesuai dengan aktuaria tidak dibenahi akan menjadi masalah besar yang berkepanjangan.

materi

National Program Officer UNFPA, Melanie, berbicara tentang sexual and reproductive health and rights in the SDGs under UHC context. SDGs bersifat bottom up dan targetnya merata untuk seluruh negara anggota, ini merupakan pembeda utama dengan MGDs. Setelah indikator global dan nasional dipetakan, ada beberapa isu penting terkait target. Misalnya target terkait penurunan angka kematian ibu, definisi mengenai skill/competency of health personnel belum sama dengan yang di level global. Selain itu, indikator lain misalnya pemenuhan kebutuhan ber-KB, pengambilan keputusan oleh perempuan dan sebagainya. Paket KB (termasuk konseling), pemakaian alat kontrasepsi, pengelolaan side-effect adalah paket-paket pelayanan KB yang direkomendasikan oleh hasil studi yang memiliki efektivitas tinggi jika diintegrasikan ke program SDGs. Juga ada paket kesehatan ibu pencegahan malaria dan HIV pada ibu.

materi

Dra. Mirnawati, Apt, MKes (Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional Dirjen Yankes Kementerian Kesehatan) mewakili Dirjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan berbicara tentang upaya untuk memperkuat upaya promotif dan preventif oleh fasilitas kesehatan primer. Gerakan masyarakat sehat adalah gerakan yang dilakukan bersama-sama oleh semua kementerian: Perindustrian, PU, Badan POM dan Kesehatan, yang rencananya akan dicanangkan pada 12 Desember di 10 daerah. Isunya, akses pelayanan dasar dan rujukan yang berkualitas belum merata. Peningkatan akses dilakukan bersama dengan kementerian lain, peningkatan kuaitas dilakukan bersama dengan Pemda, yaitu untuk memenuhi standar sesai kelas pelayanan sebagaimana diatur pada Permenkes terkait. Kemenkes telah menyiapkan berbagai roadmap, antara lain puskesmas yang bekerjasama dengan dinkes dan RS, regionalisasi RS Rujukan. Perlu dukungan semua pihak termasuk IAKMI untuk mencapai seluruh tujuan pembangunan kesehatan tersebut.

materi

Prof. Ascobat Gani (Guru Besar FKM UI, Ketua Tim Kendali Mutu-Kendali Biaya BPJS) berbicara tentang Peran SKM di Era UU No. 23 dan SDGs memaparkan bahwa ada 9 tantangan bagi SKM yang saling terkait, antara lain disparitas, ketidakmerataan faskes, determinan penyakit, “hutang” MDGs, sistem kesehatan yang belum diperkuat, UU No. 23/1992 dan turunannya, JKN, yang harus dilihat secara menyeluruh. Peran SKM yaitu membina kesehatan wilayah secara komprehensif, menggerakkan mesin sosial dan mesin birokrasi, promosi kesehatan, pelayanan pencegahan, surveillance, menggerakkan sektor lain, serta memperkuat sistem kesehatan.

materi

Kepala Badan Litbang Kemenkes, DR. Siswanto, memaparkan bahwa peran Balitbangkes untuk mendukung pelaksanaan evidence based policy. Diperlukan inovasi program sebagai masukan bagi pembuat kebijakan. Untuk menguatkan sistem kesehatan, Balitbang melakukan banyak riset mulai dari aspek input, proses hingga output dan outcome. (pea)

materi

Reporter: Putu Eka Andayani

 

 NAVIGASI REPORTASE

Hari I

Hari II

Hari III

 

 

 

{jcomments on}

Reportase Simposium 2

simp12

Alternatif Mengatasi Defisit BPJS Kesehatan

Pembicara: Prof.dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD

Klaim rasio PBPU masih di atas 200%, hal ini berbanding terbalik dengan kondisi klaim PBI dibawah 100%. Atau ini berarti ada kerugian di BPJS Kesehatan. Apa masalahnya? PBPU meningkat klaimnya, sehingga BPJSK defisit, dana PBI dipergunakan oleh kelompok yang lebih mampu. Masalah ini merupakan masalah di lapangan dimana PBI banyak terdapat di daerah terpencil, di daerah-daerah sulit dimana BPJS Kesehatan tidak memiliki aliran dana ke daerah sulit. Masalah utamanya, PBI jatahnya dipakai non PBI mandiri.
Alternatif strateginya, ada 2 solusi, yaitu:

  1. Penambahan dana kesehatan yang tidak harus melalui BPJS Kesehatan
  2. Pembatasan pengeluaran

Sumber dana kesehatan, dana APBN sampai dengan out of pocket, adakah kemungkinan dinaikkan. Dana APBN sudah maksimal 5% untuk sektor kesehatan. Sehingga APBN sulit naik, kemungkinan dari pajak tembakau, namun masih banyak pertanyaan. Dari APBD, dana ini bisa langsung diberikan ke BPJS Kesehatan atau ke FKTP dan FKTL. Dana APBD ini juga tergantung kemampuan fiskal daerah dan kemauan pemerintah daerah mengalokasikan anggaran untuk kesehatan termasuk mendanai asuransi kesehatan yang kurang. Misal anggaran sudah dipatok 100 milyar untuk BPJS Kesehatan daerah tersebut, ternyata ada kenaikan 110 milyar maka 10 milyarnya dibayar oleh Pemda. Kemudian dana-dana premi BPJSK, non PBI preminya bisa dinaikkan, sampai 500 ribu – 1 juta untuk kelas 1. Pasalnya, sebagian besar orang kaya di kelas 1. Kemudian dana dari masyarakat, dari out of pocket sehingga cost sharing perlu. Dana masyarakat yang ada perlu dimanfaatkan karena pajak rendah atau kenaikan pajak penghasilan rendah dengan GDP naik tinggi. Sehingga dibuat sistem untuk perpajakan sehingga bisa masuk ke sistem kesehatan.

Pengurangan manfaat/ efisiensi. Sekarang DKI Jakarta dan Provinsi seperti NTT misalnya tidak ada batasan untuk paket manfaat. Ada basic manfaat atau paket dasarnya apa?. Sehingga peserta di DKI Jakarta yang lengkap fasilitasnya, misal di atas 100 juta setahun maka BPJS Kesehatan tidak lagi menanggung. Silakan membeli asuransi katastropik untuk menangani, sehingga ada batas atasnya. Dimana sekarang masih bebas belum ada batasnya. Dengan demikian yang mahal-mahal/ katastropik perlu pembatasan karena berbiaya tinggi.

Dalam upaya peningkatan efisiensi dengan melihat fraud, abuse, wish dan ini merupakan penyimpangan yang ditindaklanjuti sebagai hal yang serius. Hal yang perlu dilakukan misalnya mengembangkan sistem pencegahan dan penindakan fraud.

Residu JKN

Prof. Amran Razak

Ilmu Kesehatan masyarakat merupakan ilmu politik atau ilmu advokasi. Sehingga muncul stigma jika orang miskin itu menderita. Residu dari JKN, karena sisa-sisa yang sebenarnya melekat tidak bisa lepas dari JKN. Satu obat agar JKN terus berjalan seperti suntikan dana dari APBN yang ternyata juga tidak sehat. Misal: dalam hitungan aktuaria kelas 1 mandiri adalah 63 ribu, dibayar dengan iuran 51 ribu dan hasilnya tekor/defisit yaitu 12 ribu. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang mau menanggung defisit ini?

Di Sulawesi Selatan muncul kemitraan dengan rumah sakit swasta. Sekarang ini mitra BPJS Kesehatan adalah RS Pemerintah. Pada beberapa tahun ini RS Swasta mulai melirik BPJS Kesehatan. Mengapa BPJS Kesehatan menjadi lirikan RS Swasta, karena adanya adverse selection, fraud, over utilization, biaya tinggi penyakit terjadi.

Permasalahan juga terjadi karena pelayanan primer sebagai gatekeeper belum berjalan. Isu lain adalah tidak berhasilnya integrasi Jamkesda. Integrasi Jamkesda membuktikan kalau Pemerintah Daerah masih setengah hati untuk masuk ke UHC. Hal ini dikarenakan Pemda mempunyai janji politik untuk mengelola pendidikan dan kesehatan secara gratis. Integrasi Jamkesda tidak terjadi karena pemotongan anggaran. Portabilitas positif dan negatif terjadi pada saat integrasi. Ada Kabupaten yang tidak terjangkau BPJSK hanya menggunakan KTP untuk berobat. Contoh ini menunjukkan keterbatasan BPJS Keseahata menjangkau daerah terpencil.

Nawacita masih dalam konsep yang perlu dipahami (ada tetapi tidak ada). BPJS Kesehatan masih seperti makelar pihak ketiga. Pengelolaannya perlu perbaikan, karena bukti yang sekarang ada adalah muncul tunggakan-tunggakan di beberapa daerah. Muncul kesenjangan di wilayah timur dengan wilayah di kota-kota besar.

Penerapan Akuntabilitas di Era JKN

Dr. dr. Indahwati Sidin

Akuntabilitas merupakan hal yang penting di RS, selain tekor/defisit butuh pengelolaan. Akuntabilitas merupakan transparansi dan pertanggungjawaban dilakukan oleh organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan organisasinya. Akuntabilitas penting karena beberapa tuntutan seperti good governance dan tuntutan tingginya persaingan RS. Reformasi di bidang kesehatan yaitu eksisnya lembaga pembiayaan kesehatan. Adanya SJSN menuntut penyelenggaraan yang akuntabel untuk stakeholder dalam UU No 40 Tahun 2004.

Dalam Permenkes No. 71 Tahun 2013. Aturan tersebut mengharuskan pengelolaan RS yang akuntabel dan transparan. Selama menggunakan dana JKN di RS terjadi inefisiensi dan tidak transparan. Sehingga RS dan Puskesmas harus tersertifikasi untuk menjamin penyelenggaraan organisasi yang akuntabel. Perlunya control di RS karena kemungkinan terjadi fraud di RS.

Dana yang diberikan tidak cukup oleh BPJS Kesehatan namun perlu legitimasi dari publik. Mengapa legitimati organisasi terhadap publik, dilakukan sebagai mekanisme control terhadap organisasi pelayanan kesehatan, yang bertujuan untuk pelayanan publik yang memuaskan masyarakat. Aturan SJSN harus menerapkan dan memastikan tidak ada fraud dalam pelayanan kesehatan di RS. RS harus melaksanakan transparansi-transparansi pengelolaan semua aspek di RS. Kelemahan pada ketersediaan obat tidak terdapat di distributor sehingga RS kesulitan mendapatkan stok obat. Dan hal lain yang menjadi kesenjangan adalah pesrta di RS tidak diperbolehkan membeli obat sendiri. E-katalog tidak menjamin ketersediaan obat yang dibutuhkan pasien. Implikasi pengelolaan RS yaitu clinical pathway perlu dijalankan, cost containment, dan customer quality driver.

Sesi Diskusi

Pertanyaan:

Kebijakan JKN merupakan kebijakan pusat, dimana implementasi di daerah tidak sesuai harapan, muncul kesenjangan di daerah maju dan daerah yang tidak maju. Contohnya kebijakan terkait kalim kecelakaan di RS, kebijakan ketersediaan fasilitas kesehatan dan alkes. Apakah perlu dihapus program JKN untuk daerah terpencil atau program apa yang cocok?

Narasumber:

Prof Laksono menyampaikan bahwa Kebijakan JKN melalui BPJS Kesehatan merupakan program bagus dan tidak perlu dihapuskan. Hal yang lemah adalah implementasi di lapangan. Perlu effort untuk memperbaiki implementasi di lapangan dengan kebijakan-kebijakan yang lebih tepat. Misalnya menjalankan dana kompensasi yan sudah tercantum di undang-undang. Pembicara lain menambahkan bahwa tidak hanya sistem yang diperbaiki di lapangan tetapi juga penyelenggara pelayanan yang juga harus berbenah.

oleh Faozi Kurniawan 

Gizi dan 1000 Hari Pertama Kelahiran (HPK)

simp12Gizi akan berpengaruh terhadap kesehatan dan produktivitas penduduk. Indonesia masih menghadapi masalah gizi ibu hamil dan bayinya. Untuk itulah Global Alliance Improvement Nutrition (GAIN) melaksanakan program meningkatkan status gizi ibu hamil dan bayi dua tahun (baduta) di Kabupaten Malang dan Kabupaten Sidoarjo. Agnes Malipu sebagai representatif GAIN memaparkan best practice yang sudah mereka lakukan untuk meningkatkan status gizi. Penelitian yang dilakukan tersebut mempertimbangkan bahwa angka balita pendek (stunted children) di Jawa Timur paling tinggi (1.3 juta jiwa) dan tingkat kemiskinan masih tinggi. Perlu diketahui bahwa gizi makanan dan infeksi kesehatan akan mempengaruhi malnutrisi ibu dan anak. GAIN menggunakan proses desain komunikasi untuk perubahan perilaku gizi ibu hamil dan baduta yang hasilnya akan diaplikasikan pada Januari 2017. Faktor – faktor lingkungan akan mempengaruhi atau memicu otak dan perilaku yang akan mempengaruhi kesehatan (Curtis and Aunger, 2014).

GAIN menggunakan formative research, salah satunya dengan video ethnography. Hasilnya dari sisi perspektif konsumen bahwa ibu mengetahui “ASI adalah yang terbaik” tetapi mereka percaya bahwa “Susu formula membuatnya lebih sempurna.” Hal tersebut dipengaruhi beberapa hal seperti ibu kurang percaya diri stok ASI yang dimiliki, susu formula menjadi norma sosial (Anda dianggap tidak mampu jika tidak dapat membeli susu formula), tidak adanya informasi tentang susu formula. Selain itu, camilan juga berpengaruh dimana bayi yang menangis terus akan ditenangkan ibunya dengan memberi permen. Padahal camilan tersebut akan membuat kenyang dan bayi akan menyingkirkan makanan utamanya. Melihat hasil penelitian tersebut maka GAIN melontarkan ide kampanye dengan “Rumpi Sehat” yang sudah ditayangkan di berbagai televisi. Pesan kunci dari kampanye tersebut antara lain ASI saja cukup (0 – 6 bulan) dan perlunya makanan yang bervariasi dan seimbang.

Hal lain yang menarik dari sesi ini adalah pentingnya pemenuhan gizi pada periode prakonsepsi untuk menunjang keberhasilan program penyelamatan 1.000 Hari Pertama Kelahiran (HPK). Dr. dr. Sri Sumarni, SKM, MSi memaparkan mengenai pelaksanaan Scalling Up Nutrition (SUN) di Indonesia dimana pada periode prakonsepsi belum menjadi bagian dari program ini. Sumarni menggunakan berbagai evidence dari studi epidemiologi maupun penelitian selular dan biomolekular untuk menjelaskan pentingnya peran gizi pada masa prakonsepsi.

Ibu hamil yang mengkonsumsi suplemen sebelum hamil akan mengurangi risiko kelahiran prematur sebesar 50%. Konsumsi suplemen pada masa prekonsepsi akan menurunkan resiko pre-eklamsi sebesar 45% – 71% dan menurunkan risiko small for gestational age (SGA) sebesar 36%. Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Probolinggo membuktikan bahwa suplemen memberikan efek yang lebih baik terhadap imun maternal dan hormon human placental lactogen (HPL) sehingga akan meningkatkan berat badan bayi lahir dan menurunkan resiko aborsi serta prematur. Pemberian suplemen zat gizi pada periode prakonsepsi akan lebih penting dibandingkan diberikan saat kehamilan. (Disadur dari abstrak Sun Movement : Bagaimana Mungkin Menyelamatkan 1000 Hari Pertama Kehidupan Tanpa Disertai Program Gizi Pra Konsepsi?, Sri Sumarni).

Reporter: Elisabeth Listyani

Integrasi dan Sinergitas Program KKBPK, Kesehatan, dan Sosial Dalam Membangun Desa

simp14Serangkaian workshop integrasi dan sinergitas program kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga (KKBPK), kesehatan, dan sosial dalam pembangunan di tingkat desa dan kab/ kota dibuka oleh sambutan dari dr. Adang Bachtiar, MPH, Sc.D (Ketua IAKMI) yang menekankan pentingnya peran kampung KB di setiap desa untuk membangun sektor kesehatan dan mencapai bonus demografi. DR. dr. Melania Hidayat, MPH (National Programme Officer for Reproductive Health – UNFPA Indonesia) turut menekankan bahwa peran sektor swasta juga penting untuk dilibatkan dalam membangun program KB. Materi pertama diawali dengan penjelasan dr. Abidinsyah Siregar, DHSM, M.Kes (Deputi Bidang Advokasi, Penggerakan dan Informasi – BKKBN) mengenai pelaksanaan program kampung KB yang notabene salah satu latar belakangnya adalah kenaikan total fertility rate (TFR). Abidinsyah menyampaikan bahwa terdapat dua indikator capaian program KB yaitu diawali dengan mencari wilayah dengan capaian KB paling rendah dan kemudian menggunakan data yang terkait dengan kondisi angka kemiskinan yang paling tinggi. Dua indikator itu merupakan titik terlemah dalam suatu wilayah. Intervensi diawali dengan pencanangan kampung KB yang saat ini sudah ada 432 Kampung KB pada 514 Kabupaten/Kota.

Materi selanjutnya berkaitan dengan peran multi sektor yang belum efektif di daerah. Materi kedua ini disampaikan oleh Ir. H. Moh. Ramdhan Pomanto (Walikota Makassar) tentang Pelaksana Kampung KB di Tingkat Kelurahan Kecamatan dan Kota di Kota Makssar. Ramdhan menambahkan bahwa permasalahan urbanisasi dan faktor demografi lainnya juga turut berkontribusi terhadap pentingnya adanya integrasi dan sinergitas program pembangunan desa, terutama di kota Makassar. Pada masa awalnya menjadi Walikota, Ramdhan melakukan riset kebutuhan dan masalah masyarakat dan menemukan bahwa masalah kemiskinan dan kesehatan sangat dominan. Pendekatan ruang yang dilakukannya untuk mengatasi masalah ekonomi, kesehatan, sekaligus kependudukan di Kota Makassar. Utamanya, Ramdhan sangat optimal sekali melakukan pemberdayaan masyarakat melalui stakeholder di tingkat paling rendah yaitu RT dan RW. Koordinasi dari stakeholder di tingkat RT dan RW akan sampai ke walikota dengan adanya monitoring melalui teknologi smartphone dan war room city.

Materi selanjutnya terkait dengan Pendekatan Keluarga Menuju Keluarga Sehat disampaikan oleh Dr. Eni Gustina., MPH (Direktur Kesehatan Keluarga – Kemenkes RI). Eni menyatakan bagaimana upaya kita mempertahankan tetap dalam kondisi sehat dan bugar. Hal ini menekankan bahwa sehat bukan menjadi tujuan. Dengan kata lain, pada saat jatuh sakit baru mencari kesehatan. Untuk daerah terpencil dan perbatasan, program Nusantara Sehat mengupayakan mendekatkan masyarakat pada layanan kesehatan. Sedangkan pada wilayah yang mudah dijangkau, puskesmas diberdayakan untuk menggunakan pendekatan keluarga dengan paradigma sehat, mengutamakan promotif preventif, memperkuat pelayanan dasar, memperkuat pembiayaan kesehatan melalui JKN. Sasarannya adalah pada penerapan standar dan mutu kesehatan serta kemandirian masyarakat.

Di akhir sesi, para pakar memberikan tanggapannya terkait dengan materi yang disampaikan. Tanggapan pertama dari dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, MSc, ScD yang menyatakan bahwa gagasan kampung KB ini diharapkan menjadi percontohan kecil di satu wilayah yang kemudian diperluas ke wilayah lain. Program kampung KB ini diharapkan memiliki tujuan dan arah yang jelas. Tanggapan selanjutnya dari Dr. Sumaryati Arjoso, SKM, bahwa integrasi dalam berbagai hal untuk membangun program kampung KB, diperlukan revolusi mental birokrat, pendekatannya harus holistik komprehensif intergratif dan sinergis mulai dari pusat, menghilangkan ego sektoral, rakyat tidak terkotak-kotak, besarnya organisasi di pusat memastikan siapa yang menangani/bertanggungjawab dan siapa yang bertugas, prinsip desentraslisasi yang di pusat hanya memastikan semua terkondisikan, yang memiliki peran besar adalah di tingkat daerah. Terakhir, tanggapan dari perwakilan BAPPENAS menyatakan bahwa prinsip money follow program memiliki manfaat yang sangat besar bagi masyarakat melalui program pemerintahan yang terintegrasi antar sektor.

Reporter : Budi Eko Siswoyo, SKM.,MPH
Aulia Novelira, SKM.,M.Kes

Implementasi 1000 hari pertama kehidupan

simp1318

Simposium 13 dan 18 dalam bagian konas IAKMI ini menyajikan materi dan pembahasan dengan tema “1000 hari pertama kehidupan”. Sebagai pengantar, Bapak Anung Sugihantono selaku direktur Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memberikan gambaran implementasi program 1000 hari pertama kehidupan. Dalam pengantar yang disampaikan Bapak Anung, beberapa masalah yang ditemukan seperti hampir lebih dari setengah masyarakat ternyata mengalami kekurangan gizi. Sedangkan pada saaat pemberian ANC, petugas kesehatan paling banyak hanya memfokuskan untuk kegiatan pemeriksaan kehamilan.

Program yang dikembangkan saat ini disesuaikan dengan SDGs berdasar pada poin pengentasan kelaparan dimana negara juga telah mendukung melalui Perpres 42 tahun 2013. Beliau juga memberikan pesan terkait pentingnya diversifikasi dalam menunjang stok pangan di inidonesia. Saat ini sudah ada pengembangan program beras sejahtera untuk masyarakat dengan target orang miskin

Saat ini sudah ada kesepakatan bersama antara direktural jenderal bina gizi kesehatan dengan 32 universitas se Indonesia, berbagai penelitian dan intervensi gizi telah dilaksanakan. Tiga universitas yang menjadi partner pemerintah dalam program ini seperti FKM UI, FKM Undip, dan FKM Unhas turut hadir dalam sesi kali ini

Prof DR dr Abdul Razak Thaha, MSc, SpGK dari Unhas, Hanifah Maher Denni SKM MPH, PHd dari Undip, dan dr. Agustin Kusumayati, M.Sc., Ph.D dari FKM UI memaparkan berbagai hasil penelitian dan intervensi yang dilakukan.

Dr.dr.Agustin Kusumayati, M.Sc.,Ph.D., Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia menyampaikan bahwa peran perguruan tinggi dalam hal ini FKM UI dalam program penyelamatan 1000 hari pertama kehidupan antara lain memastikan materi promosi 1000 HPK masuk dalam kurikulum kesehatan masyarakat, baik dalam kegiatan kurikuler (pembelajaran di kelas) maupun ko-kurikuler (KKN, bakti sosial). Selain itu, promosi 1000 HPK juga dilakukan melalui kegiatan ilmiah seperti seminar, serta ekspansi melalui penelitian dan pengabdian masyarakat.

Pada kesempatan yang sama, Prof. Dr. dr. Abdul Razak Thaha, M.Sc., Sp.GK. FKM Universitas Hasanuddin memberikan penekanan bahwa pemahaman yang benar tentang konsep scalling up nutrition kepada dosen dan staf mutlak diakukan, karena tidak bisa dipungkiri bahwa dosen yang nantinya akan berperan sebagai aktor yang akan berperan untuk melakukan transfer knowledge kepada mahasiswa dan masyarakat. Selain itu, integrasi dan sinergi penelitian, pendidikan, dan pengabdian masyarakat merupakan langkah utama yang ditempuh Unhas dalam mengarusutamakan isu 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Ditekankan pula bahwa integrasi promosi 1000 HPK ke dalam kurikulum kesehatan masyarakat pentng dilakukan. FKM Unhas mulai memaparkan 1000 HPK secara riil kepada mahasiswa semester petamadengan cara turun langsung ke lapangan. Tujuannya adalah memastikan bahwa program promosi 1000 HPK dapat berlangsung secara kontinyu.

Prof. Abdul Razak Thaha juga menyoroti tidak sinkronnya pendidikan, kebijakan, dan praktik promosi 1000 HPK menyebabkan sulitnya pencapaian target promosi 100 HPK. Harmonisasi integrasi perlu dilakukan mengingat masalah promosi 1000 HPK memerlukan sinergi antarberbagai macam sektor terkait. Sebagai sektor pendidikan, beberapa hal yang dilakukan Unhas antara lain:

Selain itu, intervensi terhadap kurikulum kesehatan masyarakat juga dilakukan oleh Unhas untuk mendukung sinergisitas percepatan penyelamatan 1000 HPK. Wujud nyata inovasi ini adalah disusunnya kurikulum Evidence Based Learning (EBL) cluster Gizi untuk mahasiswa maupun supervisor di lingkungan KM Unhas. Unhas juga mengembangkan instrumen pemantauan status gizi dengan memodifikasi instrumen Kementerian Kesehatan, serta melakukan pengumpulan dan manajemen data gizi berbasis rumah tangga.

Bertindak sebagai pembahas dalam workshop ini, Prof. Dr. Soekirman; Guru Besar Ilmu Gizi IPB memberikan masukan terkait standarisasi konsep gizi bagi para akademisidan stakeholder, sinergisitas lintas sektor dalam mengatasi masalah gizi, dan pemahaman yang benar bahwa intervensi program gizi harus dimulai dari outcome yang ingin dicapai sebagai baseline-nya. Pada kesempatan yang sama, Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, Ph.D. sebagai Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas menyampaikan bahwa dalam hal penyelamatan 1000 HPK, akademisi berperan memberikan sumbangsih terhadap kebijakan dari hasil penelitian yang dilakukan. Selain itu, penelitian juga harus menyasar masyarakat lokal, dalam arti mengakomodir local wisdom. Deputi KSPK BKKBN; Ir. Ambar Rahayu, MNS. menyorot tentang pentingnya elaborasi tridharma perguruan tinggi dalam hal penyelamatan 1000 HPK dengan program-program BKKBN antara lain Generasi Berencana (GenRe), Bina Keluarga Balita, dan sebagainya. Pada kesempatan yang sama, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan; Dr. dr. H. Rachmat Latief, Sp.PD, M.Kes, FINASIM mengkritisi bahwa selama ini implementasi program tidak sebagus yang direncankan dalam tataran akademik, sehingga perlu dikaji kembali efektivitas program penyelamatan 1000 HPK di tataran perencanaan. Kementerian Sosial RI yang diwakili oleh Dr. Harapan Lumban Gaol turut memberikan masukan bagi institusi pendidikan agar pengembangan kurikulum Perguruan Tinggi Kesehatan Masyarakat mengakomodir standarisasi kompetensi pendamping Program Keluarga Harapan.

Reportan : Faisal Mansur dan Dedik

 

SDG Untuk Pangan Dan Gizi”

oral10Pembicara 1 :
Dr. Arum Atmawikarta, SKM MPH (Manager Pembangunan Pilar Sosial, Sekretariat SDGs Nasional Kementerian PPN/ Bappenas)

Judul :
Evaluasi Pencapaian MDG’s dan Pelaksanaan SDG’s : Fokus Tujuan 2 “Tanpa Kelaparan”

Dimulai dari MDG”s yang telah berakhir pada tahun 2015, pencapaiannya dari 8 goal ada 18 target dan 67 indikator . Ada 49 indikator yang sudah tercapai dan 18 indikator yang tidak tercapai. Fokus pembicara adalah pada tujuan 2, tetapi sebelumnya bercerita mengenai tujuan 1 yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, bahwa rakyat Indonesia sampai saat ini belum bisa mencapai kecukupan gizi. Trend secara nasional sudah relatif rendah angka prevalensinya, tetapi disparitas antar wilayah menjadi buruk.

Tantangan ke depan adalah bagaimana kita bisa mengurangi prevalensi stunting dari anak baduta dan anak balita. Stunting bisa terjadi pada seluruh kelompok, tidak hanya pada kelompok miskin saja, tapi memang terbanyak 40% kelompok miskin prevalensinya lebih tinggi.

Sudah diteliti selama ini bahwa program Raskin mempunyai dampak hanya 1,4%, sedangkan bantuan uang kepada masyarakat program keluarga harapan (PKH) ini lebih tinggi karena jika anak disekolahkan atau diimunisasi, ibunya diperiksa kehamilannya maka diberi uang, dampaknya bisa menurun 2,4%. Program yang sedang dan akan meningkat adalah pemberian kupon, benar-benar kupon yang hanya bisa ditukarkan dengan produk yang lebih jelas targetnya. Jika melihat angka rata-rata yaitu 37% ini lumayan, tetapi jika melihat sebarannya antar propinsi di Indonesia sangat berbeda sebagai contoh di daerah NTT, Sulawesi Barat dan lain-lain ini 60% anak-anaknya stunting, dan ini menjadi isu disparitas. Seorang peneliti S3 di UI meneliti dengan menggunakan data Riskesdas mengenai sejarah stunting terhadap prevalesni penyakit Diabetes Melitus dan Hypertensi yang telah diteliti oleh Prof Barter, dicoba di Indonesia ternyata terbukti cukup menguatkan penelitian tersebut.

Sejak dulu sampai sekarang kita belum bisa menurunkan anemia pada ibu hamil, ternyata setelah diteliti oleh Litbankes, compliance meminum Fe hanya 30%, tetapi sudah diteliti di negara luar bahwa Fe sudah digabung dengan selenium, sehingga ini menjadi area riset ke depan di Indonesia.

Waktu MDG’s pemerintahan bekerja sendiri dan kurang mengikutsertakan pihak lain, tetapi sekarang dalam pelaksanaan SDGs aktornya ada 4, yaitu :

  1. Pemerintah
  2. Dunia usaha
  3. LSM
  4. Akademisi dan Organisasi profesi

Sehingga dana yang dulu hanya pemerintah tetapi sekarang dari semua keempat aktor yang ada di atas.
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah pada RPJMN kita sudah tertampung? Sudah, jadi dari 169 target global, yang ada pada RPJMN kita yaitu 96. Jadi belum semua kesepakatan global itu ada pada RPJMN kita, sehingga ini yang perlu kita perbaiki utk RPJMN dan rencana tahunan.

Kesimpulannya adalah pengalaman Indonesia dalam MDG’s sangat berguna dalam pelaksanaan SDG”s juga tujuannya lebih lengkap, sehingga kompetensi dan profesionalisme tenaga kesehatan, pangan dan gizi untuk mencapai sasaran SDG”s perlu terus ditingkatkan. Untuk itu, kerjasama erat antara Institusi Pendidikan Tinggi dan Organisasi Profesi terkait pangan dan gizi sangat diperlukan.

materi presentasi

Pertanyaan :

  1. Hadian Arifin dari Stikes Ekalaya/ Pita Putih Palangkaraya :
    Bagaimana jika semua yang hadir, membuat rencana kerja dalam menghadapi stunting. Perlu ada kebijakan, Fe yang tidak cukup, harusnya ada pemeriksaan hemoglobin. Seharusnya pemeriksaan hamil 14 kali bukan 4 kali, kr rakyat Indonesia terbiasa memilih yang minimal.

    Jawab :
    Data riskesdas 2007, 2010-1013 baru sadar masalah angka stunting, angka bukan membaik tapi meningkat dan ini sudah menjadi global isu.
    Sri Mulyani menunjuk sangat baik tentang stunting karena dampaknya ke depan.
    Fe jadi persoalan karena alasan mual, tetapi sudah diganti dengan asam fumarat Antenatal di indonesia terjadi hal yang aneh, karena pada tahun 2013 menguji kompetensi dan yang lulus hanya 50%, sehingga kompetensi menjadi persoalan yang bisa membuat antenatal tinggi tapi angka kematian juga tinggi.

  2. Ahmad Fahrudin dari Samarinda :
    Pentol cireng adalah makanan yang sering ada di sekolah, adakah kerjasama pihak sekolah dengan akademisi. Konsumsi lebih banyak nasi dari pada lauk, apakah ada pemeriksaan terhadap pesantren.

    Jawab:
    Sudah diangkat duta stunting yaitu Solahudin ( adik Gusdur) dan sudah ada kerjasama FKM UI dengan Solahudin. Solahudin sudah melakukan di pesantrennya sendiri dan stunting-nya pendek. BTKL Yogya, sekretariat SDG”s dan BPS sudah bekerja sama untuk air bersih, jika dulu MDG”s yang diperiksa akses air bersih, tetapi sekarang akses air bersih yang aman yang tidak mengandung E-coli.

Reportase : Bella Donna , dr. MKes

Kebijakan dan Ekonomi Kesehatan

simp16

Standar Pelayanan Minimal (SPM) Kesehatan menjadi topik pertama yang disampaikan oleh Prof. dr. Purnawan Junadi, MPH, DrPH (Universitas Indonesia) di simposium 16, Konas IAKMI (Jum’at, 4 Nov 2016). Berbeda dengan SPM sebelumnya, Prof. Purnawan menjelaskan bahwa SPM kesehatan tahun 2016 saat ini akan didukung dengan PP SPM. Sejauh mana pembagian urusan pemerintah pusat, provinsi, dan kab/ kota akan berpengaruh pada tercapainya keberhasilan SPM kesehatan. Berdasarkan data NHA tahun 2014, Prof. Purnawan menjelaskan bahwa biaya layanan preventif masih berkisar 10-15% dari total biaya kesehatan. SPM Kesehatan yang baru ini memegang peran penting dalam menyeimbangkan UKM dan UKP, terlebih telah menjadi indikator kinerja pemerintah daerah dengan target merata 100 %.

materi

Sebagai bagian kebijakan dan ekonomi kesehatan, Prof. Dr. dr. M. Alimin Maidin MPH (Universitas Hasanuddin) memaparkan materi yang mengevaluasi efektivitas program JKN dari aspek yankes, pelayanan kepesertaan, kepuasan pelayanan, dan efektivitas pelayanan. Prof. Alimin menegaskan bahwa permasalahan regulasi dan manajemen pelayanan masih sering terjadi yang salah satunya berdampak pada manajemen pengadaan obat. Kekosongan obat, tidak semua obat tersedia di dalam e-katalog, monopoli produsen obat tunggal, dan panjangnya proses administrasi e-katalog merupakan beberapa permasalahan yang Prof. Alimin temukan dalam kajiannya. Perbaikan kebijakan dan manajemen layanan yang menjadi bagian rekomendasi Alimin yaitu : prosedural kepesertaan, pengadaan obat, sistem rujukan, dan penerapan clinical pathway pada penyelenggaraan tarif INA-CBG’s.

materi

Sebagai praktisi, Hendi Wijaya, SKM, MPH (Direktur RSUD Sambas) melengkapi sesi ini dengan memaparkan story change di RSUD Sambas pasca BLUD. Berbagai perbaikan sarana prasarana juga diikuti oleh peningkatan ketersediaan tenaga kesehatan, khususnya dokter spesialis. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Hendi beserta tim yaitu adanya MoU antara RSUD Sambas dengan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro yang menjadi stase untuk residen senior. Melalui kerja sama dengan salah satu provider komunikasi, RSUD Sambas akhirnya menyediakan sarana pengaduan dan sarana informasi yang semakin mendekatkan pelayanan rumah sakit kepada masyarakat. Hendi tidak memungkiri bahwa perubahan ini tidak lepas dari keterlibatan multisektor dan komitmen promotif preventif yang senantiasa menjadi perhatian. Walaupun demikian, Hendi memaparkan bahwa masyarakat miskin yang belum dijamin oleh PBI pusat dan daerah masih menjadi permasalahan tersendiri bagi RSUD Sambas.

Oleh: Budi Eko Siswoyo

Peran Pemda dalam Peningkatan Derajat Kesehatan Masyarakat

simp20

1. Wakil Bupati Kutai Kertanegara, Drs. Edi Damansyah, MSi

Kutai Kertanegara adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur, yang memiliki kapasitas fiskal tinggi karena adanya hasil sumbangan sumber daya alam berupa tambang dan minyak bumi. Kutai Kertanegara menyumbang 237Triliun PDRBnya untuk PDB Nasional. Bagi hasil yang kembali ke Kutai hampir mencapai 4 triliun rupiah per tahun (2015). Tidak salah jika Kutai ini menjadi Kabupaten terkaya di Indonesia. Tetapi bagaimana dengan sektor kesehatannya? Kabupaten ‘sekaya’ Kutai ini ternyata masih menyimpan suatu tantangan besar dalam status kesehatan, terutama derajat kesehatan ibu dan anak. Jumlah kematian ibu masih tinggi, data terakhir menunjukkan jumlah angka kematian ibu mencapai 29 jiwa, untuk Kabupaten dengan jumlah penduduk sekitar 200 ribu jiwa. Tantangan besar ini telah diidentifikasikan oleh pemerintah daerah Kutai, dimana pada sisi layanan kesehatan, terjadi kesenjangan akibat adanya ketidaksinkronan antara layanan kesehatan primer ke layanan kesehatan sekunder dan lanjutan. Masalah rujukan ibu hamil untuk bersalin, menjadi tantangan besar yang harus dijawab oleh pemkab Kutai. Melalui serangkaian perbaikan sistem kesehatan dan sistem layanan kesehatan bagi ibu hamil dan bersalin, maka diambil suatu kebijakan yaitu sinkronisasi rujukan layanan kesehatan ibu bersalin melalui perbaikan sistem informasi. Melalui model ini ketika ibu hamil ingin bersalin, sejak di layanan kesehatan primer, sudah terpantau, sehingga ketika harus dirujuk ke layanan kesehatan lanjutan (RSUD), semua bisa dilakukan penanganan secara tepat, cepat dan akurat. Melalui Model Hotline Ibu Bersalin ini, kabupaten Kutai Kertanegara mulai menunjukkan sinyal positif penurunan jumlah kematian ibu.

2. Kepala Dinas Kesehatan Kab. Jeneponto, HM Syafruddin MKes

Jeneponto berubah dari daerah bermasalah kesehatan menjadi daerah dengan prestasi kesehatan. Daerah ini secara sisi supply sudah terlengkapi dengan berbagai macam sarana prasarana kesehatan. Akses juga mudah dijangkau, tidak ada akses ke faskes lebih dari 1 jam dengan masalah kualitas akses sedang (masih ada kendala kualitas jalan). Tetapi IPK
M Jeneponto termasuk yang terendah di Sulawesi Selatan. Ini terlihat dari cakupan programnya yang rendah. Secara anggaran, untuk dinas kesehatan saja sudah di atas 6%, dan jika digabung dengan RS, maka akan menjadi 11 % lebih. Ternyata telah terjadi kebijakan yang tidak tepat pada struktur anggaran. Banyak anggaran yang tidak secara langsung menyetnuh pada sisi peningkatan status kesehatan masyarakat.

Selain kepada kualitas pemberi layanan yang belum sesuai dengan standar. Masalah data juga menjadi masalah, karena data kependudukan tidak valid. Sehingga teridentifikasi ada masalah kondisi masyarakat yang tidak terlindung oleh sistem kesehatan. Permasalahan ini diselesaikan secara lintas program dan lintas sektor. Saat ini 70% program dikerjakan oleh SKPD kesehatan (dinas kesehatan, RS, dan BKKBN), dan 30% oleh lintas sektor. Fokus kepada program 1000 HPK untuk perbaikan input demand kesehatan masyarakat. Kunci suksesnya adalah kemitraan antar lintas program dan lintas sektor termasuk dengan lembaga kemasyarakatan, akademisi, dan kaum bisnis.

Reporter: Deni Harbianto, SE

Urgensi Riset Implementasi

Evaluasi Pembayaran Kapitasi Provider Primer di Era JKN
Dr. drg. Yulita Hendrartini, M.Kes

Mengapa dilakukan evaluasi? karena kesalahan pada pembayaran di provider pelayanan primer. Latar belakang bahwa provider primer sangat esensial untuk mencegah biaya pelayanan yang sangat besar yang pada awal 2014 yaitu 8 Trilyun di FKTP dan RJTL hampir 23 Trilyun dengan FKTP 197 ribu. Implementasi kebijakan BPJS Kesehatan yang menerapkan norma penetapan besaran kapitasi serta pembayaran kapitasi berbasis pemenuhan komitmen. Apakah implementasi kebijakan yang ditetapkan Pemerintah Pusat dan kebijakan yang dibuat BPJS Kesehatan sudah mampu mendorong pembayaran yang lebih efisien?

Data dari 755 FKTP melibatkan puskesmas, DPP, dan klinik pratama. Dukungan dana dari BPJS Kesehatan. Hasilnya ada ketimpangan distribusi peserta, kepersertaan di Puskesmas lebih besar. Terkait dengan beban kerja yang berlebihan yaitu 1 dokter bisa menangani 30 ribu peserta, ini fakta. Di daerah tertinggal kapitasinya hanya 3000-3500 rupiah. Sedangkan daerah non tertinggal bisa 6000 rupiah. Jumlah dokter di DTPK sangat terbatas apabila untuk memenuhi dokter umum yang ketentuannya harus 2. Distirbusi rasio utilisasi masih besar, dari 755 FKTP rasionya sekitar 6%, di perkotaan lebih tinggi lagi. Jumlah dokter terhadap biaya aktual ternyata tidak memberikan dampak signifikan. Tetapi rerata biaya di Puskesmas 130.000 – 231.000 ribu (unit cost berdasarkan pendekatan rasio utilisasi kuratif).

Sebaiknya kapitasi harusnya mempertimbangkan rasio utilisasi bukan jumlah dokter. Kapitasi dipengaruhi rasio utilisasi dan unit cost bukan jumlah dokter. Sehingga kesimpulan, pembayaran kapitasi ini memungkinkan inefisensi biaya, perlu formulasi dari kapitasi yang dapat mendorong peningkatan mutu dan tindakan promotif dan preventif.

Kesenjangan biaya aktual perlu dihindari dengan memeratakan beban kerja jumlah dokter dan karakteristik peserta JKN. Penentuan besaran kapitasi sebaiknya mempertimbangkan rasio utilisasi dan adjustment faktor. BPJS Kesehatan dapat memberikan insentif khusus bagi FKTP daerah terpencil untuk mendorong pemerataan akses dan ketersediaan tenaga kesehatan.

Hasil Riset Implementasi JKN di Pelayanan Primer-Kapitasi
dr. Likke Prawidya Putri, MPH

Mengapa penelitian kapitasi? karena kapitasi merupakan kebijakan, ada siklusnya dan ada perkembangan kapitasi selanjutnya. Lalu bagaimana pelaksanaan kapitasi di lapangan?. Penelitian yang dilakukan oleh UGM, P2JK, dan mitra universitas Sumut, Universitas Jember, dan Universitas Cendrawasih menjawab pertanyaan tersebut. Topik riset ditentukan dengan mengunjungi calon tempat studi, dan konsultasi dengan kementerian dan stakeholder tingkat nasional. Pertemuan nasional dilakukan untuk menentukan topik penelitian, salah satunya regulasi.

Tujuan penelitian riset implementasi adalah untuk memahami tantangan dan memahami kebijakan ke depan. Metode yang digunakan yaitu kualitatif dan kuantitatif. Tahap I pengumpulan data sekunder di FKTP termasuk kualitatif. Tahap selanjutnya datang ke dinas kesehatan, Bappeda dan instansi lain. Kendala-kendala ditemukan pada saat analisis data kualitatif. Kapitasi idealnya dapat meningkatkan kualitas pelayanan dengan mempengaruhi kinerja SDM. Terkait jumlah dokter, kapitasi tidak terlalu berpengaruh, ada FKTP yang bertambah dan ada juga yang berkurang. Kemudian rujukan, ini terkait kinerja, ketat merujuk tidak terjadi di semua kabupaten kota karena salah satunya dorongan dari masyarakat, hal lainnya yang menyebabkan rujukan adalah obat dan alkesnya tidak ada dan SDM kesehatannya juga tidak ada.

Maka, dibutuhkan peran dinas kesehatan untuk mengawasi dan mengelola dana kapitasi. Ada dinkes yang mengokomodir alat kesehatan dan obat, namun ada juga yang perannya terbatas. Kapitasi diberikan ke FKTP namun tidak mengungkit performa FKTP tidak hanya karena SDM, namun juga ketersediaan obat dan alkes dari dinas kesehatan itu sendiri.

Urgensi Riset Implementasi
dr. Yodhi Mahendradhata, M.Sc., PhD

Mengapa urgensi riset implementasi? Riset implementasi marak karena banyak kekecewaan dengan banyaknya teknologi dan kebijakan ketika di atas kertas sangat menjanjikan tetapi dalam pelaksanaan jauh dari yang diharapkan. Contoh intervensi CRTCT yang berbasis bukti dan cost efektif ternyata tidak banyak berdampak penurunan HIV karena banyak kendala di lapangan. Ini juga terkait mata rantai sangat panjang antara efikasi di atas kertas dibanding efektifitas di lapangan. Contoh kasus dengue yang baru dengan efikasi 60% bisa menurunkan prevalensi dengue 20-30% kalau datanya tidak mudah diakses maka dengue-nya tidak berkurang, provider tidak yakin maka juga tidak akan diberikan datanya. Ada reduksi dampak efikasi ke efektifitas.

Sekarang kita tahu bahwa intervensi generik/sama namun apabila diterapkan di konteks berbeda dan strategi implementasi yang berbeda maka hasilnya akan berbeda. Contoh kebijakan-kebijakan di Indonesia, di ratusan kabupaten/kota maka hasilnya juga berbeda wilayahnya. Ada 3 elemen yang mempengaruhi agar berhasil, yaitu:

  1. Strategi berbasis bukti
  2. Implementasi yang efektif
  3. Konteks yang mendukung

Riset implementasi intinya adalah riset kesehatan untuk mempromosikan upaya-upaya berbabis bukti supaya lebih berhasil dalam pelaksanaannya. Intinya mengidentifikasi dan mengatasi kendala-kendala dengan lebih efektif dan berkualitas. Inti solusinya dilakukan bersama dengan stakeholder dan pengambil kebijakan. Hukumnya wajib dilakukan bersama stakeholder. Pertanyaan penelitian menjadi jantungnya dan relevan dengan stakeholder dan pengambil kebijakan.

Diskusi:

Riset implementasi seperti apa. idealnya seperti apa?

Ada perubahan yang terjadi dalam Riset Implementasi, Principal Investigator atau PI-nya merupakan pengambil kebijakan sebagai bentuk ideal dalam riset implementasi. Terlibat dalam fase-fase kritis, analisis, kesimpulan dan rekomendasi.

Untuk saat ini, PI masih di akademisi, masih bersifat konsultasi dengan pengambil kebijakan dan pada saat pengumpulan data, pengambil kebijakan ini tidak mengikuti karena kemungkinan bisa terjadi bias. Hasil penelitian kapitasi ini merupakan dorongan kebijakan peraturan atas norma kapitasi yang harusnya melibatkan stakeholder yaitu P2JK, Kemenkes dan BPJS Kesehatan. Hubungan harmonis antara peneliti dengan stakeholder/policy maker harus dijaga dan harus independen.

Apakah rekomendasi dalan penelitian evaluasi bisa dikembangkan menjadi riset implementasi. Perlu adanya penguatan bagaimana sistem pembayaran insentif pelayanan dan menentukan kinerjanya. Permasalahan yang terjadi sekarang adalah tidak punya akses data ke BPJS Kesehatan. Pemda tidak mempunyai power mengatur BPJS Kesehatan. Pay performace bisa digunakan untuk mengukur kinerja berbasis kenerja individu. Implementasi sekarang menunjukkan apakah kinerja berbasis norma dan apakah benar bisa diterima di kondisi lapangan. Hasil penelitian pun menunjukkan rekomendasi norma kapitasi jangan berbasis jumlah dokter dan sarana prasarana namun berbassi kinerja. Hal ini dikarenakan istilah norma tidak tepat untuk menentukan jumlah kapitasi.

Kebijakan Badan Litbangkes dalam Riset Implementasi
Naigoat Consalony Tambunan, SKM, ME

Ada perubahan badan Litbang sejak menggunakan kerangka kerja WHO untuk Litbang. Awalnya litbang dibentuk atas kritik Pelita I dengan fokus pembangunan bersifat fisik. Organisasi litbangkes terdiri dari 4 pusat litbang besar mempunyai mandat fungsi litbangkes berbasis mitra di unit program Kemenkes. Visi yang diemban dalam proses internalisasi terus-menerus, ada pergeseran isi dari lembaga ke promosi litbangkes sebagai lokomotif pembangunan nasional. Arah badan Litbangkes mulai bergeser bahwa litbang sebagai pandu/pemberi arah dalam pembangunan kesehatan. WHO sudah memberi referensi dimana peran Litbang dalam pembangunan kesehatan.

Misi:

  1. Menyediakan data, informasi, dan pengetahuan tentang masalah Kesehatan dan Penyebabnya
  2. Menghasilkan solusi perbaikan pembangunan kesehatan melalui inovasi teknologi kesehatan
  3. Menyediakan data, informasi dan pengetahuan tentang pencapaian pembangunan kesehatan.

Pertemuan koordinasi telah dilakukan untuk menentukan sistem Litbang. Sistem Litbang tidak bisa lepas dari sistem lain yang terkait. Artinya bahwa badan Litbang bermitra untuk setiap program kesehatan.

 

oleh Faozi Kurniawan