Reportase diskusi bulanan – Februari

Diskusi Bulanan Februari 2014: Tujuan dan Cara

Diskusi kali ini disampaikan oleh dr. Mubasysyr Hasanbasri, MA dan dimoderatori oleh Rossi Sanusi. Diskusi dilakukan pada Kamis (20/2/2014), pukul 14.00-15.30 WIB di Ruang S3 FK UGM. Judul yang disampaikan ialah Knowledge Management, Tujuan dan Cara. Kegagalan sistematik yang sering terjadi. Kegagalan bisa sangat sering terjadi, karena pola pikir yang berbeda antara negara maju dan negara berkembang.

Teori -> praktek.

Knowledge Management (KM) lebih kepada bagaimana membuat praktek menjadi teori. Praktek di lapangan yang kemudian diuji menjadi teori. Praktek yang dilakukan harus dibangun menjadi sebuah teori, dan konteksnya berbeda. Hal ini yang disebut dengan knowledge building/knowledge management, pengalaman lapangan diubah menjadi pengetahuan. Pengetahuan itu apa yang bisa kita pelajari dari pengalaman itu. Apa yang salah dengan sistem? Sehingga sulit untuk melakukan knowledge management?

Kegagalan KM dipicu antara lain oleh:

  1. Mengambil pelajaran/pengalaman, bekerja tidak sesuai bidangnya
  2. Seharusnya bisa mengajarkan ke orang lain. Jadi, bisa memperbaiki yang salah tadi.
  3. Jika bisa dengan publikasi, maka akan tersebar lebih luas.

Tujuan KM, membangun tugas organisasi, berbagi melalui publikasi. KM: bagaimana mengemas yang sudah kita miliki untuk publikasi. Bentuk KM diantaranya support system-simposium, seminar dan lain-lain. Sementara, aspek yang kurang mendukung dalam KM bahasa, waktu, mentor, orang yang salah di tempat yang salah, dan dari dunia yang tidak berkebudayaan (misalnya: plagiarisme).

Mubasysyr menyampaikan, mengapa tidak mau berbagi? Karena tidak memiliki sumber daya lain. Di dunia akademis Indonesia, ketrampilan belajar tidak memuat: personal reflecting-tidak ada mekanisme refleksi dan jika tidak di-monitoring, mahasiswa cenderung menulis yang salah. Dalam paper yang menjadi contoh, ada istilah mapping yaitu kerangka konsep yang akan dikembangkan dan perlu kerangka berpikir untuk membangun comittee of practices (COP).

Penanya:

Bagaimana membudayakan hasil di lapangan menjadi teori? Publikasi hasil penelitian-misalnya jurnal internasional. Hasil itu bisa ditulis sederhana untuk dipublikasikan di media. Mubasysyr menanggapi dengan melontarkan orang yang memiliki kompeten dan bekerja di bidang yang sesuai untuk membudayakan penulisan hasil penelitian. Rossi Sanusi menyampaikan yang membuat teori harus yang ahli dan paham kenyataan di luar, di PT tidak dilatih mengkaji teori.

Umumnya, teori dinamai penggagas/fenomena yang diteliti. Mubasysyr menanggapi COP merupakan komunitas yang mendalami suatu hal sesuai arahan pembimbingnya. Level S1 harusnya menguji kerangka teori dengan hipotesis yang besar, COP yang harus dibangun. Terkait kesalahan pengelolaan sampah, apakah terkait KM?

Mubasysyr menyampaikan peneliti harus mendokumentasikan apa yang salah dalam suatu praktek di lapangan? Pengetahuan yang dikelola harus didokumentasikan. Rossi Sanusi menambahkan apa yang salah jika belajar tidak linier?. Mubasysyr menyampaikan sebenarnya yang dikejar ialah kedalaman ilmunya bukan luasnya. Susilowati mempertanyakan banyak masalah di kesehatan yang bisa diselesaikan secara transdisiplin. Kenapa kita tidak bisa belajar? Kita tidak punya database expertise, orang yang salah di posisi yang salah. Mungkin problemnya: kita tidak mau belajar.

Mubasysyr menyampaikan merampas hak orang lain, unethical untuk plagiarisme. Problem solving: dalam keilmuan, generalist sudah tidak ada lagi. Banyak teori yang diadopsi dari luar, sehingga ahli kesehatan tidak menciptakan sendiri. Apa yang diadopsi, bertentangan dengan ideologi bangsa. Knowledge itu teori yang duji orang sebelumnya. COP bisa diartikan menjadi masyarakat seminar- klaster. Posmo- yang benar kita, bukan barat.

Mubasysyr menambahkan ideologi merupakan kepentingan yang dicita-citakan bangsa ini. China mmampu membuat fokus perhatian daripada yang digunakan luar negri, approve bottom up. Learning by doing, dan dikembangkan sebuah usable knowledge (UK). UK ini digunakan untuk mengembangkan SDM. Jika kita bisa mengembangkan pajak, teknologi tumbuh secara kompetitif. Sejauh mana kita lebih unggul dari yang seharusnya, Mubasysyr menambahkan. COP seharusnya orang yang khusus bidangnya. Misal apakah butuh RS khusus?

Kita harus mengidentifikasi orang khusus yang tergabung dalam COP. Harus ada manager of knowledge. Sistem pendidikan berpengaruh pada sistem KM. KM bagus saat teori yang digunakan dapat diaplikasikan di lapangan. School of management, asal bisa membaca banyak itu sudah cukup. Putu mempertanyakan, policy maker dan decision maker jarang membaca jurnal, ada bahasa ilmiah yang dianggap teori dan tidak bisa diaplikasikan. Mubasysyr menyampaikan jurnal untuk publikasi sudah dibatasi agar tidak terlalu melebar. Peneliti boleh meneliti atas request policy maker, dengan independensi tinggi.

Reportase Diskusi Series HIT Ketiga Reformasi Pengorganisasian RS

23aprfoto

23aprfoto

HIT merupakan penelitian overview system kesehatan negara dan menjadi benchmarking antar negara. Penelitian jenis ini telah dilakukan Fiji, Filipina, dan negara lain. UGM dalam hal ini menginisiasi penelitian dan seminar untuk menulis reformasi kebijakan dan reformasi kesehatan Indonesia. Series HIT sudah memasuki minggu ketiga dan kali ini mengangkat ‘Reformasi Pengorganisasian RS’. Sesi pertama yaitu Pemaparan Hasil Penelitian PKMK oleh Prof. Laksono Trisnantoro yang membahas Otonomi RSD di Indonesia. Dalam BLUD tidak ada pemisahan aset, tidak ada pembagian SHU, non profit, serta RS harus menyusun rencana bisnis anggaran. BLUD merupakan korporatisasi, serta mempunyai misi sosial. Setelah menyimak bentuk BLUD seperti hal tersebut, maka Dinkes harus melakukan banyak pengawasan baik RSD dan RS swasta. Rekomendasi dari Prof. Laksono ialah renumerasi Dinkes yang lebih baik dan peningkatan kapasitas Dinkes yang maksimal. Lalu, perlu pengawasan dirjen BUK sebagai pembinaan dan regulasi. Serta, harus banyak yang diawasi dengan ketat, termasuk pelayanan standar. Kemudian, perlu diadakan pelatihan Kadinkes terkait pengawasan RS.

Evaluasi Pelaksanaan BLUD: Studi Kasus di Lima RSUD oleh Putu Eka Andayani, M. Kes. Institusi yang menerapkan BLUD merupakan bagian dari Pemda, produktivitas dan akuntabilitas jelas. Kemudian, institusi itu harus menyusun rencana bisnis: target keuangan dan non keuangan, lalu apa yang akan dikembangakan. Menurut penelitian yang dilakukan tim dari PKMK di tiga RSD DIY, satu RSD di Magelang dan satu RSD di Aceh, hasilnya bisa membiayai investasi dari pendapatan BLUD.

Kesimpulan penelitian tersebut, yaitu mengubah governance, SDM yaitu segi perekrutan dan renumerasi, pengadaan, akuntabilitas terkait mutu layanan. BLUD perubahan mindset yaitu RS sebagai lembaga usaha yang efektif, responsif dalam menghadapi perubahan. Tantangan yang masih dihadapi, isu kesehatan menjadi alat politik serta RS memerlukan dukungan pemerintah/subsidi. Saran yang diberikan peneliti ialah Direktur RS harus memiliki komunikasi politik, Direktur RS perlu memonitor kinerja RS dalam berbagai perspektif. Lalu, sistem manajemen operasional perlu dikembangkan.

Prof. Laksono menambahkan reformasi birokrasi pemerintah sudah berjalan lama, maka harus ada mutu pelayanan yang diperbaiki. Namun, hal ini masih mendapat tantangan yaitu tidak ada badan yang berfungsi sebagai pengaewas (dulu Kanwil/Kandep). Bagaimana regulasi RS sebagai pelayan utama untuk masyarakat? Bagaimana peran Dinkes sebagai regulator/pengawas? Ada peran rangkap Dinkes regulator dan operator?

Pembahasan

Pembahasan sesi 1 disampaikan pengurus Arsada Pusat, yaitu dr. Slamet Riyadi Yuwono yang memaparkan ‘Peran ARSADA dalam mengawal Proses Otonomi RSD dalam era JKN’. Dinkes berperan dalam regulasi dan perijinan atau sebagai regulator (makro). RS sebagai badan dan BLUD (mikro) harus memperkuat kemampuan sebagai operator. Pengalaman menarik dari Australia yaitu rasio perawat dan pasien diusahakan tetap sama, jika perawat cuti, maka RS akan meng-hire orang yaitu melalui nurse bank. Ada kualifikasi standar tertentu yang menjadi core business RS, analoginya orangnya bisa ganti namun standar mutu pelayanannya sama.

Diskusi. dr. Heru (ARSADA) menyampaikan bahwa kemampuan Dinkes harus diperkuat. dr. Kuntjoro (ARSADA) menyatakan pelayanan kesehatan harus baik, bermutu, berkesinambungan. Kadinkes harus merupakan strong leader yang berpengaruh dan mau melakukan transformasi budaya, mampu memberi reward dan konsekuensi. Prof. Laksono menegaskan Dinkes melindungi kesehatan masyarakat. BLUD bisa dijaga melalui budaya organisasi yang dipegang Dirut RS ungkap Putu Eka (PKMK). Jabatan fungsional Dinkes tidak menarik menurut dr. Kuntjoro. dr. Slamet Riyadi (ARSADA) menyatakan harapannya, kemampuan advokasi Dirut RS mampu mengubah mindset pejabat RS, uang merupakan bagian dari unsur percepatan pelayanan. Nurul dari RSD Sragen menyatakan sebaiknya ada garis merah antara Pusat, Daerah dan RS. Kemudian, RSD dan RS swasta dilindungi Kadinkes. dr. Kuntjoro, menyatakan ini bagian dari sistem politik yang dipilih negara ini, akibatnya peraturan Kemkes banyak yang tidak bisa diaplikasikan daerah.

Sesi Kedua yaitu membahas Fungsi Regulasi dan Pengawasan. Paper pertama yaitu Apakah RS surplus di Era BPJS? yang disampaikan oleh Dr. dr. Anastasia Susty Ambarriani. SE, AK.

Muncul indikasi RS Pemerintah biasa memberi pelayanan premium, lalu pelayanannya menurun usai BPJS. Sementara indikasi lain yang muncul ialah surplus, RS bisa disebut surplus jika klaim bisa menutup semua biaya (full cost), klaim menutup biaya langsung, tarif yang sekarang lebih tinggi dari yang sebelumnya, terjadi rekayasa dan fraud. Sementara, tujuan BPJS Kesehatan yaitu pelayanan kesehatan yang efektif, efisien masuk akal dengan kendali mutu.

Materi ini dibahas oleh dr. Arida Oetami, Kadinkes DIY, RS memiliki 25% fungsi sosial dari keseluruhan pelayanannya. Sementraa, Dinkes berfungsi merangkul seluruh pihak yang terkait (masyarakat-RS dan BPJS). Dr. Arida menyatakan sosialisasi JKN tidak bagus, maka terjadi banyak keributan. Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) penting segera dibentuk untuk melakukan pengawasan. Badan ini yang akan akan menjadi jembatan antara RS-masyarakat dan penjaminan.

Diskusi. Robert dari NTT menyatakan, Puskesmas di perbatasan belum siap melaksanakan BLUD karena minus SDM dan minus pengetahuan pengelolaan keuangan. dr. Arida berbagi pengalaman bahwa sosilaisasi BLUD harus terus digalakkan, namun kemungkin besar berhasil tinggi jika adbokasi dilakukan secara lunak. Dr. Susty menambahkan, ada banyak kekhawatiran JKN hanya akan dinikmati atau dapat diakses masyarakat kota atau dekat dengan pemerintahan.

Perwakilan dari Balitbangkes: penelitian kami lakukan untuk memperoleh bukti dan bukti untuk menyusun kebijakan. Dinkes bukan hanya regulator namun juga sebagai sosialisasi peraturan/program baru untuk masyarakat. Transformasi: RS bisa memberi pelayanan rujukan yang berkualitas. Hal ini dapat berjalan jjika didukung kebijakan pusat dan lokal. Sayangnya, melalui otonomi daerah, kesehatan menjadi komoditas politik. Penelitian pasca pelaksanaan BPJS memperoleh hasil, diantaranya: sosialisasinya belum baik, terjadi benturan kebijakan antara Pemda dan pusat terkait insentif nakes di lapangan. Kemudian, jumlah pasien langsung RS melonjak. Disusul pemeriksaan diagnostik meningkat. Muncul keluhan terhadap jasa yang akan diterima, meski belum diterima. Komplain pasien terkait prosedur verifikasi di RS. Komplain pasien terhadap obat yang harus diambil. Kesimpulan paparan Balitbangkes ialah transformasi jamkes dan pengelolaan RS di era otonomi daerah belum memberikan solusi maksimal untuk penurunan AKI dan AKB. Peraturannya perlu dikaji, kemudian pelaksanaan dan penegakkannya sudah sesuai belum? Rekomendasi untuk layanan kesehatan ialah peningkatan hardware dan software, Dinkes lebih berperan dalam komunikasi layanan masyarakat antar RS, sosialisasi JKN harus dilakukan secara meluas, kontrol teknis pelayanan RS harus digalakkan.

Ada beberapa poin yang dapat ditarik menjadi kesimpulan, pertama, fungsi regulator dilakukan Kemkes dan Dinkes, RS sebagai operator. Kedua, RS merupakan lembaga yang birokratis dan melaksanakan BLUD. Ketiga, BLUD mampu meningkatkan kemampuan RS di bidang keuangan, pelayanan dan manfaat untuk masyarakat. Maka yang menjadi pertanyaan apa perlu RS dikembalikan menjadi UPT Dinas? Keempat, Dinkes sebagai regulator dan pengawas. Kelima, JKN harus segera didampingi dengan pengawasan dan dievaluasi. Seluruh hal ini harus dilakukan karena desentralisasi bertujuan untuk pemerataan kesehatan di Indonesia.

Reportase Pertemuan Kedua Seminar Series Hit “Reformasi Kebijakan Pembiayaan Kesehatan”

17apr-a

17apr-a

Seminar Series Hit ‘Reformasi Kebijakan Pembiayaan Kesehatan’ telah digelar di hotel Santika, Jakarta pada Kamis (17/4/2014). Pembukaan diberikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD yang menyampaikan bahwa perlu ada identifikasi permasalahan dari penerapan sistem desentralisasi kesehatan. Prof. Laksono berharap pertemuan ini dapat merumuskan suatu rekomendasi sehubungan dengan kebijakan publik mengingat akan ada pergantian pemerintahan dalam waktu dekat. Implikasi dari perlunya rekomendasi ini adalah pengadaan seminar tentang sistem desentralisasi terkait dengan pembiayaan kesehatan, SDM, otonomi rumah sakit, pendidikan tenaga kesehatan, dan terakhir adalah skenario masa depan untuk sistem kesehatan. Langkah utama dalam reformasi kebijakan kesehatan adalah menyelesaikan usulan ini melalui diskusi Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia untuk menyatukan visi dan misi dan menuangkan dalam sebuah usulan tertulis sebelum pelantikan anggota DPR pada Agustus nanti sehingga bisa mengusulkan reformasi kebijakan kesehatan untuk masa pemerintahan yang akan datang.

JKN yang menetapkan sistem klaim INA-CBG pada RS memiliki kekurangan karena dengan penerapan sistem klaim maka sistem alokasi penganggaran hanya berdasarkan kelengkapan pelayanan dan tenaga medis RS tersebut. Selain itu, pembiayaan kesehatan yang mengandalkan dana dari luar seperti dari Global Fund, juga tidak semudah membalik tangan karena adanya syarat tertentu sebelum dana dikeluarkan. Pemda juga hanya mengalokasikan sedikit biaya untuk asuransi kesehatan masyrakatnya. Bagaiamana aspek pemerataan model alokasi anggaran? Bagaimana alokasi anggaran untuk preventif dan promotif? Bagaimana dengan peran BPJS? Berikut ini tiga teori dasar pembiayaan untuk memaparkan hal tersebut,

  1. Revenue colletion, merupakan proses menggali dana secara berkelanjutan. Siapa sajakah yang bisa menjadi sumber pendanaan?
  2. Pooling, akan disimpan dan diatur dimana dana yg dikumpulkan tersebut?
  3. Purchasing payment, dari dana yang dikumpulkan akan dibayarkan kepada siapa saja?

Dengan sistem JKN, diharapkan masyarakat yang kaya membantu masyarakat miskin, namun demikian tenyata JKN memiliki risk pool yang buruk karena pembayaran premi untuk golongan kaya yang rendah per bulannya namun sudah dijamin dengan fasilitas yang maksimal tanpa ada batasan waktu jaminan itu berlaku.

Materi dilanjutkan oleh Bapak Yani Haryanto, Subdit Harmonisasi Peraturan dan Penganggaran Kementrian Keuangan yang menyampaikan bahwa dalam sistem JKN sebenarnya PBI menggantikan fungsi Jamkesmas sehingga alokasi untuk warga miskin yang membutuhkan adalah tetap dari Kemenkes. Namun, meski total dana untuk pembiayaan kesehatan meningkat, keleluasan untuk mengelola dana tersebut menjadi terbatas.

Wahyu Nugrahaini dari Litbangkes menyampaikan bahwa prinsip dasar JKN adalah sistem gotong royong. Apakah JKN memiliki risk pool buruk? Ada perubahan besar dalam sistem kesehatan Indonesia yang beralih menjadi menganut sistem asuransi. Masa transisi ini memerlukan waktu, Adanya BOK dari APBN juga menjadikan penurunan anggaran kesehatan dan bukannya ditafsirkan sebagai dana pelengkap. Tahun ini juga ada dana bantuan desa yang berarti harus ada integrasi antara dana ini dengan dana Bok dan dana lainnya untuk implementasi di daerah tersebut

dr. Andi Afdal sebagai perwakilan Group MPKP BPJS Kesehatan, menyampaikan yang berbeda dariJjamkesmas dengan penerapan INA-CBG JKN adalah berkurangnya kesenjangan pembiayaan dokter spesialis antar tingkat RS sehingga tidak banyak dokter yang akan berkumpul di RS tipe yang lebih tinggi. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD, menambahkan sebaiknya pool untuk yang kaya disendirikan dan tidak digabung dengan yang miskin untuk menjamin tidak terjadi adverse selection.

Dwijo Susilo dari UMJ mempertanyakan bagaimana menjamin kelanjutan para peserta untuk tetap membayar iuran meskipun sudah tidak sakit lagi. Lalu, BOK yang diberikan sebagian tidak melibatkan UKP, menurutnya akan lebih baik jika ada alokasi dana dari BPJS khusus untuk promotif dan preventif misal untuk screening hipertensi, thalasemi, dan Diabetes Melitus sehingga dapat mengurangi pengeluaran dana akibat komplikasi penyakit-penyakit tersebut.

Putu Eka Andayani, M.Kes dari PKMK UGM menyatakan bahwa yang menjadi masalah dari kurangnya dana APBD untuk kesehatan adalah pemekaran daerah karena menarik alokasi dana baru padahal bisa dialokasikan untuk pembanguan kesehatan. Sementara menurut Nyoman dari FK UNAIR, sifat JKN adalah sosial, sehingga diperlukan upaya agar dana yang berhasil dikumpulkan oleh BPJS tidak over utilisasi dengan cara penguatan sistem data informasi untuk mengevaluasi penggunaan biaya BPJS sehinga dapat mencegah kolapsnya BPJS.

Prof. Dr. dr. H. Alimin Maidin, MPH, Dekan IKM Unhas mempertanyakan mana yang benar, apakah 0,02 % atau 8,5% alokasi dana untuk promotif dan preventif. Meskipun demikian, tetap saja porsi ini terlalu sedikit karena diperlukan setidanya 20% dari alokasi untu upaya promotif dan preventif yang spesifik pada setiap penyakit. Transparansi harus dibuka sehingga setiap pemimpin dapat mengoreksi kesalahan atau kekurangani untuk pemerintahan mendatang.

Sebagai penutup, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD, menyampaikan tentang bagaimana strategi yang bisa dilakukan untuk memperjuangkan anggaran kesehatan yang lebih mementingkan upaya promotif dan preventif. Ada tiga langkah , yaitu

  1. Identifikasi sasaran peningkatan anggaran dana
    1. Kemenkes, Mungkin diperlukan pengkodean untuk anggaran khusus untuk promotif dan preventif. Usaha promotif dan preventif tidak hanya diberatkan pada unit promkes saja dan dilakukan dalam pelayanan kesehatan per individu.
    2. Lintas kementrian: seperti BKKBN, PU (Sanitasi, TB)
    3. Pemda : dinkes dan dinas-dinas lain, Diperlukan advokasi yang fasilitasi oleh universitas masing-masing.
    4. BPJS-Jamkesda, Diperlukan penguatan pelayanan primer, screening penyakit dan upaya preventif sekunder.
    5. Donor : Global Fund, Bill-Melinda Gates, CSR
    6. Masyarakat dan CSO
  2. Pengusahaan anggaran untuk program preventif dan promotif
    1. Dilakukan oleh orang ahli yang berpengaruh
    2. Menggunakan berbagai pendekatan
  3. Monev. Bagaimana evaluasi keberhasilan dari peningkatan anggaran ?

Perlu dikembangkan kemitraan antar kementerian dan juga dengan NGO dalam upaya promotif dan preventif. Perlu ada infiltrasi ahli promkes di setiap struktur pemerintahan Indonesia dari level desa hingga level di atasnya agar bisa menggunakan anggaran yang diterima dengan efesien dan efektif dalam merancang program untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.

 

Reportase Pertemuan Pertama Seminar Series Hit

11apr-a

Pertemuan pertama Series Hit telah dilaksanakan pada Jum’at (11/4/2014), yang menghadirkan pembicara dari PKMK yaitu Prof. Laksono Trisnantoro dan Dr. dr. Dwi Handono Sulistyo. Pembahas yang memberikan tanggapan atas paparan pembicara ialah Dr. dr. Soewarta Kosen, M. Kes, PH (Balitbang Kemenkes) dan Hartiah Haroen S. Kp, M. Kes, M. Eng (Ahli dari WHO Indonesia). Pertemuan kali ini berfokus pada Reformasi dalam Kebijakan Desentralisasi.

11apr-aPaparan awal disampaikan Prof. Laksono Trisnantoro dengan judul “Desentralisasi Kesehatan, Nilai Positif dan Negatif dari Perkembangan hingga Tahun 2014 serta Titik Perubahan yang Dibutuhkan”. Pasca desentralisasi dilakukan pada tahun 2000, hal yang perlu dicermati ialah kemampuan teknis SDM kesehatan di lapangan. Apakah jumlah, kemampuan dan persebarannya sudah tepat? Kemudian terkait anggaran, saat ini, anggaran kesehatan yang ada di Kemenkes masih 2,2 atau 2,1% sementara harapannya yaitu 5% dari APBN. Seharusnya kesehatan tetap menjadi desentralisasi atau ada fungsi pusat dan provinsi yang kuat, tutup Prof. Laksono.

11apr-bDr. Soewarta Kosen dari Litbangkes Kemkes menyampaikan seharusnya program desentralisasi dilakukan sesuai kebutuhan dan aspirasi, agar terjadi pemerataan (saat desentralisasi masih bermasalah). Desentralisasi menuntut adanya peningkatan komitmen Pemda, maka diharapkan juga kinerja sektor kesehatan meningkat. Setelah memasuki era BPJS, maka banyak dilakukan program kuratif. Anggaran kesehatan malah naik dibanding saat sentralisasi. Kelemahan yang ditemukan ialah tidak adanya laporan dari propinsi ke pusat. Pemerintah kabupaten/kota tidak merasa ada di bawah kepemimpinan pusat. Hal ini terjadi karena Dinkes melapor ke Bupati. Sehingga dapat dikatakan. Dinkes tidak memiliki track komunikasi yang baik untuk advokasi.

11apr-cAhli dari WHO yaitu Hartiah Haroen S. Kp, M. Kes, M. Eng menyampaikan tanggapannya, ketika era otonomi atau desentralisasi kesehatan (deskes) hal yang harus mendapat perhatian ialah pemerataan tenaga kesehatan (nakes) di daerah. Untuk meningkatkan kualitas SDM, maka hal yang ditingkatkan ialah kurikulum yang mendukung dengan pengembangaan nakes. Namun masih ada kelemahannya yaitu pemerataan nakes tidak diikuti persiapan yang matang atau kurang perencanaandi bidang nakes. Terkait human resources, masih tersentralisasi. Deskes tidak terkendali, karena terikat dinamika pasar. Bagaimana daerah dapat mengoptimalkan BOK dan sistem kapitasi dengan pelayanan dasar yang lebih kuat? Maka dibutuhkan kerjasama lintas sektor daerah.

Dr. Dwi Handono dari PKMK melengkapi bahasan ini dengan pernyataan Dinkes kurang nakes, maka terjadi mutasi dari Puskesmas ke Dinas. Akhirnya yang terjadi tidak ada UPT, jika RS bukan Dinas, lalu ia sebagai apa? Selama ini yang terjadi Dinkes menjadi kontraktor, Puskesmas belum menjadi BLUD.

DISKUSI

Pada sesi diskusi terdapat tiga peserta yang menyatakan pendapatnya. Pertama, Heru Aryadi dari Arsada. Heru menyampaikan dalam Deskes, SDM harus dievaluasi, RS dan Dinkes diatur. Hal yang terjadi litbang setiap dinas selama ini tidak independen. Lalu, pendapatan BLUD harusnya tidak masuk dalam kas daerah.

Kedua, peserta dari Antropologi UGM menyatakan banyak kasus yang ditemui yaitu nakes tidak mau ditempatkan di desa. Maka, perlu dilakukan pemetaan nakes melalui kebutuhan dan kaitannya dengan SDM dan SDA. Maka, harus ada UU yang mengatur produk kesehatan.

Ketiga, Dewi dari PKMK menyatakan kita sulit mengirim nakes ke daerah, namun sekarang yang spesialis disana rata-rata berbondong-bondong kembali ke Jawa. Desentralisas -ijin dari Pemda, maka dengan mudah mereka masuk. Daerah asal tidak bisa mengikat, mungkin karena kerjasama sudah selesai. Lalu yag terjadi ialah tidak ada spesialis. Jika insentif diperbesar, namun transportasi dan pendidikan tidak diperbaiki, lalu bagaimana?

Pertemuan berikutnya akan dilakukan pada Kamis (17/4/2014) dan dapat Anda simak laporannya melalui website ini.

Pembiayaan Kesehatan untuk Tindakan Preventif dan Promotif Dalam era Jaminan Kesehatan Masyarakat

  PENGANTAR

Dewasa ini terjadi banyak sekali perubahan – perubahan dalam sistem pembiayaan kesehatan. Namun, apa saja yang terjadi dalam pembiayaan kesehatan selama 20 tahun terakhir ini? Bagaimana perubahan dari sistem membayar sendiri ke Jaminan? Apakah sudah membaik? Bagaimana dengan daerah-daerah sulit? Ada berbagai hal menarik dalam menanggapi pertanyaan – pertanyaan tersebut :

  1. Anggaran kesehatan yang dikelola langsung oleh Kementerian Kesehtan secara persentase menurun;
  2. Dalam konteks JKN terjadi suatu pembayaran yang berbasis pada Claim yang tidak berdasarkan prinsip pemerataan;
  3. Pembiayaan kesehatan dari donor khususnya Global Fund mempunyai perubahan metode;
  4. Pemerintah daerah tidak banyak mengalokasikan anggaran untuk kesehatan;
  5. Pembiayaan untuk preventif dan promotif masih belum jelas.

Untuk menelusuri perkembangan pembiayaan kesehatan di Indonesia, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM bekerjasama dengan Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia menyelenggarakan Seminar mengenai Pembiayaan di Sektor Kesehatan dengan Penekatan pada Pembiayaan untuk Pelayanan Kesehatan Preventif dan Promotif.

 

  TUJUAN DAN BENTUK ACARA

  1. Membahas reformasi pembiayaan kesehatan dalam beberapa decade terakhir
  2. Membahas berbagai perkembangan terbaru dalam pembiayaan kesehatan
  3. Membahas arah pembiayaan tindakan preventif dan promotif

 

 JADWAL KEGIATAN

Kamis, 17 April 2014

Waktu

Acara

Pembicara

08.00 – 08.30

Registrasi Peserta

 

08.30 – 09.00

Pembukaan dan Pengantar

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

09.00 – 12.00

SESI I :
Reformasi dalam Pembiayaan Kesehatan

Pembicara :

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Phd

Pembahas:

Yani Haryanto

  dr. Donald Pardede

Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan

Wahyu Nugrahaini – Balitbangkes Kemenkes RI

dr. Andi Afdal – Kepala Group MPKP BPJS Kesehatan

12.00 – 12.30

Lanjutan Sesi I dan Diskusi

 

12.30 – 13.30

Lunch Break

 

13.30 – 15.00

SESI II :

  1. Pembiayaan Kesehatan dari Donor Agency
  2. Pembiayaan untuk Kesehatan Ibu dan Anak
  3. Pembiayaan untuk preventif dan promotif di BPJS dan Kementerian Kesehatan. Bagaimana Perencanaannya?

Pembicara :

  Jeffrey Muschell – Global Fund

Faozi Kurniawan – Tim PKMK FK UGM

dr. Donald Pardede – Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan

Pembahas :

Prof. Dr. H. Alimin Maidin, MPH *)

 Dedi Supratman – Sekjen IAKMI

 

15.00 – 16.00

Diskusi Penutup

Bagaimana FKM dan IAKMI dapat memperjuangkan anggaran kesehatan yang lebih memperhatikan promotif dan preventif?

  1. Strategi lintas Kementerian
  2. Strategi di BPJS
  3. Strategi di Kementerian Kesehatan
  4. Strategi di pemerintah daerah

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, PhD

16.00 – 18.00

Rapat Dewan Pembina dan Pengurus Yayasan JKKI untuk persiapan Forum Nasional V di Bandung

 

18.00 – 19.30

ISHOMA

 

19.30 – 21.00

Diskusi Persiapan Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan JKN oleh BPJS tahun 2014

Tim PKMK FK UGM beserta dengan perwakilan FKM – FKM

 

 

PESERTA

Peserta terdiri Peneliti Utama dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (1 orang). Dari setiap FKM terpilih akan mendapat biaya transportasi (ekonomi pp), akomodasi selama pertemuan, paket meeting dan sertifikat. Panitia tidak menyediakan lumpsum, diharapkan lumpsum berasal dari universitas masing-masing. Apabila mengirimkan peserta lebih dari 2 orang, diharapkan pembiayaan untuk peserta lain dari instansi masing-masing.

 

  PENDAFTARAN

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM
Sdri. Angelina Yusridar / Hendriana Anggi
Gdg. IKM Sayap Utara Lt. 2, Jl. Farmako Sekip Utara Yogyakarta 55281
Telp. : +62274 – 549425
Mobile: (Angelina Yusri : +628111 498 442), (Hendriana Anggi : +6281227938882)
Email : Angelina_yusridar@yahoo.com; hendrianaanggi@gmail.com
Web : www.kebijakankesehatanindonesia.net 

 

Bedah Buku: Pola dan Akar Korupsi Menghancurkan Lingkaran Setan Dosa Publik

Buku yang akan dibahas kali ini ialah buah karya Prof. drg. Etty Indriati, PhD (FK UGM) yang membahas isu pelik, yaitu korupsi. Prof. Etty berguru pada Prof. Susan Rose-Ackerman dari Universitas Yale.

Bedah buku yang berfokus pada upaya anti korupsi tersebut telah terselenggara pada Jum’at (4/4/2014) di Auditorium Pertamina Tower, FEB UGM. Penyelenggara acara ini ialah Gerakan Masyarakat Transparasi Akademis untuk Indonesia (Gemati) dan pengantar disampaikan oleh Dr. Eko Suwardi, PhD, Wadek Bidang Perencanaan dan Informasi, FEB UGM. Kegiatan atau gerakananti korupsi, selaras dengan visi misi UGM yang menjulang tinggi dan mengakar pada local wisdom, harapannya hasil diskusi menjadi ilmu dan amalkan, jelas Dr. Eko Suwardi.

 

Moderator acara kali ini ialah Dr. Rimawan Pradipto, kesempatan pertama diberikan kepada Prof Etty. Prof Etty menyampaikan ada perubahan kesadaran kolektif secara universal/cara pandang kesadaran kolektif atas tindakan, misalnya di sector perbudakan, isu pembangunan dan sebagainya. UNDP dan World Bank mempertanyakan pinjaman untuk pembangunan mampu berjalan maju di negara berkembang, namun tanpa pengentasan kemiskinan. Hal yang digarisbawahi Prof. Etty ialah only need one honest people to cut corruption system, jadi kita hanya membutuhkan satu orang untuk menghentikan korupsi yang sudah tersistem. Fakta yang menarik ialah korupsi merupakan jaringan bukan hanya individu. Keyakinan yang saya miliki jika korporasi bersih, maka kita akan bersih, ungkap Prof. Etty. Namun jika tidak, tidak akan mungkin. Hal yang harus kita lakukan ialah penyelenggara pemerintahan dan masyarakat bekerjasama dalam memutus jaringan korupsi.

Pola pemerintahan dan kepemimpinan bertahap, mulai dari Band dimana masyarakat egaliter, tidak ada yang berkuasa dan tidak ada yang dikuasai atau komunal. Lalu bentuk yang kedua ialah tribe yang berfous pada family dan kinship/kekerabatan, bentuk yang ketiga ialah chiefdom: pemerintahan dipimpin kepala dan keturunannya bentuk yang keempat ialah state,dimana pemerintahannya tersentralisasi/birokrasi dimana kekerabatannya nepotisme.

Negara dengan ekstraktif industri akan banyak melakukan korupsi karena SDA melimpah, jadi tinggal dieksplorasi. Namun, negara yang hidup dan berkembang dari SDM jarang memiliki catatan tinggi untuk korupsi. Korupsi menguat karena banyak penguasa bersaudara, maka korupsi terjadi makin legal. Harusnya tidak ada jaringan kekerabatan, di Indonesia 70% kepala pemerintah daerah melakukan korupsi.

Bagaimana menjadi korup? Bisa karena tumbuh dalam lembaga. Pelaku krupsi biasanya birokrat hakim, anggota cabinet atau lingkaran penguasa. Korupsi menyebabkan ketidaksetaraan, ketidakadilan, dan lain-lain. Umumnya, korupsi terjadi karena sudah didesain dari awal. Korupsi bisa dikurangi dengan munculnya universal collective thinking pasca perang dingin, gerakan anti korupsi berkembang World Bank, UNDP-mempunyai charter di Negara lain-misal ICW, KPK, PPATK. Gerakan anti korupsi atau transparansi internasional. Prof Susan Ackerman menulis open journal terkait restrukturisasi, beberapa judulnya, Helping Countries Combat Corruption, Corruption and Good Government-Susan Ackerman-World Bank Report. Diseminasi knowledge anti korupsi penting dilakukan, bisa jadi tidak melalui sumber bacaan, karena masyarakat Indonesia kurang gemar membaca. Langkah strategis yang bisa kita ambil ialah koruptor dimiskinkan, ambil semua asetnya untuk memberantas korupsi.

Iswan Elmi, M.Sc (KPK) sebagai pembahas pertama menyampaikan pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan oleh satu disiplin ilmu saja, harus multi disiplin. Rekor saat ini AS Negara penyuap tertinggi di dunia, meski merupakan negara maju. Sementara di Indonesia, kondisi masyarakatnya yang permisif mendukung terjadinya korupsi. Hal yang harus disadari ialah memberantas korupsi bukan tujuan akhir. Kita terjebak pekerjaan yaitu proses bukan tujuan, ungkap Iswan. Korupsi terlalu krusial, jika kita tidak hati-hati, adil makmur tidak akan terwujud. Persoalan dasar korupsi meliputi administrasi-manusia dan kultur. Akumulasi tindakan yang sulit membedakan mana yang salah dan benar hal ini yang sering disebut sebagai penyakit moral. Strategi dalam pencegahan: pertama, memperbanyak pembentukan tunas integritas-mindset diubah, memperbaiki kultur di masyarakat. Kedua, evaluasi sistem dalam organisasinya. Ketiga, misi yang diamanahkan ke organisasi bs terwujud-organissai yang berintegritas. Keempat, KPK melakukan tugas on the right track.

Prof. Purwo Santoso (Guru Besar Ilmu Pemerintahan) sebagai pembahas kedua menyampaikan saya salut karena buku ini tidak memuat ekspresi kemarahan atas masalah korupsi yang pelik ini, ungkap Prof. Purwo. Hal Ini pertanda antropologisnya matang. Sejauh ini, buku terbitan negara maju, tidak ada yang cocok dengan praktek di Indonesia. Maka dibutuhkan pendekatan antropologi: melihat daily life, solusi praktisnya harus muncul. Saya sangat mendukung KPK yang berpindah tugas dari menangkap tangan ke perbaikan sistem anti korupsi. Akar korupsi dibaca dari berbagai sisi, sisi government dan learning yang paling menarik. Kekerabatan masih menjadi pemicu terjadinya korupsi. Jika kearifan local belum bisa mencegah korupsi maka ini yang disebut ‘Banal’, dimana ilmuwan gagal memberikan solusi praktis. Tunas yang ditawarkan Gemati dan UGM ialah berbasis keilmuaan. Ilmuwan harus bisa Refleksi yang ada dan mendialog kan dengan realita. Sejauh ini, dimensi learning, yang terpenting.

DISKUSI

Syaukan Ali mengajukan pertanyaan: Bagaimana jika korupsi terjadi di lingkungan kerja? Melaporkan, mendiamkan atau kita yang berpindah?

Ir. Soedjarwadi, M. Eng, PhD menyatakan bahasan pencegahan dari pak Purwo dalam pendidikan input based teaching sedang diubah menjadi outcome based learning. Pencegahan ialah mendidik masyarakat formal, informal dan non formal. Hal-hal kecil itu adalah akar serabut dalam korupsi, makin besar biayanya makin memancing korupsi. Persoalan dasar yang disampaikan Iswan Emil bisa ditambahkan spiritual dimension yaitu mendidik masyarakat formal, non formal, informal.

Asrul Hariri (Pukat), jika bicara korupsi harus rendah hati, tidak akan ada formula untuk semuanya. Perlukah KPK memiliki perwakilan di daerah?

 

TANGGAPAN

Prof. Etty:

Kultur masyarakat kita ialah tidak berani mengatakan tidak, kita harus berani menolak. Hal ini untuk menjaga integritas berani melawan arus. Sejauh ini, lembaga legislatif belum sempurna untuk check and balance. Kabarnya, Lambroso sosiolog Italia mampu melihat ‘potensi’ korupsi dari kromosom-fisik dengan perilaku. Hal dasar yang harus kita tanamkan ialah nilai jujur dan sederhana ke anak-anak kurang.

Iswan Elmi:

Persoalan dari atas ke bawah harus diberantas, setiap pola strategi penanganannya harus disesuaikan. Jika korupsi dilakukan berjamaah, maka mengatasinya harus berjamaah juga.

Prof. Purwo:

Hal yang sering disebut anggaran titipan terjadi karena korban rakyat berdaulat yang belajar dari lapangan. Maka, DPR harus sebagai pengendali anggaran atau administrative engineering. Spiritualitas penting, UGM belum mendukung dalam hal ini, sumbernya bisa dilacak yaitu tidak jelasnya metodologi untuk menghasilkan spiritualitas itu, maka spiritualitas tidak terasah.

Reporter: Widarti, SIP

Situs Jejaring Knowledge Management

diskmaret

 

diskmaret

Diskusi Bulanan Maret 2014 kali ini membahas ‘Situs Jejaring Knowledge Management (KM)‘ dengan pemateri yaitu Dr. Rossi Sanusi (Advisor PKMK) dan moderator Prof. Laksono Trisnantoro. Acara tersebut berlangsung pada Jum’at (21/3/2014) di ruang Leadership, Gedung IKM, FK UGM. Dr. Rossi mengulang penjelasan dengan mengulang kembali poin pada pertemuan pertama dan kedua. Dalam pertemuan pertama, ada tiga macam bentuk KM, yaitu konseptual dimana KM memberi gagasan dan kritik pada pengambil keputusan. Lalu, bentuk KM yang simbolik atau penelitian diringkas melalui policy brief. Terakhir, KM memberikan beragam bentuk argumen dalam kebijakan. Pertemuan awal mendeskripsikan bahwa dampak dari penelitian baru terjadi di wilayah lokal atau pengaruh diperoleh dari para klinisi dan profesional, namun di level pemerintahan, dampaknya masih sedikit dirasakan. Melalui wilayah lokal, kelompok-kelompok kolegium mampu mempengaruhi kebijakan yang lebih tinggi. Pertemuan kedua KM memaparkan bahwa ada tujuan masing-masing penelitian. Strategi KM bukan hal baru, karena sudah lama dikenal di sektor bisnis.

Pertemuan ketiga ini, akan membahas teknologi informasi. Review makalah dari health-evidence.ca dengan penulis Maureen Dobbins yang memiliki latar belakang keperawatan (dari Mc Master University). Makalah ini menjelaskan knowledge translation dan exchange, beberapa poin di dalamnya, yaitu:

  1. Meneliti makalah individual terkait daya guna, efektivitas, serta efisiensi public health, dipublikasikan pada makalah penelitian.
  2. Mencari dan menapis makalah-makalah terkait topic tertentu. Makalah ini masih butuh critical appraisal.
  3. Me-review makalah-makalah penelitian, disusun review-nya dan kemudian dipublikasikan.
  4. Dari sana, akan terlihat bahwa sudah disediakan hasil review/critical appraisal dari yang dianggap kompeten, misalnya tim dari Mc Master University.

Hal yang terpenting ialah metode apa yang digunakan dan siapa yang melaksanakan penelitian tersebut. Skoring critical appraisal yang digunakan strong, moderate dan weak.

Langkah-langkah untuk menjaring, menapis dan menilai makalah review. Sumbernya, database elektronik, tujuh database dan 20 jurnal. Namun sayangnya, ada banyak jurnal bagus yang tidak dipublikasikan. Penyaringan atau penapisan dilakukan supaya tidak banyak yang harus di-review. Ada banyak cara penapisan ini, ada organisasinya tertentu. Filter digunakan untuk menyaring yang relevan saja. Tipe filter yaitu filterasi melalui software khusus. Apakah relevan? Apakah efektif untuk dikerjakan? Assessment -> screening -> diperiksa juga daftar rujukannya. Kadang satu jurnal memiliki jurnal terkait, bahkan kadang menggunakan nomor yang sama. Setelah melalui flter, ada quality assessment melalui software. Tool untuk mengukur skoring ialah 10 item. Skor yang diterapkan, jika lebih dari 7 maka strong, lebih dari 5 moderat dan 4 disebut weak. Sebaiknya hal ini dilaporkan semua, sehingga pengambil keputusan tahu mana lebih dan kurangnya. Summary report: makalah yang kuat dan moderat. Rekomendasinya ialah:

  1. Bentuk unit yang membuat tahap 2-4: produksi dan publikasi makalah-makalah review penelitian PH di Indonesia. Jika bisa dalam bahasa Inggris, supaya bisa dijaring Mc Master University.
  2. Bentuk unit yang melaksanakan tahap 5-6: menapis makalah review (critical appraisal) dan situs jejaring.
  3. Kirim staf untuk belajar poin a dan b ke Mc Master University.
  4. Cluster s3 mencari dan menapis makalah-makalah penelitian, makalah review dan makalah konsep.

 

  Situs Jejaring Knowledge Management

Diskusi:

  1. Apakah ada web tertentu yang meng-upload critical untuk naskah? Kadang ada website yang menampilkan review namun kita tidak tahu bagaimana menjaring naskah yang di-review.

    Dr. Rossi: melalui situs health evidence Canada, kita bisa menjadi anggota yang memanfaatkan ini, coba cari keyword yang dibutuhkan. Misal: integrasi pelayanan HIV terjadap pelayanan neonatal. Dalam review makalah, ada penilaian dan disertai detailnya. Jadi, pembuat keputusan akan menilai hasil penelitian laik dipraktekkan atau tidak? Dokter bisa menguji coba, lalu melalui organisasi profesinya akan mempengaruhi pembuat kebijakan. Ada lembaga agama, ormas, penelitian di seluruh dunia perlu disimpulkan.

  2. Sistem skoringnya seperti apa? Ada standar untuk menapis tidak?

    Pak Rossi, melalui hedging  (penapisan) yang dijaring makalah review misalnya intervensi public health (PH). Ada 10 item yang digunakan untuk skoring. Selain skor umum, ada item lain yang harus dilaporkan. Pembuat keputusan ingin melihat yang strong. Intervensi berdaya guna atau tidak? Skoring ini dilakukan staf yang terlatih, karena pekerjaan ini makan waktu. Jika melihat makalah review, maka harus mengubah konsepnya penelitiannya Harapannya, organisasi profesi mengintervensi DPR/pengambil keputusan dalam perumusan kebijakan.

 

 

Global Health Security – Obama’s Initiative Is the Tip of the Global Iceberg

Friday the Obama Administration announced a new initiative, the “Global Health Security Agenda (GHSA),” that addresses the looming threat of the global spread of infectious disease. The initiative’s motto is “the need to prevent, detect, and respond to biological threats” as they relate to national security. Global pandemics can cause national risk through trade, exchange, and international travel, and the consequences can be profound both within and across the borders of countries.

The U.S. has forged global partnerships to address the threat of infectious disease. However, the odds are not good in that 80 percent of all world nations are not prepared to handle this massive issue. The U.S. will not take this on alone. Jordan Tappero, who is the Director of Global Health Protection at the Center for Global Health (Center for Disease Control/CDC) announced that the leader for the new initiative will be Health and Human Services. However, other U.S. Departments – namely, Defense, State and Agriculture – will also be key players. And, the U.S., in an effort to be part of a community of likeminded nations, will work together with international organizations. Joining them are the World Health Organization (WHO), the Food and Agriculture Organization and other groups across countries and regions. Currently a total of 26 collaborator countries are stakeholders with the U.S., including close allies as well as those with whom the U.S. is working to develop improved relations: China, India and Russia.

One of the challenges in bringing forth the plan from the Global Health Security Agenda initiative is the differing priorities of Defense and Health. Whereas Defense is concerned with national security risk, Health is geared towards the elimination of infectious disease and the affect on populations. Since the initiative must identify those diseases with greatest potential for significant national and international consequence, it must focus its efforts in that regard.

On a large scale, however, what the Global Health Security Agenda is addressing is just the tip of the proverbial iceberg. According to Salmaan Keshavjee MD, PhD, Director of Infectious Disease and Social Change, in Harvard Medical School’s Global Health & Social Medicine, the root causes of infectious disease are both medical and social. The source is based in existing structures that are political, economic, religious, and social. Managing one aspect while overlooking the other will not be effective in eradicating disease.

This is particularly true because, even with the advent half a century ago of effective antibiotics, infectious disease is rampant in the majority of the world. In fact, bacterial, viral, and parasitic infections are the leading cause of mortality worldwide – causing one-third of all deaths.

In much the same way that the U.S. is serving as advocate and partnering with other nations to address the issue of infectious disease, grassroots organizations and international medical teams are doing so, as well. Partners in Health (PIH) has been at the center of health care transformation in global areas of poverty for the past 25 years. PIH and the Program in Infectious Disease and Social Change at HMS are using community health organizers or “accompagnateurs” to work with local peoples in Haiti, Ethiopia, rural Mexico, and other countries. By listening to needs and learning how to best reach those who most require help, these groups are pioneering on the ground level, making significant changes in education, health care, advocacy, and policy change.

Focus on global health security is an important first step towards the elimination of infectious disease. Government support for the organizations that are working to reduce infectious disease on global scale would help to move this issue forward.

source: guardianlv.com

 

Rp.6 Miliar Untuk Kesehatan Gratis Bagi

KBRN, Sumenep: Masih banyaknya warga miskin di Sumenep, Madura, Jawa Timur, yang tidak tercaver Program Askes, Jamkesmas, dan Jamsostek mendapat perhatian Pemkab setempat.

Pemkab Sumenep melalui Dinas Kesehatan mengalokasikan anggaran sebesar Rp6 Miliar pelayanan kesehatan gratis khususnya bagi warga yang tidak mengantongi askes, jamkesmas, termasuk jamsostek.

“Sesuai Peraturan Bupati Nomer 4 2014 itu, dana tersebut diperuntukkan secara khusus bagi warga yang bukan peserta askes, jamkesmas dan jamsostek,” terang Kepala Dinkes Sumenep, Riska Anugera Rahadi, Kamis (20/2/2014).

Dijelaskannya dengan anggaran Rp6 Miliar itu, Pasien miskin khususnya Puskesmas dan Rumah Sakit Kelas 3 B, baik rawat inap maupun rawat jalan tidak dipungut sepersenpun, termasuk untuk kebutuhan obat.

“Anggaran Rp6 Miliar itu dalam rangka mendukung program Bupati mengenai pelayanan kesehatan gratis,” kata Riska.

Mantan Kepala Bidang Evaluasi dan Informasi RSUD Sumenep ini memastikan, warga miskin dipastikan tidak akan dipersulit untuk mendapat pelayanan kesehatan gratis itu karena persyaratannya cukup mudah.

Selama pasien tersebut tidak tercaver dalam askes, jamkesmas dan jamsostek, maka pasien cukup melampirkan surat keterangan miskin dari Kepala Desa setempat untuk mendapat pelayanan kesehatan gratis.

“Kedepan, tidak ada istilahnya pasien miskin miskin yang tidak terelayani karena tidak mempunyai biaya. Semua gratis dengan catatan ada keterangan miskin dari Kepala Desa,” pungkas Riska. (Faisal W/BCS).

sumber: rri.co.id

 

RUU Tenaga Kesehatan Masuk Panja

Komisi IX DPR sepakat melanjutkan pembahasan RUU Tenaga Kesehatan bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) lewat Panja. Menurut Ketua Komisi IX, Ribka Tjiptaning, pembahasan RUU tentang tenaga kesehatan (dokter, perawat, dan bidan) akan lebih fokus dalam sebuah panitia kerja (Panja). Pandangan itu pula yang disampaikan Ribka dalam rapat kerja antara Komisi IX DPR dengan Kemenkes di ruang sidang Komisi IX DPR, Senin (17/2).

Ribka mengatakan ada banyak hal dalam peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan kesehatan yang perlu diharmonisasi dalam RUU Tenaga Kesehatan. Langkah ini penting agar tujuan RUU Tenaga Kesehatan tercapai, yakni memberi perlindungan terhadap masyarakat untuk mendapat pelayanan kesehatan dari tenaga kesehatan. “Perlindungan pasien sangat penting,” kata politisi PDI Perjuangan itu.

Mengacu Tatib di DPR, Ribka melanjutkan, Panja RUU Tenaga Kesehatan terdiri dari separuh jumlah anggota Komisi IX, mewakili seluruh fraksi. Total anggota Panja Tenaga Kesehatan berjunlah 29 orang. Dalam rapat kerja sebelumnya, Komisi IX dan pemerintah sudah menyepakati 156 DIM. Sisanya sebanyak 412 DIM akan dibahas dalam Panja.

Pada kesempatan yang sama anggota Komisi IX, Sri Rahayu, mengatakan ada beberapa pasal RUU Tenaga Kesehatan yang perlu dicermati. Salah satunya, tentang kesejahteraan bagi tenaga kesehatan. Menurutnya, hal tersebut harus dipikirkan apakah pengaturan terkait kesejahteraan tenaga medis itu diatur lewat peraturan pelaksana atau diperinci dalam RUU Tenaga Kesehatan.

Selain itu, Sri melihat RUU Tenaga Kesehatan kurang jelas mengatur perlindungan tenaga kesehatan. “Perlindungan seperti apa, itu perlu dipikirkan detail supaya dokter sebagai pelayan kesehatan diberi perlindungan sebagaimana hak-haknya,” paparnya.

Menanggapi hal itu Wamenkes, Ali Gufron Mukti, mengatakan berbagai masukan yang disampaikan Komisi IX akan dipertimbangkan dalam RUU Tenaga Kesehatan. Namun yang jelas ia menyebut RUU Tenaga Kesehatan ditujukan agar masyarakat mendapat pelayanan kesehatan yang terbaik. Misalnya, memperoleh segala informasi yang tepat terkait pelayanan kesehatan yang diberikan dan hak-haknya terpenuhi.

Selain itu RUU Tenaga Kesehatan bagi Ali penting untuk melindungi tenaga kesehatan sebagai pemberi layanan. Menurutnya perlindungan itu harus mencakup individu atau institusinya. Sehingga, tenaga kesehatan dapat terlindungi secara hukum ketika menjalankan tugasnya. Misalnya, jika terjadi sebuah kasus dalam pelayanan kesehatan, maka mekanisme penyelesaian utama yang harus ditempuh yaitu lewat lembaga seperti Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Tapi kalau diperlukan maka kasusnya dapat berlanjut ke ranah pidana atau kriminal.

“Kami ingin melindungi masyarakat sebagai pengguna dari jasa layanan kesehatan tapi kami juga ingin pada saat yang sama bisa memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi petugas kesehatan itu,” ucap Ali.

Tak kalah penting, Ali menjelaskan RUU Tenaga Kesehatan bakal mengatur kesejahteraan tenaga kesehatan. Sehingga tenaga kesehatan mendapat insentif yang baik. “Kami ingin ada koordinasi antar berbagai tenaga kesehatan sehingga dapat bersatu dalam melayani masyarakat,” pungkasnya.

sumber: www.hukumonline.com