Reportase World Congress on Public Health – Hari 4

Tantangan Mencapai Equity di Wilayah Asia Pasifik

shin yong sooShin Young-Soo, Direktur Western Pacific Regional dari World Health Organization mendeskripsikan situasi equity di wilayah Asia Pasifik. Pencapaian MDGs sebagian besar telah memenuhi target, tetapi inequity tetap terjadi. Terjadi perbedaan U5MR tergantung pada tingkat pendidikan, lokasi tempat tinggal. Populasi yang tidak pernah bersekolah selalu memiliki angka kematian tertinggi.

Western Pacific itu terdiri atas berbagai macam negara, mulai dari negara dengan advanced economies seperti Australia dan New Zealand, ada yang dalam situasi transition economies seperti China dan Mongolia, negara-negara middle-income countries di wilayah kepualuan Pasifik seperti Samoa, Fiji dan negara-negara yang memberlakukan sistem desentralisasi seperti Filipina.

Negara dengan advanced economies tentunya memiliki infrastruktur sosial yang baik dan mekanisme pembiayaan yang solid. Namun demikian, tetap ada kelompok populasi tertentu yang termarjinalisasi, misalnya saja di Australia yang selalu memiliki masalah inequity antara indigenous dan non-indegenous. Di negara dengan transition economies, misalnya China, telah terjadi perubahan penitikberatan penyelenggara kesehatan dari district level model of pelayanan primer menjadi komersialisasi dan privatisasi rumah sakit. Inequity antara miskin dan kaya semakin melebar.

Sementara itu negara-negara Pasifik kepulauan, misalnya Samoa, mengalami krisis SDM kesehatan karena tingginya brain drain dan ketersediaan SDM yang terkonsentrasi di rumah sakit. Ketergantungan pada donor tinggi dan ownership pemerintah nasional terhadap program-program kesehatan rendah. Tantangan terbesar saat ini yaitu meningkatnya insidensi penyakit tak menular serta melawan perubahan iklim dan dampaknya. Sedangkan untuk negara yang terdesentralisasi seperti Filipina, mengalami masalah sosial politik yang kompleks, terutama dengan adanya 1500 pemerintahan kabupaten/kota yang masing-masing memiliki kewenangan tersendiri. Pemerintah pusat menemui kendala besar dalam menerapkan kebijakan nasional ke seluruh kabupaten/kota di bawahnya.

WHO telah melakukan beberapa upaya untuk mempersempit jurang equity: salah satunya dengan mengkampanyekan universal health coverage (UHC). “Equity is a cornerstone of UHC. Dengan adanya UHC, akses kesehatan pada kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda akan lebih merata”, ujar Shin. Regional action agenda lainnya yaitu “Leaving no-one behind”, dengan equity sebagai konsep intinya dan SDGs sebagai indikator-indikator prioritasnya.

WHO telah memberikan dukungan untuk membantu negara-negara dalam menyusun peta jalan untuk mencapai UHC, meningkatkan kapasitas leadership dari pemerintah untuk berkomitmen pada pembiayaan untuk UHC, serta memberikan pedoman-pedoman untuk mengevaluasi pencapaian UHC dan SDGs. Adanya SDGs merupakan tantangan tersendiri bagaimana kita bisa merangkul lebih banyak pihak untuk mempercepat pencapaian SDGs itu sendiri.

Sebagai praktisi kesehatan masyarakat, apa tugas kita selanjutnya?

Ada 3 hal: informing, influencing, dan institutionalising. Informing: praktisi kesehatan masyarakat harus memahami kaitan antara social determinant of health dan health equity, memahami bagaimana sektor-sektor lain dapat turut berkontribusi serta prioritas-prioritas yang dimiliki sektor lain tersebut, serta memahami kebutuhan dari perspektif masyarakat. Influencing: praktisi kesehatan masyarakat harus memperkuat kemampuan untuk mengadvokasi dan menggandeng sektor lainnya, memobilisasi dukungan politik dan finansial, dan memanfaatkan adanya kebijakan dengan efektif. Institutionalising: praktisi kesehatan masyarakat secara aktif mengangkat isu-isu prioritas tertentu dan mendiseminasikan bagaimana upaya yang dapat ditempuh untuk mencapai target yang diinginkan.

Bagaimana pendidikan kesehatan masyarakat ke depannya?

Dengan tantangan yang ada saat ini, perlu membentuk para praktisi kesehatan masyarakat yang ahli dalam berkolaborasi, advokasi dan memperkuat proses pembuatan kebijakan. Tidak hanya ketrampilan untuk promosi kesehatan saja yang dipersiapkan bagi para calon praktisi kesehatan masyarakat, tetapi juga kemampuan untuk aware terhadap isu politik dan ekonomi yang berkembang, reseptif pada perkembangan terbaru serta responsif pada kebutuhan masyarakat.

Kesimpulannya, public health saat ini mau tidak mau dipengaruhi isu sosial dan politik, sehingga penting untuk memahami determinan-determinan dari equity dari aspek sosial, politik serta faktor lain yang jarang tersentuh sebelumnya, seperti aspek komersial. Inequity terjadi di mana-mana, tapi dalam bentuk yang berbeda-beda. Kita perlu cermat menganalisis apa bentuk equity yang terjadi di wilayah atau negara kita, dengan mempertimbangkan konteks dan situasi yang ada.

Kesehatan sebagai Kompas untuk Menuntun Arah Inovasi

11apr 3Ada dua pesan utama yang disampaikan oleh Rüdiger Krech dari Department Sistem dan Inovasi Kesehatan WHO yaitu pentingnya regulasi dan inovasi dalam pencapaian tujuan kesehatan ke depannya. “Saat ini, mobilitas manusia luar biasa besar, yaitu 3.6 milyar penumpang pesawat internasional dan diperkirakan akan naik dua kali di tahun 2035. Semakin tinggi tingkat perpindahan manusia, semakin cepat pula kuman menyebar”, papar Krech memulai pidatonya. Krech memberikan contoh penyebaran virus Zika di tahun lalu. Ini salah satu faktor risiko transmisi penyakit menular yang pasti kita hadapi ke depannya. Krech juga mengingatkan kita pada epidemi Ebola beberapa waktu silam. Saat itu, data dari google berupa jumlah pencarian gejala Ebola memberikan informasi yang lebih real time mengenai potensi wabah dibandingkan data dari sektor kesehatan. Kejadian-kejadian tersebut menekankan pentingnya inovasi dan berpikir jauh ke depan dalam upaya pengendalian penyakit.

Teknologi yang maju dan akan semakin maju merupakan peluang yang mutlak perlu dimanfaatkan oleh praktisi kesehatan masyarakat. Pemeriksaan kesehatan jarak jauh, yang lagi-lagi berbasis teknologi, sangat pesat berkembang. Pemanfaatan aplikasi berbasis smartphone untuk promosi dan upaya pencegahan kesehatan pun sudah begitu luas dipraktikkan. Apakah inovasi hanya sebatas teknologi? Tentunya tidak. Berbagai inovasi juga dikembangkan mengenai di dunia sosial dan ekonomi, misalnya: sistem pembiayaan, pendekatan sosial, sistem penjualan produk, dan sebagainya.

Namun, siapa yang dapat memutuskan inovasi apa yang baik ataupun kurang baik? Dunia ini penuh dengan berbagai inovasi dan kesehatan dapat menjadi indikator untuk menentukan apakah satu inovasi layak terus dikembangkan atau perlu perbaikan. “Kesehatan dapat menjadi kompas dalam pengembangan inovasi”, tegas Krech. Misalnya untuk inovasi terkait sistem sosial atau ekonomi, kita sebagai praktisi kesehatan masyarakat perlu memantau apakah dampaknya baik bagi kesehatan individu dan masyarakat? Perkembangan di dunia transportasi, bagaimana dampaknya bagi status kesehatan masyarakat? Perlu penelitian-penelitian antara lain terkait manfaat kesehatan, risiko kesehatan individu dan masayarakat.

Setelah kita mengetahui dampaknya bagi masyarakat, langkah selanjutnya yaitu menetapkan regulasi. Dengan adanya inovasi dalam hal transportasi, misalnya transportasi umum online, setelah kita tahu bagaimana dampaknya terhadap angka kecelakaan, maka perlu menginisiasi peraturan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Dengan adanya inovasi produk makanan baru, perlu ada regulasi untuk mengendalikan peredaran atau kandungan tertentu di produk tersebut. Tidak hanya di tingkat nasional, perlu kesepakatan internasional untuk memastikan kesehatan manusia terlindungi.

Siapa yang jadi pemimpin dalam hal regulasi inovasi? Pemerintah dan masyarakat-lah yang harus aktif menginisiasi perlunya regulasi-regulasi tertentu. “Kita tidak bisa membiarkan sektor bisnis dan swasta untuk menentukan arah perkembangan dunia kita di kemudian hari. Kombinasi antara topdown regulasi pemerintah dan bottomup aspirasi masyarakat adalah alat legal yang paling efektif, tutup Krech.

Reporter: Likke Prawidya Putri

Reporter: Likke prawidya Putri

  REPORTASE TERKAIT :

Reportase World Congress on Public Health – Hari 3

Commercial Determinant for Health: Industri Alkohol dan Politik di Australia

Apa masalah kesehatan utama saat ini yang terkait dengan beban penyakit tidak menular? Ya, jawabannya adalah faktor risiko berupa gaya hidup tidak sehat. Selama ini kita berusaha menerapkan berbagai kebijakan tentang kawasan tanpa rokok, promosi pola makan dan olahraga yang sehat. Kita tidak sadar bahwa di balik semua itu terdapat raksasa industri yang secara ‘kasat mata’ menjadi tantangan terbesar kita. Sesi Plennary di hari ketiga ini menguak fakta-fakta bagaimana faktor komersial menjadi salah satu penentu penting status kesehatan masyarakat.

peter miller

Peter Miler dari University of Deakin mengangkat isu industri alkohol sebagai salah satu pihak yang ‘berkepentingan khusus’ yang memiliki vested interest. Saat ini marak asosiasi yang mempromosikan mengenai konsumsi alkohol dalam batas yang sehat dan aman, misalnya DrinkWise ataupun DrinkAware. Dengan adanya asosiasi tersebut, perilaku minum alkohol, yang termasuk gaya hidup yang berisiko, dianggap sesuatu yang aman untuk masyarakat. Namun demikian, kita tidak sadar bahwa industri alkohol sebenarnya memanfaatkan adanya asosiasi tersebut untuk membawa image positif pada produknya. Lebih parah lagi, terdapat beberapa penelitian yang didanai atau didukung oleh perusahaan-perusahaan tertentu, sehingga hasil penelitian yang ditampilkan kurang independent dan hanya melaporkan hal-hal yang mendukung industri. Hasil penelitian semacam ini juga sering tidak mencantumkan sponsor penelitian dalam acknowledgement-nya dan menuliskan bahwa tidak ada conflict of interest. Salah satu contoh penelitian tersebut yaitu adanya efek cardioprotective dari konsumsi alkohol dalam jumlah tertentu. Strategi lainnya terkait penelitian yaitu perusahaan-perusahaan ini mendanai penelitian tentang dampak konsumsi alkohol dalam jumlah sedang (moderate-level) saja tanpa melibatkan konsumsi alkohol dalam jumlah tinggi. Dalam salah satu penelitian, disebutkan intervensinya yaitu meminta responden untuk mengkonsumsi alkohol dalam jumlah tertentu.

Strategi kedua dari perusahaan ini yaitu dukungan kepada partai politik secara langsung maupun tidak langsung. Data di Australia menunjukkan bahwa partai-partai politik di Australia menerima dana cukup besar dari industri tembakau, alkohol dan gambling. Contoh lobi ‘halus’ lainnya yaitu begitu seringnya parlemen menyelenggarakan pesta atau pertemuan yang menyediakan minuman beralkohol yang disponsori oleh industri. Tak ketinggalan event olahraga yang disponsori oleh industri alkohol.

Strategi berikutnya adalah kemitraan dengan perusahaan lainnya, misalnya kerjasama antara DrinkWise dan Uber yang memfasilitasi layanan antar untuk minuman beralkohol. Di samping itu, adanya diversion tactic atau pengalihan yaitu dengan memberikan jargon yang terkesan aman misalnya bir rendah karbohidrat atau bir rendah kalori. Hal ini dilakukan juga industri rokok yang telah banyak mempromosikan adanya rokok rendah tar atau rokok untuk wanita.
Strategi lain yang cukup membahayakan yaitu dukungan industri pada media. Di Australia, Herald Sun, surat kabar yang terkemuka di Australia, mendapat pemasukan sangat besar per tahunnya dari iklan produk beralkohol. Dengan demikian media pun dapat ‘dibeli’ untuk menampilkan atau menyembunyikan informasi tertentu mengenai dampak alkohol bagi kesehatan. Strategi terakhir tapi tidak kalah berbahaya yaitu fenomena revolving door tokoh-tokoh politik yang setelah pensiun memasuki organisasi lobbying untuk alkohol ataupun industri ataupun sebaliknya. Misalnya mantan direktur pengawasan lisensi yang menjadi pimpinan di DrinkWise. Hal ini tentunya dapat sangat berpengaruh pada pengambilan kebijakan terkait alkohol di Australia.

Bagaimana dengan peran kita sebagai pemberi masukan? Penelitian, diseminasi dan menggandeng para tokoh politik harus dilakukan secara konsisten dan tidak mengenal putus asa. Peter Miller mencontohkan upaya yang dilakukannya untuk mengadvokasi tetapi ditolak mentah-mentah di depan publik. Meskipun media bukan menjadi ranah langsung dari kesehatan masyarakat, sangat penting untuk memastikan integritas dan transparansi dari media dalam menyampaikan berita tertentu. Di samping itu, kita perlu mendampingi pemerintah dalam memilah hasil-hasil studi yang ada untuk mendukung kebijakan ke depan.

Kebijakan Apa yang Paling Efektif Menurunkan Konsumsi Rokok?

prabhatProfessor Prabhat Jha, chair Dalla Lana School of Public Health Canada yang telah melakukan berbagai penelitian terkait dampak ekonomi dan kesehatan rokok, memulai sesinya dengan 5 poin kesimpulan: 1) perokok memiliki usia harapan hidup 10 tahun lebih pendek daripada bukan perokok; 2) berhenti merokok sebelum usia 40 tahun dapat mencegah 90% beban penyakit akibat merokok; 3) tembakau merupakan salah satu penyebab kemiskinan dan kebijakan pembatasan rokok berpotensi mengurangi angka kemiskinan, dan 4) menaikkan harga rokok 3 kali akan mengurangi 1/3 konsumsi rokok dan menghindari 200 juta kematian.

Perokok memiliki risiko mati lebih muda 10 tahun daripada bukan perokok. Bagaimana bila dibandingkan dengan konsumsi alkohol? Satu pesan dari Prabhat Jha, ‘don’t drink like Russian male’ dengan kata lain asalkan alkohol tidak dalam kadar sangat tinggi, yakni 1 botol vodka per hari (kandungan 40% alkohol). Sedangkan dibandingkan dengan obesitas, Studi Peto et al (2010) menunjukkan bahwa untuk mendapat dampak berkurangnya 10 tahun usia harapan hidup dari merokok, perlu mengalami obesitas dengan indeks BMI 40 – 50. Ilustrasi di atas menggambarkan betapa beratnya risiko penyakit seorang perokok.
Namun demikian ada ‘berita baik’ untuk perokok. Apabila berhenti merokok pada usia 35 – 44 tahun, maka usia harapan hidup yang hilang 10 tahun tadi akan kembali sebesar 9 tahun; berhenti pada usia 45 – 54 tahun akan mengembalikan 6 tahun harapan hidup Anda, seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini:

years

Berita baik lainnya adalah dengan adanya teknologi kesehatan yang semakin baik, risiko kematian karena merokok jauh berkurang dalam 3 dekade terakhir. Tetapi, perlu diingat bahwa biaya yang dikeluarkan untuk membayar teknologi itu juga sangat besar.

Data yang dipaparkan Prabhat Jha menunjukkan bahwa perusahaan rokok membuat keuntungan $10,000 dollar setiap ada seorang perokok meninggal. Ironis bukan?

Studi menunjukkan bahwa menaikkan pajak rokok sampai dengan 100% dapat menurunkan 20% prevalensi merokok. Di Perancis, kenaikan harga rokok mulai diperkenalkan pada awal 1990-an yang mencapai 300% di tahun 2011, sementara rerata konsumsi rokok 6 batang per hari di awal 1990-an menurun drastis menjadi separuhnya di tahun 2011. Data dari ADB (2013) menunjukkan dampak dari kenaikan harga rokok hanya 6.4% yang ditanggung oleh masyarakat dengan status sosial ekonomi terendah tetapi manfaat yang diperoleh dalam hal kematian yang dapat dicegah yaitu 32%, lebih tinggi dari kematian yang akan dicegah di kelompok sosial ekonomi tertinggi. Dapat disimpulkan bahwa bila harga rokok naik, maka yang terkena dampak terkecil justru kalangan sosial ekonomi tertinggi, yang berarti mengurangi kesenjangan yang terjadi.

Tidak hanya itu, peningkatan harga rokok akan mengurangi pasar gelap serta memperkecil selisih harga antara rokok yang mahal dan murah.
Pajak atau cukai rokok yang naik sampai 3 kali lipat akan menurunkan konsumsi rokok sampai 1/3 dan mencegah sampai dengan 200 juta kematian. Sekali lagi perlu diingat, dampak-dampak tersebut hanya akan terlihat kalau harga pajak rokok naik sekurang-kurangnya 100%.

Kuncinya: Triple – Halve – Double. Naikkan harga rokok sampai 3 kali lipat, konsumsi akan berkurang separuhnya, pendapatan pemerintah dari tembakau akan naik 2 kali lipat.

Informasi lebih lanjut mengenai studi Prabhat Jha dan tim-nya dapat dilihat di www.cghr.org 

Apakah Kita Sudah 100% Anti Rokok?

11apr 2

Masih tentang industri tembakau, Bronwyn King, CEO Tobacco Free Portfolio menceritakan bagaimana semua orang di Australia sebenarnya berperan dalam membesarkan bisnis tembakau tanpa disadari. Berawal dari pengalaman King dalam mengurus superannuation (dana pensiun wajib yang diberlakukan di Australia). Dari agen marketing yang menawarkan program dana pensiun tersebut, King baru mengetahui bahwa dana tersebut diinvestasikan ke perusahaan-perusahaan tembakau. King mencari tahu ke provider dana pensiun lainnya dan hasilnya sama saja, bahwa fund manager tersebut berinvestasi ke perusahaan yang terkait dengan tembakau. Empat dari 5 perusahaan papan atas yang menjadi sasaran investasi fund manager bergerak dalam industri tembakau, yakni: British American Tobacco, Imperial Tobacco Group, Phillip Morris dan Swedish Match Company.

Mengapa fund manager tersebut berinvestasi ke industri tembakau? Faktanya, karena di atas kertas perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang tembakau dan rokok memiliki track record yang baik dalam segi finansial, yakni menguntungkan dan akuntabel, sehingga hampir selalu konsisten menempati peringkat tertinggi sebagai perusahaan terbaik di dunia. Para fund manager mungkin mengetahui tentang risiko tembakau, tetapi tidak atau kurang peduli pada dampak jangka panjang dari investasi tersebut.

King memberikan poin-poin penting supaya kita sebagai praktisi kesehatan masyarakat dapat lebih tajam dan menohok dalam mempromosikan dampak buruk rokok kepada bidang lain dan bagi masyarakat sebagai investor. Pertama, rokok tidak dapat dikonsumsi dalam jumlah yang aman. Sebatang rokok pun per hari dapat meningkatkan risiko penyakit kronis. Kedua, regulasi terkait rokok sudah sangat banyak dan akan semakin banyak, sehingga ke depannya dapat lebih berisiko bagi bisnis. Ketiga, bisnis rokok menginternalisasi profit dan mengeksternalisasi risiko biaya jangka panjang. Perusahaan rokok menerima keuntungan yang sangat besar, tetapi kerugian akibat rokok misalnya: biaya pengobatan kanker, penyakit jantung dan morbiditas lainnya akibat rokok ditanggung oleh pemerintah, bahkan masyarakat. Dengan kata lain, meskipun investor seakan-akan mendapat keuntungan, investor (masyarakat) pun mengalami kerugian karena harus menanggung biaya kesehatan akibat rokok melalui premi asuransi. Terakhir, bisnis tembakau telah membahayakan keamanan pangan di beberapa wilayah karena tergusurnya pertanian tanaman pangan serta 60% pekerjanya masih anak-anak.

Jadi, bagi Anda yang memiliki investasi saham, reksadana, ataupun tabungan dana pensiun dan sejenisnya, tanya pada manajer Anda apakah investasi Anda bebas rokok

Hidup untuk Makan, atau Makan untuk Hidup?

Demaio instagram

Usia harapan hidup di seluruh dunia telah berlipat ganda sejak tahun 1900, dan salah satu faktor penyebabnya adalah makanan. Proporsi kelaparan telah turun sampai 50% sejak 1969. Dr. Alessandro Demaio dari Department of Nutrition for Health and Deveopment WHO menjabarkan bahwa makanan telah menjadi penyelamat hidup manusia—makanan untuk hidup. Tapi saat ini gaya hidup telah membalik menjadi hidup untuk makan. Contoh gampangnya adalah kebiasaan untuk mengabadikan dan mengunggah makanan ke sosial media. Demaio juga menyebutkan bahwa sebagian besar foto yang diunggah ke Instagram adalah foto makanan.

Tidak bisa dipungkiri bisnis makanan merupakan bisnis yang besar. Salah satu contoh untuk salah satu retail burger di Australia, keuntungan yang diperoleh adalah 5 milyar dollar di tahun 2016—yang berarti 200 dollar per penduduk Australia. Sama halnya dengan makanan junk food, bisnis minuman soda juga sangat menguntungkan karena modalnya murah, prosesnya mudah, dan masyarakat mau membayar cukup tinggi—bandingkan antara minuman bersoda dan air mineral yang menggunakan bahan baku yang sama tetapi harga minuman bersoda mencapai 3 kali air mineral.

Di balik ‘ongkos produksi’ yang murah dan keuntungan tinggi yang diraup raksasa bisnis makanan, terdapat ‘ongkos tidak langsung’ yang akan ditanggung oleh negara dalam bentuk biaya pelayanan dan perawatan kesehatan—sama halnya dengan kasus bisnis tembakau. Masyarakat pun secara tidak langsung ikut menanggung beban itu karena menjadi pembayar premi asuransi. Demaio mengilustrasikan 3 tingkat dari ‘cost’ akibat tembakau: 1) yang konsumen bayar secara sadar, yaitu harga soda tersebut yang relatif murah; 2) yang konsumen bayar di kemudian hari tanpa sadar, yakni apabila kita akhirnya terkena penyakit akibat minuman bersoda, dan; 3) yang dibayar oleh seluruh masyarakat sebagai upaya menanggung risiko biaya perawatan akibat penyakit yang disebabkan oleh minuman bersoda, yakni premi asuransi.

Bagaimana hal ini terus-menerus terjadi? Lagi-lagi sama hal-nya dengan bisnis tembakau, yakni karena adanya promosi yang jor-joran, mendistraksi dari situasi yang sebenarnya ada. Hal inilah yang memicu ide adanya sin tax—perlu diingat bahwa kata-kata ‘sin tax’ ini bisa sensitif dan cenderung menimbulkan penolakan, sebaiknya diramu menjadi “true pricing for product” atau biaya riil total. Produsen perlu ikut andil bertanggung jawab pada dampak biaya jangka panjang yang ditimbulkan. Kita perlu memperkuat bukti ilmiah di sini sehingga advokasi ke arah tersebut dapat segera terwujud.

Kunci utamanya: kebijakan, kebijakan dan kebijakan. Kita perlu kebijakan kesehatan yang kuat untuk menekan promosi dan peredaran produk makanan minuman yang kurang sehat serta promosi ke masyarakat mengenai risiko negatif sebagai dampak produk tersebut. Kita perlu kebijakan yang menguak tentang beban biaya yang seharusnya ditanggung oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Kita perlu kebijakan yang berbasis bukti untuk memperkuat proses advokasi.

Reporter: Likke prawidya Putri

  REPORTASE TERKAIT :

Reportase World Congress on Public Health – Hari 2

Plennary hari kedua mengusung tema Sustainable Development Goals dan tantangannya di berbagai belahan dunia. Sesi ini diisi oleh ahli dari Afrika, Pasifik serta representatif dari World Health Organization.

Permasalahan Kesehatan di Dunia

Colin Tukuitonga day 2Dimulai oleh Profesor Alex Ezeh, Direktur Eksekutif dari African Population and Health Research Center (APHRC) yang menunjukkan bahwa angka prevalensi dan insidensi penyakit di Afrika mengalami penurunan bermakna, meskipun tetap lebih tinggi dibandingkan dengan rerata penduduk dunia. Afrika mengalami tidak hanya double, triple, tetapi quadruple burden of disease yaitu: tingginya angka kematian ibu dan anak yang gagal mencapai target Millenium Development Goals (MDGs), beban penyakit menular yang masih tinggi terutama Malaria dan HIV/AIDS, kecelakaan lalu lintas dan beban penyakit tak menular termasuk kesehatan jiwa.

Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi ini yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk, bencana alam yang cukup sering terjadi, krisis pangan yang terus menerus terjadi akibat kemarau panjang, buruknya pengelolaan limbah, serta lemahnya sistem kesehatan. Tetapi yang cukup ironis adalah di saat media internasional menaruh perhatian pada bencana tanah longsor di Addis Ababa, ribuan penduduk Afrika meninggal setiap harinya karena pengelolaan limbah yang buruk. Ini adalah bukti di mana faktor lingkungan sebagai determinan kesehatan masih kurang diperhatikan.

Seperti hal-nya di Afrika, status kesehatan masyarakat di Pasifik pun mengalami peningkatan dalam beberapa dekade terakhir secara rerata, akan tetapi selalu berada jauh di belakang rerata negara-negara di dunia. Usia harapan hidup di Nauru, justru mengalami penurunan. Bertolak belakang dengan situasi Afrika yang sebagian besar masalah kesehatannya disebabkan oleh situasi dalam benua itu sendiri, permasalahan kesehatan di negara-negara Pasifik timbul karena situasi atau perilaku dari bagian dunia lainnya. “Wilayah Pasifik yang meliputi 1/3 bagian dari keseluruhan permukaan bumi dan didominasi wilayah perairan, saat ini mengalami ancaman besar dari climate change, tingginya polusi di wilayah perairan, dan overfishing, yang justru terjadi di wilayah lainnya tetapi dampaknya diderita oleh wilayah Pasifik”, ungkap Colin Tukuitange, Dirjen dari Secretary of Pacific Community.

Hal yang cukup ironis adalah dengan wilayah didominasi perairan, cakupan akses pada air bersih di wilayah Pasifik 40% lebih rendah dari seluruh penduduk di dunia. Masih terkait dengan faktor lingkungan, peningkatan permukaan serta tingkat keasaman air laut sebagai dampak dari climate change dapat mengancam keamanan pangan. Cuaca ekstrim yang juga dampak dari climate change, telah menyebabkan kerugian di negara-negara Pasifik yang dipengaruhi. Dalam kurun waktu 8 tahun terakhir, terjadi 8 bencana alam berskala nasional yang menyebabkan beban biaya 2.6% sampai 64% dari total GDP per tahun negara yang terkena.

Ilustrasi di kedua wilayah di atas, Afrika dan Pasifik, menunjukkan betapa tingginya pengaruh lingkungan pada pencapaian kesehatan masyarakat.

Maria Neira day 2Maria Neira, Direktur Department of Public Health and Environment World Health Organization, menegaskan bahwa polusi udara merupakan kegawatdaruratan kesehatan masyarakat saat ini. Data menunjukkan bahwa Polusi udara menyebabkan 3.5 juta kematian di tahun 2012 dan polusi udara dari kegiatan rumah tangga menyebabkan kematian lebih dari 4 juta kasus di tahun yang sama. 41% penduduk dunia masih menggunakan kayu bakar atau batubara atau materi padat lain untuk kegiatan memasak, yang berkontribusi pada tingginya polusi udara indoor. Tingginya polusi udara berkorelasi dengan tingginya prevalensi penyakit pernapasan.

Di samping masalah polusi udara, permasalahan lingkungan lain pun semakin tinggi. 23% beban penyakit di seluruh dunia dipengaruhi secara langsung ataupun tidak langsung oleh masalah lingkungan. Perubahan iklim menyebabkan turunnya produksi pangan, serta tidak adanya akses air bersih dan sanitasi menyebabkan tingginya prevalensi penyakit yang ditularkan melalui air dan/atau makanan. 1 dari 3 penduduk perkotaan tinggal di wilayah kumuh.

5 SDGs saat ini sangat terkait dengan lingkungan: SDG 2 tentang malnutrisi, SDG 3 tentang kesehatan, pelayanan kesehatan dan dampak determinan pada status kesehatan, SDG 6 tentang akses pada air bersih dan sanitasi, SDG 7 tentang akses pada sumber energi modern, dan SDG 11 tentang polusi udara di perkotaan.

Solusi ke Depan

Maria memaparkan: “Mengurangi polusi udara, serta mengatasi permasalahan lingkungan yang berdampak pada kesehatan, memerlukan kolaborasi antara penggunaan clean energy, perbaikan perumahan, tatakota yang ramah lingkungan dan efisien, sarana transportasi yang rendah emisi, serta sektor industri dengan pengelolaan limbah yang baik”. Beberapa aspek yang akan menjadi fokus utama intervensi di Afrika telah sesuai dengan konsep yang yakni: menekan perkembangan wilayah kumuh, memperbaiki pengelolaan limbah, serta mengatasi permasalahan lingkungan.

Sementara itu di Pasifik, “Selama ini perhatian tersebar pada berbagai permasalahan kesehatan, tetapi kita justru melupakan hal dasar, yaitu akses pada air bersih”, tutur Colin. Ke depannya, perlu lebih selektif dan fokus pada satu intervensi supaya lebih besar daya yang dikeluarkan. “Usaha apapun untuk meningkatkan kesehatan masyarakat Pasifik tidak akan bermakna tanpa intervensi untuk meminimalkan dampak climate change. Kita harus mendukung Paris agreement”, tutup Colin.

Demikian juga yang ditegaskan oleh Maria Neira, bahwa game changer dalam dunia kesehatan masyarakat saat ini adalah “Energy”. Saat ini sudah ada Paris agreement, convention Minamata, dan berbagai dokumen kesepakatan lainnya, tetapi belum terlaksana dengan optimal. Di samping itu, 97% budget untuk kesehatan dialokasikan pada healthcare atau upaya kuratif, hanya 3% yang dialokasikan untuk mendukung upaya promotif preventif.

Inilah saatnya kita mulai mempromosikan pentingnya lingkungan yang sehat untuk mencapai status kesehatan yang lebih baik. Kita perlu menggandeng sektor swasta untuk lebih banyak berinvestasi pada isu-isu preventif dari lingkungan seperti: sanitasi, industri yang ramah lingkungan, tatakota yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesehatan serta energi yang terbarukan.

Komunikasi Dr. Adang Bachtiar, PhD dengan Presiden WFPHA yang baru:

Dear Mr. Michael Moore
President of the WFPHA

It is nice to talk to you in the WCFPH venue today and thanks for the name card you gave me.

The world dialogue on oral health was very productive of many points:

  1. The global charter people’s health is the future for all health professions moving from just an autonomy of health providers to a significant roles of people to establish an autopoesis system ie a self perpetuating system to achieve a healthier life style.
  2. Indonesia has implemented the dental immunization and to the perception of audiences including Dr.Bettina of WFPHA, it is one example practice of the global charter.  We do hope further development of Dental immunization in other countries. In fact I’ve met several audiences who express their interest to have collaboration including from Australia.  Dr. Bettina expressed her interest that this Dental Immunization can be presented in WFPHA-WHO workshop in Geneve.
  3. One structural dilemma to achieve the Charter is mono loyalty mono health discipline with difficulties in interprofessional collaboration. I believe that WFPHA should take a serious action of this situation and move further from just inviting dental professionals in the Congress but also as a part of the WFPHA. In my country we are on that direction as a rainbow coalition.

Thanking you again to have an opportunity to meet you.

adang

Dr. Adang Bahtiar, PhD

Reporter: Likke prawidya Putri

  REPORTASE TERKAIT :

Reportase World Congress on Public Health – Hari 1

epi visible

We have voices, we have vision, it’s now time for action

Sesi pembukaan di hari pertama diisi oleh sederet akademia dan pemangku kebijakan di bidang kesehatan di Australia.
Profesor Helen Keleher, ketua dari kongres ini membuka dengan memberikan deskripsi dari kegiatan dalam 5 hari ke depan. Kemudian, diikuti oleh Michael Moore selaku Presiden dari WFPHA yang menjelaskan makna dari ‘voices, vision, action’ pada logo kongres ke 15 ini. Begitu banyak bukti-bukti penelitian yang ada dalam ranah kesehatan masyarakat, dari bukti-bukti yang ada kita mendapatkan satu idea atau nilai baru untuk diterapkan. Namun demikian, kendala utamanya adalah bagaimana menindaklanjuti atau melakukan ‘action’ dari hasil penelitian dan ide pemecahan masalah yang kita miliki.

Inti dari kesehatan masyarakat adalah solidaritas, ungkap Bettina Borusch. Bagus atau tidaknya program kesehatan masyarakat tampak dari bagaimana wanita dan grup minoritas menerima manfaat dari program tersebut. Solidaritas akan terwujud bila kita dapat mengajak pihak lain untuk bersama-sama mewujudkan suatu tujuan. Namun perlu diingat bahwa solidaritas bukan semata-mata mengajak pihak lain, sebagaimana pemerhati kesehatan mengajak lintas sektor untuk bersama-sama memperhatikan program kesehatan, tetapi juga memastikan bahwa lintas sektor atau pihak lain mendapatkan manfaat dari ajakan kita tersebut.

Pentingnya solidaritas dan mempertimbangkan semua pihak, khususnya masyarakat sebagai yang menikmati program dan kebijakan kesehatan. DeMichelle DeShong, CEO Australian Indigenous Governance Institute menceritakan pengalaman dalam membangun kesehatan masyarakat Aborigin dengan memperkenalkan konsep kemandirian. “Bukan self-government, tetapi self-governance”, ungkap DeShong. “Selama ini pemerintah memberikan dana untuk program tertentu untuk dikelola oleh masyarakat Aborigin, sebenarnya yang dibutuhkan bukan hanya dana tetapi kewenangan untuk memasukkan ide dan nilai budaya pada program yang ada”, lanjut DeShong lagi dalam sesi keynote speech.

Aksi Nyata Apa yang Benar-Benar ‘Nyata’?

Berbicara tentang aksi atau tindak lanjut nyata kebijakan kesehatan, sangat tergantung pada peran praktisi kesehatan masyarakat dalam meyakinkan pembuat kebijakan untuk menetapkan program tertentu. Melalui video conference, Tabaré Vasquez, Presiden Uruguay di periode ini, bertutur tentang keberanian Uruguay dalam mengambil aksi nyata mengurangi dampak buruk kesehatan akibat konsumsi tembakau. “Kanker merupakan penyakit yang dapat dicegah melalui edukasi dan komunikasi; merupakan tugas kita (praktisi kesehatan masyarakat) untuk memberi edukasi tersebut”, Tabaré menegaskan di awal sesinya.

Perusahaan Phillip Morris menghasilkan pendapatan lebih tinggi dari 2 kali GDP Uruguay dalam setahun, sementara tembakau menjadi salah satu penyebab tingginya belanja kesehatan di Uruguay. Pemerintah Uruguay telah menetapkan berbagai larangan, antara lain: larangan merokok di dalam ruangan di fasilitas umum, larangan promosi tembakau dalam bentuk apapun di semua media televisi, radio dan internet – termasuk untuk jenis rokok elektrik, larangan sponsorship dari perusahaan rokok, menghilangkan jargon rokok tipe tertentu yang mengusung konsep ‘light’, ‘menthol’ atau sejenisnya, merancang kemasan rokok dengan peringatan yang signifikan, serta pemungutan pajak rokok. Saat ini prevalensi perokok usia 13 – 17 tahun telah turun menjadi kurang dari 10%, insidensi infark miokard akut berkurang 22%, serta Uruguay mendapat keuntungan lebih dari USD100 juta berkat kebijakan tersebut. Inilah contoh keberanian Uruguay dalam ‘mengalahkan’ kekuasaan rokok.

Dr. Ilona Kickbusch, Direktur the Global Health Centre Geneva mengungkapkan aksi nyata di Finlandia dalam mengatasi determinan sosial kesehatan, yakni dengan menetapkan Universal Basic Income (UBI). Dalam skema UBI ini, pengangguran di Finlandia akan menerima uang tunjangan sebesar 560 euro per bulan, tanpa meminta pengangguran tersebut untuk melakukan apapun (unconditional). Skema ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pekerjaan masyarakat karena masyarakat akan lebih memilih pekerjaan dengan jaminan yang baik, menurunkan angka kemiskinan, yang pada akhirnya akan meningkatkan status kesehatan. Skema ini kabarnya akan diperkenalkan di beberapa negara di Eropa, antara lain Belanda, serta India.

Tantangan dari Dunia Politik

Dalam pidatonya yang tajam, Martin McKee, Presiden World Federation of Public Health Association (WFPHA) menyebutkan betapa sejarah telah banyak menceritakan bagaimana dampak politik pada kesehatan. Kita harus menerima dan menyadari bahwa isu kesehatan masyarakat sangat sering berbau politik. Dalam pidatonya yang bertajuk “Enemies of the People: Public Health in an Era of Populist Politics” memaparkan bahwa seorang praktisi kesehatan masyarakat harus lihai memanfaatkan skills dan knowledge-nya untuk mencegah para politisi melakukan hal yang buruk untuk kesehatan masyarakat. Kebijakan dan regulasi yang ditetapkan oleh para politikus, akan secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi kesehatan masyarakat, keluarga dan individu.

Sebagai contoh Brexit dan dampaknya pada kesehatan. Data menunjukkan bahwa 10% dokter, 16% bidan dan 5% perawat di UK berasal dari Uni Eropa. 20% dokter bedah di UK memperoleh pendidikan di Uni Eropa serta lebih dari 300 juta euro dana penelitian kesehatan dari Uni Eropa research fund telah dialirkan untuk institusi-institusi di UK sejak 2014. Terjadinya Brexit dapat berarti memperkecil atau menutup berbagai peluang yang ada untuk mencapai kesehatan masyarakat yang baik di UK. Sebagai praktisi kesehatan masyarakat, kita memegang kunci dalam: memberi wawasan mengenai suatu isu kebijakan kesehatan kepada pemangku kebijakan, menunjukkan dan menggarisbawahi konsekuensi dari kebijakan tertentu, serta senantiasa memeriksa fakta-fakta yang ada dengan memanfaatkan kemampuan analisis epidemiologi serta skills lainnya. “Epidemiologi dapat menjadi alat yang kuat untuk mengatasi determinan politik untuk kesehatan. Epidemiologi membuat yang tak terlihat menjadi terlihat”, tutup McKee.

What’s next?

Dalam sesinya ‘A time for hope: pursuing a vision of a fair, sustainable and healthy world’, Sharon Friel dari School of Regulation and Global Governance ANU melihat bahwa situasi saat ini penuh dengan keputusasaan, tetapi masih ada celah peluang yang dapat menjadi pengharapan. Dunia ini penuh dengan permasalahan pelik: manusia membunuh buminya sendiri dan banyak permasalahan kesehatan yang disebabkan oleh manusia itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi yang seharusnya menjadi wahana mencapai tujuan malah menjadi tujuan itu sendiri. Namun demikian, kita perlu optimis bahwa ada peluang yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan bersama, yang utama adalah pentingya ‘network of hope’. Network of hope, atau dapat juga disebut sebagai jejaring harapan, akan terbentuk saat sekelompok orang memiliki visi yang sama untuk memperbaiki keadaan. Pergerakan dan inisiatif yang diusung masing-masing kelompok tersebut akan semakin memperkuat dan memperlebar jejaring harapan. Satu aspek yang tidak boleh diabaikan yaitu kekuatan organisasi masyarakat sipil, yang dicontohkan dengan suksesnya program nutrisi global yang didominasi oleh organisasi masyarakat sipil dan donor. Menariknya, sangat sedikit peran dari sektor swasta dan industri. Di sinilah kekuatan praktisi kesehatan masyarakat untuk mampu menggerakkan masyarakat sendiri dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. “Kita adalah ‘penjual ide’ dan inovator yang kadang membuat kekisruhan. Evidence is power. Dengan analisis yang baik dari fakta yang ada, yang mengupayakan perubahan regulasi, merangkul berbagai aktor dengan jejaring yang terorganisir, maka kita akan mampu membuka pintu bersama-sama pada perubahan status quo di dunia kesehatan”, pesan Friel.

Reporter: Likke prawidya Putri

  REPORTASE TERKAIT :

 

 

Notulensi Workshop Protokol Penelitian Monev JKN 2017

Workshop kali ini mengambil topik tentang protokol penelitian monev JKN 2017. Pada workshop ini dibagi pada dua sesi, yaitu sesi pengantar yang akan dibahas oleh Prof Laksono dan sesi protokol monev JKN akan dibahas oleh Pak Faozi dan Ibu Likke. Untuk sesi pengantar membahas tentang struktur tim dan metode protokol penelitian serta brainstroming draft proposal evaluasi JKN. Pada seminar sebelumnya telah dibahas bahwa memang pada tahun 2017 diperlukan adanya evlauasi terhadap implementasi kebijakan JKN mengingat bahwa kebijakan ini telah memasuki tahun ketiga.

Prof Laksono mengawali diskusi dengan menjelaskan evaluasi dari siklus kebiijakan. Evaluasi kebijakan menjadi salah satu dari siklus tersebut. Hal inilah menjadi acuan dari monev JKN 2017 ini, serta berbagai penelitian-penelitian sebelumnya yang dijadikan sebagai sumber evidence based. Pada penelitian ini juga tidak dilakukan sendiri, namun dengan mengajak berbagai universitas dan instansi terkait yang ingin terlibat. Sehingga pada akhirnya nanti, monitoring dan evaluasi ini dapat dijadikan sebagai rekomendasi bagi policy maker dalam pengambilan keputusannya. Monev JKN ini juga tidak menutup kemungkinan akan mengaitkan dengan kebijakan mutu pelayanan, karena bagaimanapun JKN ini tidak dapat terlepas dari quality health care, misal Prof Laksono membahas lanjut bahwa dapat ditinjau mutu dari setiap daerah ataukah tentang fraud dll ataukah penetapan premi.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembuat kebijakan dalam pengambilan keputusan. Untuk menguatkan hal tersebut dibutuhkan sistem lobby dan advokasi yang telah dibahas pada webinar sebelumnya. Dimana dengan mengajak para terkait yang terlibat sejak dari awal seperti universitas dan institusi. Namun, untuk keputusan akhir tetap dikembalikan kepada policy maker. Masyarakat pesisir atau 3T juga menjadi poin penting dalam penelitian ini, tentu saja dibutuhkan kerjasama dengan institusi-institusi setempat.

Beliau juga membahas lebih lanjut bahwa evaluasi terdiri sumatif dan formatif, dimana sumatif dilakukan di akhir kebijakan sedangkan formatif dilaksanakan pada saat implementasi kebijakan. Sehingga pada monev ini lebih melihatnya secara keseluruhan atau komprehensif, karena bagaimanapun setiap daerah memiliki karakter masing-masing. Daerah yang satu tentunya berbeda dengan daerah yang lainnya.

Prof Laksono juga menekankan bahawa pada hari ini masih membahas brainstorming protokol penelitian, minggu selanjutnya akan membahas tentang protokol penelitian, jadi sangat terbuka bagi universitas-universitas dan institusi terkait serta mahasiswa yang ingin bekerjasama dan ikut terlibat.

Selanjutnya pada sesi kedua membahas tentang protokol penelitian monev JKN 2017 yang dibahas oleh Bapak Faozi dan Ibu Likke. Diawali Bapak Faozi menjelaskan bahwa telah banyak penelitian-penelitian terdahulu tentang JKN, tentu hal ini membantu sekaligus menjadi referensi dalam penelitian ini. Kemudian Ibu Likke melanjutkan bahwa hari ini hanya brainstorming seperti yang dikatakan oleh Prof Laksono tadi. Monitoring dan evaluasi merupakan dua hal yang berbeda yang perlu kita pahami sebelumnya. Monitoring lebih kepada melihat atau memotret pada saat implementasi kebijakan, sedangkan evaluasi lebih kepada apakah kebijakan tersebut telah mencapai tujuan/sasaran. Banyak teori yang membahas tentang evaluasi kebijakan, salah satunya yaitu teori William Dunn. William dunn menjelaskan bahwa terdapat 6 (enam) indikator evaluasi kebijakan yaitu, effectiveness, efficiency, adequacy, equity, responsiveness, dan appropriateness.

Adapun Sasaran Jaminan Kesehatan Nasional yang terdapat di roadmap JKN yang diterbitkan oleh DJSN, dimana terdapat 8 sasaran yang akan dicapai pada tahun 2019, yaitu

  1. BPJS Kesehatan beroperasi dengan baik.
  2. Seluruh penduduk Indonesia mendapat jaminan kesehatan melalui BPJS Kesehatan.
  3. Paket manfaat medis dan non medis sudah sama, tidak ada perbedaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
  4. Jumlah dan sebaran fasilitas pelayanan kesehatan sudah memdai untuk menjamin seluruh penduduk memenuhi kebutuhan media mereka.
  5. Semua peraturan pelaksanaan telah disesuaikan secara berkala untuk menjamin kualitas pelayanan yang memadai dengan harga keekonomian yang layak.
  6. Paling sedikit 85% peserta menyatakan puas, baik dalam layanan di BPJS maupun dalam layanan di fasilitas kesehatan yang dikontrak BPJS.
  7. Paling sedikit 80% tenaga dan fasilitas kesehatan menyatakan puas atau mendapat pembayaran yang layak dari BPJS.
  8. BPJS dikelola secara terbuka, efisien, dan akuntabel.

Ibu like dan Bapak Faozi juga menegaskan bahwa penelitian ini tidak hanya terfokus pada teori Willian Dunn dan 8 sasaran JKN tersebut, hal ini hanya memberikan gambaran awal dalam menyusun draft proposal dan untuk selanjutnya tetap diserahkan kepada para peneliti yang tertarik untuk ikut dalam mengembangkan penelitian ini. Penyusunan draft proposal akan dibahas pada pertemuan-pertemuan selanjutnya seperti desain penelitian, teori, konsep, instrumen dll.

Notulis : Sri Fadhillah, SKM.

{jcomments on}

Reportase hari kedua Konferensi Australasian Aid 2017

Oleh: Shita Listyadewi

Hari kedua diisi dengan beberapa sesi paralel dan dua sesi panel. Berikut adalah catatan dari sesi panel.

Private Sector Innovation

Rukmani Gounder, Massey University
Ross Hutton, Shared Sky Pty Ltd
Juliet Willetts, University of Technology Sydney
Stephanie Copus-Campbell, Oil Search Foundation

juliett

Sesi ini membahas beberapa inovasi public private partnership dan peran donor.
Program Public-Private Partnership (PPP) dikembangkan dalam program Malaria, dengan tujuan utama untuk eliminasi Malaria pada 2030. Di Papua Nugini, program ini dikembangkan dengan berbagai skema:

Skema 1: dalam assessment awal, pihak yang bekerjasama adalah:

  • World Vision
  • Shared Sky
  • Transfield Services
  • Provincial health Authority

Skema 2: dalam penyediaan jasa, pihak yang bekerjasama adalah:

  • Shared Sky
  • Bougainville Health Communities
  • Departement of Health
  • DFAT

Selain itu, dibentuk pula aliansi dengan antara Provincial Health Authority dengan para pendonor, misalnya perusahaan pertambangan, perkebunan sawit, dan juga Australian Doctor International.

Dalam kerjasama PPP ini, faktor yang paling penting adalah komitmen dari Menteri Kesehatan, Gubernur, Kepala Distrik dan juga Parlemen. Namun juga diperlukan kemampuan administratif yang baik karena kerja sama ini melibatkan banyak pihak sehingga harus jelas dari awal siapa yang mengorganisir apa. Selain itu harus ada pembagian yang jelas mengenai kontribusi (financial dan in-kind) dan bahwa setiap kontribusi harus diakui bersama.

Beberapa kegiatan yang dilakukan pada saat assessment awal, adalah melakukan semacam audit berikut:

  • National Health Standards Survey
  • Drug and Diagnostic Supply Chain review
  • Clinical Case Management Review
  • Vector Control Assessment
  • Health Village Health Wards Programs

Kerjasama dengan Shared Sky memungkinkan dipetakannya secara detil (by house) data vektor malaria, pasien, dan juga lokasi persis dari faskes terdekat.
Bahasan berikutnya adalah kerja sama pemerintah dengan dalam pelayanan air bersih dan sanitasi. Penelitian ini dilakukan di Indonesia, Vietnam dan Timor Leste.

Beberapa hambatan melakukan PPP adalah:

  • Fungsi regulatory yang sangat kompleks dan kadang memunculkan conflict of interest
  • Membutuhkan insentif bagi pemerintah lokal untuk bertindak
  • Menarik minat bagi beberapa kegiatan yang memiliki marjin rendah bagi sektor swasta.

Namun tantangan terbesar ternyata adalah:

  • Lack of constitutent demand untuk program sanitasi. Dana yang rendah untuk air bersih dan sanitasi, sebagian besar dialokasikan untuk perubahan perilaku tetapi tidak untuk mendorong kewirausahaan pihak swasta untuk dapat mendukung pemerintah. Akibatnya pihak swasta lebih banyak berinvestasi untuk sektor-sektor lain.
  • Persepsi negatif antara satu sama lain: di pihak pemerintah, maupun di pihak swasta.

Pengalaman Oil Search Foundation di Papua Nugini menunjukkan bahwa setelah pemerintah mau bekerjasasama dengan swasta di sebuah distrik, ternyata hal ini menghasilkan hal yang baik, yaitu:

  • Mempekerjakan dokter dan tenaga perawat melalui skema volunteering
  • Memperkerjakan staf eks-MSF sampai pemerintah dapat merekrut sendiri tenaga tetap
  • Merekrut 180 staf dalam waktu 3 bulan
  • Membangun sistem untuk Performance-based Contract
  • Merenovasi fasilitas dan mengisi layanan obat dan BMHP
  • Menyediakan air bersih untuk bangsal dan klinik
  • Membuka bangsal TB
  • Merenovasi bangsal, dan membangun bangsal khusus untuk anal
  • Menyediakan layanan Family Support

Apa yang dapat dipelajari dari sesi ini bagi sektor kesehatan adalah besarnya potensi kerja sama antara pemerintah dengan swasta untuk sektor kesehatan di Indonesia yang selama ini belum banyak dilirik. Hal ini kemungkinan karena “kesehatan” dianggap sebagai “public goods” sementara pihak swasta dianggap sebagai pihak yang komersial, sehingga pihak swasta dianggap sebagai “outsider” dalam dialog-dialog pembangunan kesehatan. Persepsi ini harus diubah, dan pemerintah harus mulai menyadari pentingnya peran dan potensi sektor swasta untuk bersama-sama mencapai tujuan sektor kesehatan. Pihak swasta juga perlu mendapat dorongan dan bantuan dari pemerintah untuk dapat berkembang lebih baik lagi. Jika pihak swasta dapat berkembang dengan baik, maka mereka dapat berkontribusi lebih banyak dalam hal penyediaan layanan kesehatan yang lebih luas dan lebih bermutu.

Plenary session: The humanitarian system in crisis

Robin Davies, Associate Director, Development Policy Centre, ANU
Adam Kamradt-Scott, Associate Professor, University of Sydney
Phoebe Wynn-Pope, Director, International Humanitarian Law and Movement Relations, Australian Red Cross
Paul McPhun, CEO, Médecins Sans Frontières Australia
Jamie Isbister, First Assistant Secretary, Humanitarian, NGOs and Partnerships Division, DFAT

humani

Hampir 10% dari seluruh dana bantuan development partner biasanya dialokasikan untuk kemanusiaan. Walaupun demikian, masih ada banyak hal yang harus diatasi untuk mendorong dana untuk humanitarian, yaitu:

  • Bagaimana “berpindah” dari sekedar pemberian bantuan (misal: feeding hunger) menjadi lebih solusi yang bersifat ‘local’ (ending hunger)
  • Bagaimana menggalang komitmen untuk krisis konflik yang bersifat multi years
  • Bagaimana humanitarian act harus memiliki desain yang komprehensif untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa, dan harus memiliki kejelasan tentang bagaimana koordinasi dilakukan

MSF melihat banyak organisasi humanitarian baru justru gagal dalam hal:

  • Mendahulukan tujuan core humanitarian dalam situasi konflik demi “menjaga keamanan staf”
  • Mendahulukan kepentingan humanitarian dalam situasi konflik dan bukan hanya mencari situasi-situasi yang “nyaman” karena akses lebih mudah atau biayanya lebih rendah

Apa yang dapat dipelajari dari sesi ini bagi sektor kesehatan adalah sistem kesehatan harus memiliki kemampuan untuk menangani situasi krisis dan situasi konflik secara terstruktur. Hal yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk mengidentifikasi sumber bantuan dan mengkoordinasikan bantuan secara baik.

Seminar dan Workshop: Stakeholders JKN dan Kemampuan Lobbying dalam proses kebijakan: Dimana peran Asosiasi Fasilitas Kesehatan dan Perhimpunan Profesi

  PENGANTAR

Tahun ke 4 kebijakan Jaminan Kesehatan berlangsung merupakan periode alamiah untuk melakukan evaluasi kebijakan. Pengalaman selama 3 tahun ini telah banyak memberikan pelajaran bagi bangsa Indonesia. Dalam pelaksanaannya, pelajaran yang dapat dilihat adalah sering terjadinya ketidakk sepakatan antara rumahsakit sebagai pemberi pelayanan, tenaga kesehatan sebagai pelaku pelaksanaan dan BPJS. Dipandang dari sisi pemberi pelayanan, ketidak sepakatan ini kemudian secara re-aktif dilakukan berbagai komunikasi yang bersifat memadamkan kebakaran, bukan antisipatif. Diskusi dan Workshop ini mencoba membahas penggunaan lobby yang lebih bersifat prospektif.

Secara definisi lobbying adalah:
The act of attempting to influence business and government leaders to create legislation or conduct an activity that will help a particular organization (business www.dictionary.com)

Lobbying (atau ‘lobby’) dapat dilakukan oleh perorangan atau kelompok-kelompok lobby. Lobbying dilakukan oleh lobbyist yang digambarkan sebagai berikut:

  • A person who tries to influence legislation on behalf of a special interest;
  • A lobbyist is someone hired by a business or a cause to persuade legislators to support that business or cause.

  TUJUAN

  1. Membahas makna lobby dalam proses pengambilan kebijakan.
  2. Mengamati situasi lobby dalam monitoring dan evaluasi JKN di Indonesia.
  3. Membahas sikap dan strategi Asosiasi RS dan Profesi dalam lobbying kebijakan JKN

  PESERTA

Peserta kegiatan ini adalah:

  1. Anggota Community of Practice Pembiayaan Kesehatan dan JKN
  2. Peneliti, Praktisi, dan Akademisi

  AGENDA

Diskusi ini akan diselenggarakan pada hari Rabu, 22 Februari 2017; pukul 13:00 – 15.00 WIB; bertempat di Ruang Leadership, Gedung IKM Lama lantai 3 Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. Bapak/ Ibu/ Sdr yang tidak dapat hadir secara tatap muka dapat tetap mengikusi diskusi webinar melalui link Registrasi berikut:

Arsip diskusi Community of Practice Pembiayaan Kesehatan dan JKN dapat diakses selengkapnya melalui http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/  dan http://manajemen-pembiayaankesehatan.net/ 


PEMATERI

  • Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D
  • Shita Dewi, PhD

PEMBAHAS

  • Pengurus PERSI
  • Pengurus Asosiasi FKTP
  • Pengurus IDI

  SUSUNAN ACARA

Waktu Materi Pemateri/ Pembahas
13:00-13:10 Pembukaan Moderator
13:10-13:40 Sesi : Stakeholders JKN dan Kemampuan Lobbying dalam proses kebijakan

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

materi

13:40-14:00 Sesi 2: Lobby dalam monitoring dan evaluasi JKN di Indonesia

Shita Dewi, PhD

materi

14:00-14:20 Pembahas I Pengurus Persi
14:20-14:40 Pembahas II Pengurus Asosiasi  FKTP
14:40-15:00 Pembahas III Pengurus IDI
15:00-15:30 Diskusi/tanya-jawab Pemateri/ Pembahas
15:30 Kesimpulan /Penutup Moderator

 

Seminar hari ini dilatarbelakangi sering terjadi ketidaksepakatan antara pemberi pelayanan, tenaga kesehatan, dan BPJS Kesehatan. Pengantar kegiatan yang menjadi salah satu bagian monev JKN 2017 kali ini memandang bahwa ketidaksepakatan tersebut cenderung masih ditindaklanjuti secara reaktif, bukan antisipatif. Prof. Laksono turut menegaskan pentingnya lobbying dalam program JKN yang telah memasuki tahun keempat. Menurut Laksono, secara alami tidak ada undang-undang yang sempurna sehingga evaluasi dan monitoring kebijakan penting dilakukan.

Prof. Laksono menjelaskan bahwa alur dari hasil studi evaluasi kebijakan tidak dapat terpisahkan dari proses kebijakan yang meliputi : penetapan agenda, evaluasi kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan perumusan kebijakan. Produk hukum apa yang perlu diubah membutuhkan model evidence based policy making. Sejauh mana asosiasi fasilitas kesehatan dan perhimpunan profesi telah dilibatkan? Untuk memahami peran tersebut, Laksono juga menekankan perlu diperhatikannya masing-masing posisi berdasarkan tingkat interest dan power. Tidak dilakukannya skema lobby yang sistematis menjadi salah satu situasi yang patut diperhatikan sampai saat ini. Untuk melaksanakan strategi asosiasi dan perhimpunan dalam lobbying perlu adanya tim lobbying yang handal dalam memahami isi dan memiliki skill terkait teknik-teknik lobbying.

Komunikasi yang Persuasif adalah Kata Kunci

Sesi berikutnya dilanjutkan oleh paparan materi dari Shita Listyadewi, PhD mengenai lobby dan advokasi serta peranannya dalam program JKN. Shita menekankan bahwa kata kunci utamanya adalah komunikasi yang persuasif. Pertanyaannya, dimana peran lobby dan advokasi dalam monitoring (fokus ke proses) dan evaluasi (fokus ke hasil)? Menurut Shita, hasil evaluasi kebijakan untuk lobbying dan advokasi dapat berupa perbaikan untuk agenda setting (untuk isu konseptual), perbaikan formulasi kebijakan, atau perbaikan yang arahnya lebih ke implementasi. Cara lobbying yang proaktif dapat dilakukan secara langsung, tidak langsung (pihak perantara), terbuka, atau bahkan tertutup.

Perhimpunan Profesi adalah Koalisi Potensial dalam Lobby dan Advokasi

Shita menjelaskan bahwa komunikasi yang persuasif memerlukan kriteria utama seperti : jelas, benar, dan konkret, lengkap, ringkas, meyakinkan, kontekstual, berani, hati-hati, sopan. Sulitnya untuk menemukan seseorang dengan seluruh kemampuan tersebut, maka konsep koalisi menjadi solusi yang diutarakan oleh Shita untuk dipertimbangkan. Koalisi akan efektif jika masalah yang diusung memiliki manfaat bagi anggotanya, terstruktur, dan komitmen untuk berbagi informasi. Jaringan kerja advokasi yang diupayakan setidaknya memenuhi unit kerja pendukung, unit kerja basis, dan unit kerja garis depan. Shita menyatakan bahwa bukan hanya media, namun perhimpunan profesi, asosiasi faskes, perguruan tinggi, asosiasi dinkes juga merupakan koalisi potensial yang dapat dilibatkan. Dalam melakukan advokasi, hal-hal lain yang perlu diperhatikan menurut Shita antara lain : target advokasi, isu yang dikembangkan, strategi koalisi, memahami arus advokasi, dan perlu adanya mitra yang kompeten.

Bagaimana Lobby di Indonesia ?

Sebagai pembahas pertama yang sekaligus politis salah satu fraksi, Ir. Heri Akhmadi, MA kembali mempertegas bahwa lobbying memang harus dilakukan di setiap tahapan siklus kebijakan. Kelemahannya selama ini, lembaga dari pelaksana lobbying yang belum diatur secara kuat. Belum adanya kelompok lobbying yang spesifik terkait program JKN menjadi tantangan tersendiri di Indonesia. Terkait dengan media lobbying, adanya high level policy discussion juga dapat menjadi bagian dari teknik lobbying secara independen. Odang Bachtiar sebagai pembahas kedua juga menambahkan bahwa data untuk mendukung model evidence based policy making sebenarnya telah tersedia, namun yang menjadi pertanyaan besar, sejauh mana telah dapat diakses dan dimanfaatkan dengan baik.

Selaku mantan anggota DPR dan Ketua Dewan Penyantun PERSI, dr. Umar Wahid, Sp. P menjelaskan walaupun masih bersifat politis, namun DPR adalah pembuat produk hukum tertinggi kedua setelah UU. Kendala yang terjadi, tidak semua anggota memahami secara subtansi UU yang akan diterbitkan. Menurut Umar, lebih mudah menyusun UU daripada peraturan pemerintah (PP). Pentingnya sarana dan penyampaian aspirasi kembali dipertegas oleh Eka PutriAsih (DJSN) dan dalam diskusi, Prof. Alimin Maidin menyatakan bahwa kurang terlibatnya organisasi profesi bahkan masih terjadi sampai saat ini dalam lobby dan advokasi, sebagai contoh : di bidang pendidikan saja terkait tunjangan profesi yang tidak melibatkan asosiasi profesor, apalagi program JKN yang baru lahir 2014. Menurut Asih, lobby dan advokasi SJSN dan JKN telah berlangsung mulai dari awal perancangan UU SJSN tahun 2001. Organisasi profesi telah dilibatkan sejak perancangan UU SJSN dan peraturan pelaksanaannya. DJSN berfungsi sebagai perumus kebijakan dan pengawas SJSN adalah pihak yg tepat bagi penyampaian aspirasi publik. Saat ini DJSN belum kongkrit perannya karena adanya distorsi kebijakan Perpres. Asih menyampaikan bahwa DJSN sedang mempersiapkan revisi perpres DJSN dan UU SJSN.

Berkaitan dengan hubungan antar lembaga dalam SJSN, menurut pembahas ketiga bahwa DJSN memiliki posisi yang kuat tapi sejauh ini sepertinya standing position-nya belum terlihat. Alternatifnya mungkin jalur advokasi juga bisa secara langsung melibatkan BPJS Kesehatan dan Kemenkes secara bersamaan. Pentingnya tim lobby yang sistematis kembali ditekankan oleh Prof. Laksono dengan mempertimbangkan beberapa unit/komponen di dalam jaringan kerja advokasi. Pernah ada tim lobby terkait kebijakan rumah sakit daerah yang dapat menjadi lesson learnt dalam penyelenggaraan lobby dan advokasi di era JKN, tegas Umar.

Diskusi kemudian dibawakan oleh Kuntjoro Adi Purjanto (PERSI) terkait apakah kemampuan lobbying bisa dilatihkan atau lebih ke bakat. Menurut Prof. Laksono, sejauh ini implementasi lobby sudah ada namun belum terstruktur dan Shita menegaskan bahwa keterampilan dasar lobby dapat dilatihkan namun perlu terus diasah melalui praktek lobby dan advokasi, terutama pada unit kerja garis depan (front lines).

Sebagai perwakilan BPJS Kesehatan Divisi Regional XI, dr. Elke menyampaikan bahwa BPJS Kesehatan telah melakukan advokasi kepada stakeholder untuk keberlangsungan program JKN selama ini, khususnya terkait kendali mutu dan kendali biaya. Secara struktural tim lobby di BPJS Kesehatan belum ada, namun secara pelaksanaan telah dilakukan. Aspirasi dari organisasi profesi selalu dilibatkan dalam memperbaiki implementasi regulasi di daerah. Elke setuju jika ada tim khusus lobby dari tiap organisasi profesi, terlebih saat ini salah satu fokus utama dari BPJS Kesehatan adalah dukungan dari organisasi profesi.

Sebagai penutup, Prof. Laksono menjelaskan bahwa sikap dan strategi lobbying sangatlah penting. Rencana tindak lanjut berupa workshop untuk mempertajam kemampuan lobbying tim dengan berbagai keterampilan perlu menjadi agenda berikutnya bagi Asosiasi Fasilitas Kesehatan dan Perhimpunan Profesi.

Notulis : Budi Eko Siswoyo, SKM, MPH

<< kembali ke jadwal 

{jcomments on} 

Annual Scientific Meeting (ASM): “Pencegahan dan Pengendalian Resistensi Antimikroba “

  PENDAHULUAN

Penyakit infeksi oleh bakteri, virus, jamur dan parasit masih merupakan masalah utama di Indonesia. Profil kesehatan Indonesia tahun 2015 menunjukkan bahwa penyakit infeksi merupakan masalah kesehatan yang penting untuk segera diatasi, seperti: tuberkulosis, HIV/AIDS, malaria, kusta, diare, campak, difteri, pneumonia, kecacingan, dan demam berdarah dengue (Kemenkes RI, 2016).

Penatalaksanaan penyakit infeksi memerlukan antimikroba yang poten untuk mengeradikasi patogen di dalam tubuh pasien.Beban kesakitan penyakit infeksi yang tinggi diperberat lagi dengan munculnya patogen yang resisten terhadap antimikroba yang ada.Resistensi antimikroba sekarang merupakan masalah global karena luasnya masalah ini di seluruh dunia baik di negara maju maupun berkembang.Prediksi kematian yang berhubungan dengan resistensi antimikroba pada tahun 2050 adalah 4,7 juta per tahun di Asia, yang menduduki urutan pertama dan disusul oleh Afrika yang diperkirakan mencapai angka 4,15 juta pertahun (O’Neil, 2014). Oleh karenanya, antimicrobial resistance (AMR) telah menjadi perhatian WHO dengan dikeluarkannya Global Action Plan pada tahun 2015 yang menitikberatkan pada lima tujuan strategis. Sementara itu, tidak banyak obat antimikroba baru yang dapat dikembangkan pada saat itu.Adu cepat antara kejadian resistensi terhadap antimikroba dan penemuan obat antimikroba baru dikhawatirkan akan dimenangkan oleh kejadian resistensi antimikroba. Data surveilans yang dikumpulkan dari enam rumah sakit besar di Indonesia atas kerjasama antara PPRA, Balitbangkes, dan WHO pada tahun 2013 menunjukkan frekuensi E.coli dan K. pneumoniae yang memproduksi extended-spectrum beta-lactamases (ESBL) berturut turut berkisar antara 26%-57% dan 32% – 57% (Paraton, 2016). Pada tahun 2013, WHO memperkirakan di Indonesia terdapat 6.800 kasus baru multidrug resistant (MDR) TB. Diperkirakan MDR TB bertanggungjawab pada 2% dari kasus baru dan 12% tuberkulosis pengobatan berulang.

Penyebab terjadinya resistensi antibiotik secara global adalah multifaktorial dan kompleks, meliputi permasalahan pada prescriber (ketidakpastian diagnosis, kurangnya pengetahuan, insentif, dll), dispenser (penggunaan obat-obat standar, kurangnya aturan dispensing), pasien (tekanan terhadap dokter, pengobatan sendiri, akses antibiotik secara bebas) dan fasilitas pelayanan kesehatan (kurangnya pengendalian infeksi yang dapat memicu penyebaran organisme yang resisten terhadap antibiotik). Dengan demikian pencegahan dan pengendalian resistensi antimikroba semestinya melibatkan banyak pemangku kepentingan, yakni: (1) Pembuat kebijakan: Kementrian kesehatan, BP POM, Kementrian pertanian, Dinas kesehatan dan Direktur Rumah Sakit; (2) Tenaga kesehatan: dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, dan bidan; (3) Masyarakat luas: pasien, apotek, industri farmasi, dan pedagang besar farmasi, dan lain-lain.

Indonesia sudah memulai menyiapkan piranti berupa regulasi dan tata kelola antimikroba yang dipergunakan untuk mengendalikan resistensi antimikroba.Masih diperlukan peningkatan komitmen semua pihak untuk mengimplementasikan secara konsisten usaha pencegahan dan pengendalian resistensi antimikroba.Kerjasama yang baik diantara pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk menahan laju resistensi antimikroba di Indonesia. Lebih jauh diperlukan intervensi multimodal di tingkat nasional meliputi regulasi dispensing, edukasi kepada masyarakat, dispenser dan prescribers, pencegahan infeksi dengan mengoptimalkan imunisasi, perbaikan sanitasi dan kebersihan di tingkat masyarakat dan pelayanan kesehatan serta peningkatan surveilans penggunaan antibiotik rasional dan surveilans resistensi antibiotik.

Demikian pentingnya pemahaman masalah resistensi antimikroba di Indonesia maka pada penyelenggaraan Annual Scientific Meeting (ASM) yang kesepuluh tahun 2017 ini, panitia mengangkat tema “Pencegahan dan Pengendalian Resistensi Antimikroba”. Diharapkan masalah resistensi antimikroba ini dapat dipahami dengan satu kesadaran, bahwa masyarakat Indonesia harus bersama-sama secara sungguh-sungguh dan konsisten memerangi resistensi antimikroba untuk meningkatkan derajat kesahatan masyarakat secara menyeluruh.

  TUJUAN UMUM & KHUSUS

Tujuan Umum :

Tujuan umum dari ASM 2017 adalah meningkatkan pemahaman, kesadaran dan komitmen serta pembuatan rencana aksi untuk melaksanakan pencegahan dan pengendalian resistensi antimikroba oleh KAGAMA-Kedoktetan bersama para pembuat kebijakan, Institusi pendidikan, dan pihak lain yang terkait.

Tujuan Khusus :

  1. Memahami beban dan kompleksitas permasalahan penggunaan dan resistensi antimikroba.
  2. Mengidentifikasi strategi dalam penggunaan antimikroba yang sesuai.
  3. Mengidentifikasi pihak yang terkait penggunaan antimikroba mulai dari pembuat kebijakan hingga masyarakat pengguna dan bagaimana kerjasama diantara para pihak tersebut.
  4. Memahami kebijakan pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan RI dalam upaya penggunaan antimikroba yang sesuai.
  5. Memahami peran dan tugas Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit Pendidikan dalam menghasilkan tenaga kesehatan dan pembuat regulasi yang berkompeten dalam penggunaan antimikroba yang benar.
  6. Menyepakati rencana aksi pencegahan dan pengendalian AMR di lingkungan rumah sakit pendidikan dan komunitas.

BENTUK KEGIATAN

  1. Seminar Nasional pada Hari Sabtu, Tanggal 04 Maret 2017
  2. Acara Kelompok Kerja berupa Seminar dan Workshop yang diselenggarakan oleh Kelompok Kerja dalam FK UGM, RS UGM dan RSUP Dr.Sardjito pada Februari berakhir sampai bulan April 2017

TARGET PESERTA

Peserta ASM 2017 diharapkan dari:

  • Dosen, Mahasiswa S1, S2, S3 dan Alumni Fakultas Kedokteran UGM.
  • Pengelola Rumah Sakit dan Tenaga Kesehatan (Dokter Spesialis, Dokter Umum, Apoteker, Farmasi, Perawat, Bidan dll.)
  • Dinas Kesehatan
  • Tamu undangan dan masyarakat luas yang berminat.

Target peserta untuk acara puncak seminar Nasional diharapkan bisa mencapai ± 350-400 peserta, sedangkan target peserta untuk keseluruhan kegiatan ASM diharapkan bisa mencapai 2.500 peserta.

  TEMPAT KEGIATAN

Auditorium KF UGM

 

  SEKRETARIAT ASM 2017

KAGAMA Kedokteran
Joglo Grha Alumni Fakultas Kedokteran UGM, JL. Farmako Sekip Utara Yogyakarta.
Telepon : 0274-631206, 560300 ext. 406
Facsimile : 0274-631206
Email : komkagama_yog@yahoo.com 

Jadwal Acara Seminar Nasional ASM, 04 Maret 2017, Auditorium FK UGM

Jam Uraian Acara
07.00-07.45 Pendaftaran
07.45-08.15

MC  : Glory Hapsara Suryandari, S.Pd
Indonesia Raya & Teks : Dr. dr. Carla R. Machira, SpK(K) dan BEM

Pembukaan

  • Sambutan Ketua Umum ASM 2017 : Prof.Dr.dr. Elisabeth Siti Herini, SpA(K)
  • Sambutan Ketua KAGAMA Kedokteran : Dr. dr. Sugiri Syarief, MPA
  • Sambutan dan pembukaan oleh Dekan FK-UGM : Prof. dr. Ova Emilia, M.Med Ed, Sp.OG(K), Ph.D

Doa : Dr. dr. Probosuseno, SpPD-KGER

08.15-09.00

Keynote Speech

Moderator: Dr. Krishnajaya, MS (Ketua Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia-ADINKES / KAGAMA-Dok Angkatan 1973)

Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi
dr. Slamet, MHP

Kebijakan dan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pengendalian Resistensi Antimikroba

materi

09.00-09.30 Coffee Break

SESI 1
Moderator : Prof. dr. Hari Kusnanto Josep, SU, Dr.PH

09.30-09.50

Pembicara I

Budiono Santoso

“Common Challenges In Containing Antimicrobial Resistance”

materi

09.50-10.10

Pembicara  II

Dr. Tri Hesty Widyastoeti, Sp.M, MPH

“Implikasi Resistensi Antimikroba terhadap beban pemerintah dalam sumber daya biaya, sarana dan manusia untuk pelayanan kesehatan”

materi

10.10-10.30

Pembicara III

Ratna Irawati – Badan Pengawasan Obat dan Makanan

“Kebijakan Pengawasan peredaran antimikroba di Indonesia”

materi

10.30-10.50

Pembicara IV

Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc, PhD
“Antimicrobial update: where we are now?”

materi

10.50-11.20

Diskusi

SESI 2
Moderator: Dr. Tri Wibawa, PhD, SpMK

11.20-11.35

Pembicara I

K. Kuntaman – Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba

“Peran dan tugas Komite PPRA dalam pengendalian resistensi antibiotik di rumah sakit”

materi

11.35-11.50

Pembicara II

Ketua BPJS Kesehatan

Pengaturan Obat Antimikroba dalam Formularium Nasional untuk Pencegahan dan Pengendalian Resistensi Antimikroba

materi

11.50-12.05

Pembicara III

Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada

Peran farmasis dalam pencegahan dan pengedalian resistensi antimikroba

materi

12.05-12.20

Pembicara IV

Yayasan Orang Tua Peduli
Dr. Purnamawati, SpA(K)

“Perilaku dan perlindungan konsumen dalam penggunaan antimikroba di masyarakat

materi

12.20-12.45

Diskusi

12.45-13.30 ISHOMA

SESI 3 (Diskusi Panel)
Moderator : Dr. Budiono Santoso, SpFK, PhD

13.30-15.30

Topik :

Peran Pemangku Kepentingan Dalam Pencegahan, Pengendalian Resistensi Antimikroba Dan Upaya Tindak Lanjut

Panelis :

Asosiasi Dinas Kesehatan seluruh Indonesia : Dr. Yulianto Prabowo, MKes

materi

Tenaga Kesehatan Dokter : IDI (Dr.dr. FX. Wikan Indarto, SpA)

materi

Tenaga Kesehatan Perawat : Tri Prabowo, S.Kep, MKes (Ketua PPNI Cabang DIY)

materi

Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Yogyakarta : Yulianto, S.Farm, MPH, Apt

materi

Fakultas Kedokteran UGM : Prof. Dr. Ova Emilia, MMedEd, PhD, SpOG(K)

materi

15.30-16.00 Kesimpulan dan Penutup

 

 

Seminar: Ideologi dalam Kebijakan JKN

  PENGANTAR

Ketika sebuah negara mengembangkan sistem kesehatan untuk rakyatnya, selalu ada pertanyaan yang menarik untuk dijawab: adakah ideologi yang menjadi landasan nilai?. Ketika kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional dicanangkan dengan UU SJSN dan UU BPJS, pertanyaannya adalah apakah ada ideologi yang menjadi dasar penyusunan dan apakah konsekuen dijalankan dalam pelaksanaannya. Tanpa ada landasan nilai ideologi yang dipegang, sistem jaminan kesehatan yang berbasis asuransi kesehatan dapat berubah dari semangat dasarnya. Landasan ideologis ini juga menjadi dasar keputusan menjalankan kebijakan pembiayaan seperti yang terjadi saat ini, ketika Obamacare dihapuskan oleh Donald Trump.


  TUJUAN

  1. Membahas makna ideologi dalam jaminan kesehatan.
  2. Ideologi apa yang de jure dan de facto ada di UU SJSN dan UU BPJS?
  3. Bagaimana posisi ideologi dalam Monitoring dan Evaluasi Kebijakan JKN.


  PESERTA

Peserta kegiatan ini adalah:

  1. Anggota Community of Practice Pembiayaan Kesehatan dan JKN
  2. Mahasiswa S2 HPM FK UGM
  3. Alumnus S2 IKM
  4. Peneliti, Praktisi, dan Akademisi


  AGENDA

Diskusi ini diselenggarakan pada Rabu, 1 Februari 2017, pukul 08.30 – 10.30 WIB; bertempat di Gd. Ruang Kuliah S3 Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. 

Arsip rangkaian kegiatan Monev JKN 2017 dapat diakses selengkapnya pada website www.kebijakankesehatanindonesia.net  dan http://manajemen-pembiayaankesehatan.net 
Materi dan video dapat diklik dan diunduh melalui kedua web tersebut.

PEMATERI

  • Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

PEMBAHAS

  • Prof. Purwo Santoso (FISIPOL UGM)
  • Prof. Wihana Kirana Jaya (FEB UGM)


  SUSUNAN ACARA

Waktu Materi Pemateri/ Pembahas
08:30-08:40 Pembukaan Moderator
08:40-09:20 Idelogi dalam JKN

Prof. dr. Laksono Trisnantoro

materi   video

09:20-10:00 Pembahasan

Pembahas:

Prof. Wihana Kirana Jaya

materi

Prof. Purwo Santoso

materi   video

10:00-10:30 Diskusi Pemateri/ Pembahas
10:30 Penutup Moderator

 

  INFORMASI & PENDAFTARAN

Maria Lelyana (Lely)
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Telp/Fax. (0274) 549425 (hunting), 081329760006 (HP/WA)
Email: lelyana.pkmk@gmail.com
Website: http://manajemen-pembiayaankesehatan.net 

PKMK-Jogja. Berita defisit dari BPJS Kesehatan membawa kita kearah kekhawatiran terjadinya permasalahan dalam pengelolaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Kekhawatiran ini terjadi karena dana JKN cenderung dimanfaatkan oleh masyarakat yang mampu. Salah satunya diakibatkan klaim di rumah sakit yang tidak ada batasnya. Klaim yang tinggi dari peserta mandiri disinyalir menjadi penyebab tingginya klaim di rumah sakit. Kemungkinan kedua, masyarakat tidak mampu cenderung sulit dalam mengakses pemberi pelayanan kesehatan. Prof. dr Laksono Trisnantoro, M. Sc, PhD, dosen dan peneliti PKMK FK UGM menyatakan bahwa kali ini tim peneliti UGM mengusung tema pemerataan dan akses dalam monitoring program JKN.

Seminar yang diselenggarakan hari Rabu, 1 Februari 2017, menghadirkan tiga ahli keilmuan yang berbeda untuk melihat bagaimana pelaksanaan JKN sejak tahun 2014. Prof. dr Laksono Trisnantoro, M. Sc, PhD dari Fakultas Kedokteran, Prof. Wihana Karya Jaya dari Fakultas Ekonomi dan Prof. Purwo Santoso dari Fakultas Fisipol. Kegiatan ini merupakan rangkaian Monitoring dan Evaluasi JKN tahun 2017 yang menjadi bagian program rutin Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan. Prof. Laksono menyatakan bahwa Monitoring dan Evaluasi penting dilakukan untuk mengkritisi pelaksanaan JKN, salah satunya dilihat dari ideologi yang mendasari kebijakan JKN. Kebijakan JKN tidak hanya dibiayai dari pengumpulan premi atau iuran peserta, namun masih ada kemungkinan solusi lain untuk membiayai kebijakan JKN, yaitu dengan menaikkan pajak penghasilan secara progresif. Namun, kebijakan pengenaan pajak yang tinggi ini berlaku bagi orang yang kaya karena yang paling diuntungkan dalam pelayanan JKN sementara ini yaitu orang kaya yang cenderung lebih banyak mengakses fasilitas kesehatan.

Dari sisi Ekonom, Prof. Wihana Karya Jaya menyatakan ideologi adalah keyakinan yang dianut bersama berdasarkan konvensi atau kesepakatan bersama. Ideologi juga yang menjadi modal sosial yang mempengaruhi keputusan. Ideologi juga mendorong etos kerja warga agar mampu menampilkan performance terbaiknya. Jika performance sudah baik, maka akan tercipta governance atau tata kelola yang baik.

Sementara menurut ahli ilmu politik, Prof. Purwo Santoso menyatakan siap yang bertanggung jawab untuk menjangkau masyarakat didaerah terpencil. Ini memunculkan masalah kelembagaan. Terjadi gap antara ideologi dan praktek atau implementasi di masyarakat. Maka, perlu dilihat lagi apakah akses jalan, infrastruktur dan hal terkait menjadi tanggung jawab di Kementrian Kesehatan? Dan seberapa jauh tanggung jawab dari BPJS Kesehatan? Ini merupakan salah satu contoh implementasi undang-undang atau peraturan yang kurang baik di Indonesia. Fakta ini terjadi seiring pemahaman mengenai ideologi dan UU SJSN yang belum sama.

Faktanya jika infrastruktur baik, maka pelayanan menjadi lebih efisien. Prof. Purwo juga setuju dengan pernyataan Prof. Laksono bahwa yang paling berhak dan prioritas menerima pelayanan JKN justru masih tidak terjangkau oleh tata kelola atau kebijakan yang ada. “Maka, apakah dislokasi ini patut disebut berkah atau petaka?”, tambah Prof. Purwo. Disusul dengan anekdot, orang miskin menyubsidi orang kaya, ini kedermawanan dan eksploitasi?.

Dr. drg. Julita Hendrartini menyatakan ada indikasi tidak sinkronnya UU SJSN yang contributory welfare state dan UUD 1945 yang mengusung ideologi welfare state. Apakah perlu kita melihat kembali pemaham ini? Prof. Laksono menutup seminar bahwa kita belum mampu menerjemahkan contributory welfare state yang termuat dalam UU SJSN hingga tahun ke-3 ini.

Hasil diskusi: Monitoring dan Evaluasi Kebijakan JKN di tahun 2017, Apakah diperlukan?

Jakarta, 11 Januari 2017

Ringkasan

  1. Tahun 2017 perlu melakukan kegiatan penelitian dan pengamatan untuk menjadi bahan bukti bagi monitoring dan evaluasi kebijakan JKN. Kondisi pelaksanaan JKN saat ini, dari perspektif pemerataan, mempunyai potensi untuk menyimpang dari UUD 1945. Dari aspek pembiayaan, kondisi sekarang mengakibatkan kesulitan berkembang untuk lembaga pemberi pelayanan kesehatan dan profesi kesehatan, yang mempunyai risiko penurunan mutu pelayanan.
  2. Prinsip Pemerataan dan Keadilan Sosial diperlukan sebagai dasar indikator keberhasilan ataupun kekurangan Kebijakan JKN. Perspektif yang ditekankan adalah dengan mengacu pada UUD 1945, khususnya dalam hal pemerataan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
  3. Proses kebijakan berikutnya dari Monitoring dan Evaluasi JKN dapat berada di 2 level. Jalur level 1 adalah perubahan UU melalui proses Yudisial Review, atau Legislatif Review dengan memasukkan pada prolegnas. Pendekatan Legislative Review membutuhkan waktu dan usaha yang panjang, namun lebih memberi suasana dialogis. Level ke dua adalah monitoring dan evaluasi yang berdampak pada perubahan jangka pendek di Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan berbagai peraturan lainnya sebagai turunan UU SJSN dan BPJS. Pilihan jalur ditentukan oleh stakeholders.
  4. Langkah yang akan ditempuh adalah melakukan penelitian monitoring dan evaluasi Kebijakan JKN dengan berbagai universitas dan stakeholders. Monitoring JKN yang sudah dilakukan sejak tahun 2014 oleh UGM akan menjadi bahan dasar. Diskusi terkait monitoring dan evaluasi kebijakan akan dilakukan dalam berbagai topik di sepanjang tahun 2017. Data untuk monitoring dan evaluasi kebijakan diharapkan berasal dari Litbang Dewan Pengawas BPJS dan BPJS serta data dari Kementerian Kesehatan.
  5. Hasil kegiatan akan dibahas pada Pertemuan Tahunan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia yang direncanakan berlangsung pada bulan Oktober 2017. Diharapkan hasil kegiatan monitoring dan evaluasi dapat dipergunakan oleh semua stakeholders yang berkepentingan untuk perbaikan kebijakan JKN.
  6. Semua kegiatan akan dilakukan di web www.kebijakankesehatanindonesia.net  dan www.manajemen-pembiayaankesehatan.net  Materi diskusi pertemuan pertama, beserta video (pada saatnya) dapat diklik di kedua web tersebut. Stakeholders yang berminat dapat mendaftarkan diri untuk selalu mendapat informasi dalam proses Monitoring dan Evaluasi Kebijakan JKN ini.
13.10.13.30

Monitoring dan Evaluasi dalam Proses Kebijakan

  • Teori Monitoring dan Evaluasi Kebijakan
  • Review Undang-Undang: Executive Review (oleh pemerintah), Yudikatif Review (Oleh DPR). Proses Review UU di Indonesia: Apakah harus melalui Prolegnas?
  • Evaluasi Kebijakan dan Stakeholders analysis: Pemerintah; Kelompok dalam Masyarakat; Providers; Asosiasi Profesi, BPJS; Media.

Shita Listyadewi, MM., MPP., PhD

materi

13.30-13.50

Evaluasi kebijakan JKN

  • Mengapa JKN perlu dimonitor dan dievaluasi oleh pihak independen.Siapa yang disebut pihak independen?
  • Perspektif Monitoring dan Evaluasi: Apakah isu pemerataan dan mutu menjadi fokus monitoring dan evaluasi? Apa indikatornya?
  • Apakah ideologi menjadi kunci penting dalam evaluasi?

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

materi

Materi 6 Februari

 

Video presentasi   diskusi

13.50-14.45 Diskusi Pemateri/ Pembahas

<< kembali ke jadwal