Video Pameran

 


AIPHSS – Ria Febriany Arif

PML Papua – Sutedjo, SKM, M.Kes


AIPMNH

Dr. Ignatius Henyo Kerong

Program MAMPU – Asken Sinaga


Sister Hospital NTT
Dwi Handono Sulityo, M.Kes

 


 

 

 

Overview Third Global Symposium on Health Systems Research

Beberapa hari setelah Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia, di Cape Town Afrika Selatan, diselenggarakan Third Global Symposium on Health Systems Research. Pertemuan ini merupakan yang ketiga setelah di Montreux (2010), dan Beijing (2012). PKMK FK UGM terlibat selama 3 kali pertemuan dengan mengikuti secara aktif. Forum ini memang menjadi acuan utama kegiatan pengembangan penelitian kebijakan dan sistem kesehatan di dunia.

Misi Simposium Health Systems Global adalah untuk mengumpulkan peneliti, pengambil kebijakan, dan pelaksana kegiatan di seluruh dunia untuk mengembangkan penelitian sistem kesehatan dan menggunakan kapasitas bersama untuk menciptakan, berbagi, dan menerapkan pengetahuan untuk memperkuat sistem kesehatan. Kegiatan ini diharapkan dapat mencapai visi dimana masyarakat, peneliti dan pengambil kebijakan global dapat saling terhubung sehingga dapat menyumbang ke status kesehatan yang lebih baik, keadilan yang lebih baik, dan juga kesejahteraan yang meningkat.

Tema Simposium ke-3 adalah:

Science and practice of people-centred health system.

Apa yang dimaksud dengan people-centred health system?
Menurut Skeih dkk di majalah Health Policy and Planning (2014), ada empat ciri people-centred health system:

  1. Menempatkan keinginan dan kebutuhan masyarakat sebagai hal utama dalam sistem kesehatan
  2. Pelayanan kesehatan yang memberikan perhatian utama untuk masyarakat yang dilayani;
  3. Sistem kesehatan sebagai sebuah kelembagaan sosial;
  4. Ada nilai-nilai yang mengarahkan sistem kesehatan.

Dengan tema ini, maka tujuan spesifik Simposium ke-3 ini adalah:

  1. Membahas berbagai hasil penelitian terakhir yaitu pengembangan sistem kesehatan dan berfokus pada masyarakat. Cakupannya meliputi hal-hal yang konsepsual ataupun hasil penelitian primer dan sekunder.
  2. Menemukan dan membahas pendekatan-pendekatan penelitian yang membahas tema dan memperkuat metode riset;
  3. Mengembangkan kemampuan peneliti, pengambil kebijakan, praktisi, aktivis, dan pengelola lembaga-lembaga sipil untuk menyelenggarakan dan menggunakan penelitian sistem kesehatan ke tema yang ada;
  4. Memperkuat masyarakat pembelajar dan platform untuk translasi pengetahuan, untuk mendukung people-centred health systems secara lintas disiplin, lintas sektor dan antar negara.

Struktur terdiri atas 2 hari pre-Simposium dan 3 hari Simposium. Kegiatan-kegiatan tersebut diselenggarakan di International Convention Center di Capet Town yang indah, di dekat pelabuhan. Struktur Kegiatan dapat dilihat di bagian akhir artikel ini

 

 

 

 

 

 

Tujuan Laporan

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM mempunyai tradisi dimana setiap anggota yang pergi mengikuti kongres ilmiah di berbagai belahan dunia harus memberikan laporan tertulis mengenai kegiatan yang sedang diselenggarakan. Tradisi ini diperluas dengan menuliskan di berbagai web sehingga dapat dinikmati oleh seluruh peneliti, pelaku dan berbagai pihak yang terkait dengan kebijakan kesehatan.

Dengan demikian, akan ada kesempatan bagi pembaca yang tidak hadir di Cape Town dan berniat memahami apa yang terjadi, untuk mengikuti dari jauh. Diharapkan dana yang cukup besar untuk mengikuti kegiatan seperti ini dapat dimaksimalkan manfaatnya, tidak hanya oleh mereka yang berangkat.

Dalam pertemuan tahun ini, dengan tema masyarakat sebagai fokus utama sistem kesehatan, tim pelapor akan melakukan analisis bagaimana implikasi tema ini untuk Indonesia. Ada berbagai pertanyaan penting yang perlu dibahas:

  1. Apakah sistem kesehatan di Indonesia sudah menempatkan masyarakat sebagai hal yang utama?
  2. Apakah sistem kesehatan di Indonesia mencerminkan hubungan antar lembaga yang baik dan mempunyai aspek-aspek kemanusian?
  3. Apakah kebijakan-kebijakan besar di sistem kesehatan Indonesia (misal kebijakan JKN, desentralisasi kesehatan, penurunan kematian ibu dan bayi, penanganan AIDS, kesehatan jiwa, dan lain-lain) sudah menempatkan masyarakat di tempat yang utama?

Pembahasan-pembahasan ini akan dilakukan secara tertulis dengan judul implikasi bagi Indonesia. Diharapkan ada diskusi di web dalam hal implikasi ini.

Laporan ini tersusun atas laporan yang di-upload secara harian dengan mengacu pada sidang-sidang pleno sebagai materi utama pelaporan. Di samping itu ada berbagai satelit dan sesi-sesi parallel yang akan dilaporkan. Anda dapat mengikuti laporan ini dengan membuka web ini tiap hari. Silahkan mengikuti

 

 

 

Sesi Pleno, 25 September 2014

25septpleno3

Monitoring dan Evaluasi Jaminan Kesehatan Nasional

25septpleno3Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),di bawah naungan BPJS,telah berjalan hampirsembilan bulan. Masih banyak ditemui kekurangan dalam pelaksanaan program ini.Butuh pemikiran dan terobosan untuk memperbaiki program agar lebih sesuai harapan.Isu ini ditangkap penyelenggara Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (Fornas V JKKI) 2014. Diskusi berbagai usulan untuk menciptakan program JKN yang lebih baik difasilitasi dalam sesi pleno 3 Fornas V JKKI 2014 ini.

Sesi yang digelar di Ballroom 1 dan 2 hotel Trans Luxury Bandung ini dimoderatori oleh Prof. Dr. HM. Alimin Maidin, dr., MPH.Sebelum mempersilakan pembicara menyampaikan paparan, Alimin membuka sesi dengan pernyataan “JKN harus suskses namun dengan cara yang beda. Karena kita akademisi maka kita kritisi kebijakan JKN ini.”

Pembicara pertama sesi ini adalah dr. Tono Rustiano, MM dari BPJS Kesehatan. Direktur Perencanaan Pengembangan dan Manajemen Resiko ini menyoroti empat masalah yang harus diperhatikan selama pelaksanaan JKN. Pertama terkait kepesertaan. “Di kepesertaan kita harus berupaya mendapatkan peserta sehat, muda dan bekelompok,” tutur alumnus Unpad ini. Permasalahan lainnya terkait menciptakan mekanisme pengumpulan iuran yang cepat tepat waktu, masalah di fasilitas kesehatan, serta terkait tarif yang dibangun agar lebih adil bagi semua pihak.

Permasalahan terkait pelaksanaan JKN ini juga diamati oleh dr. Adang,perwakilan Dewan Jaminan Sosial Nasional(DJSN). Hasil Monev JKN oleh DJSN menghasilkan beberapa temuan penting. Pertama dari aspek regulasi. Diakui dr. Adang, penyusunan regulasi ini sudah tersendat-sendat dari awal. Regulasi belum secara jelas dijabarkan pada peraturan turunan atau pedoman pelaksanaannya. Selainitu terdapat produk hukum penyelenggaraan JKN yang tidak sinkron dengan peraturan perundang-undangan yang lebihtinggi.Dari aspek kepesertaan ditemukan banyaknya peserta mandiri yang baru mendaftar sebagai anggota BPJS bila sudah sakit. Aspek fasilitas dan layanan kesehatan dalam era JKN ini ditemukan masih belum baik. Aspek manfaat dan iuran juga belum optimal.

Menyikapi berbagai temuan ini, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, Ph.D dari PKMK UGM menyampaikan tanggapannya. “Kami lihat, masalah terdapat pada desain kebijakannya. Ada pasal maupun Permenkes yang tidak benar. Bukan pada pelayanannya.” Laksono juga menyampaikan solusi untuk berbagai masalah yang muncul dalam pelaksanaan JKN ini. Pertama adalah perlu ada perubahan kebijakan dan penambahan anggaran kesehatan. BPJS diharapkan harus dapat mengatasi problem adverse selection di non-PBI Mandiri. Perlu juga ada kebijakan investasi di daerah sulit termasuk penggunaan dana kompensasi. Terakhir, Laksono menekankan perlunya monitoring dan evaluasi lebih lanjut dengan menggunakan data empirik.

Harapan dan usulan untuk JKN yang lebih baik juga disampaikan oleh Dr. Henni Djuhaeni, dr. MARS. Henni berharap pelayanan kesehatan yang diberikan dapat lebih bermutu dan profesional. “Artinya sesuai standar dan memuaskan pelanggan. Pelanggan disini bukan hanya masyarakat atau pelanggan eksternal tetapi juga pelanggan internal yaitu provider.”Agar JKN lebih baik, Henni mengingatkan akan pentingnya kejujuran menerima kekurangan diri. “Kalau BPJS ada kekurangan, harus mau menerima masukan dari akademisi misalnya FK atau dari forum seperti JKKI,” jelasnya. Dalam penyusunan regulasi, Henni berharap disusun sebuah undang-undang sistem kesehatan, bukan hanya undang-undang kesehatan.

Reporter: drg. Puti Aulia Rahma, MPH

 

Monitoring penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional Tahun 2014
Kalsum Komariah (pusat pembiayaan dan jaminan kesehatan)

  Materi     Video

dr. Tono Rustiano, MM dari BPJS Kesehatan.

  Video 

Hasil monitoring dan evaluasi implementasi jaminan kesehatan nasional: semester I tahun 2014
dr. Adang

  Materi     Video

Pembahas: Prof. dr. Laksono Trisnantoro

  Materi     Video

Pembahas: Dr. Henni Djuhaeni, dr. MARS

  Video 

Sesi Diskusi dan Tanya Jawab

  Video 

 

Universal Coverage Lesson Learnt from Several Countries

Sesi ini seharusnya dapat menjadi sesi yang paling menarik dalam Forum Nasional V JKKI karena membahas topik yang tidak pernah lepas dibahas pada berbagai pertemuan kesehatan, yaitu Cakupan Semesta dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Apa benar tahun 2019 seluruh masyarakat Indonesia akan tercakup dalam skema jaminan kesehatan?

johnJohn Lengenbrunner (juga senang dipanggil sebagai pak Joko) sebagai pembicara pertama membahas mengenai hubungan antara MDG dengan UHC. Lengenbrunner yang juga memiliki pengalaman bekerja di Word Bank tersebut mengatakan bahwa sebenarnya sulit untuk menghubungkan hal tersebut.

Di awal presentasinya, Lengenbrunner mengungkapkan berbagai pencapaian dan tantangan MDG di Indonesia (pernyataan-nya cukup keras, mengatakan kinerja Indonesia “seperti di negara miskin”) kemudian menggabungkannya dengan konsep UHC dari WHO yang terkait dengan cakupan, manfaat dan proteksi finansial. Pencapaian MDG dan pencapaian konsep UHC tersebut kemudian digabung untuk menjelaskan hubungan diantara keduanya, namun pada pembicaraan selanjutnya pak Joko ini lebih memfokuskan diri ke tantangan yang dihadapi oleh Indonesia untuk mencapai konsep UHC dari WHO.

Cakupan semesta mendapatkan tantangan dari belum tercakupnya (atau sangat lambatnya) peserta dari sektor informal, namun Thailand, Cina, Philiphina dan Vietnam sudah memiliki pengalaman untuk mengatasi hal ini. Ini menarik dan dapat dipertimbangkan oleh Indonesia. Manfaat pelayanan kesehatan mendapatkan tantangan dengan adanya fragmentasi pembiayaan dan pelayanan untuk penyakit-penyakit tertentu seperti TB HIV/AIDS, sistem rujukan antara pelayanan primer ke tingkat lanjut. Dicontohkan Thailand baru dapat membangun sistem rujukan yang baik setelah berusaha sejak tahun 1985-an. Proteksi finansial juga mendapatkan tantangan dimana peningkatan cakupan asuransi belum menurunkan biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh masyarakat.

ascoBerbeda dengan pembicara pertama, Ascobat Gani sebagai pembicara kedua menekankan tentang kebiasaan pengambil keputusan di Indonesia yang sering mengikuti trend/mode kebijakan internasional tanpa memperhatikan konsep dasar kebijakan baru dan keberlangsungan antar kebijakan serta alokasi sumber daya untuk meneruskan kebijakan lama. Presentasi Gani lebih menekankan kritiknya tetang JKN yang tidak memperhatian aspek kesehatan masyarakat.

Gani kembali menjelaskan konsep UHC yang menekannya pentingnya baik pelayanan kuratif maupun preventif (WHO dan World Bank pada bulan Mei 2014). Peningkatan pelayanan public health memerlukan Dinas Kesehatan yang kuat, Puskesmas yang efektif, dana yang cukup, tenaga kesehatan masyarakat yang cukup. Sedangkan di pelayanan kesehatan diperlukan proteksi keuangan, suplai tenaga kesehatan dan alat yang cukup serta efektivitas sistem gate keeper di Puskesmas. Setiap tantangan dan inisiatif ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam presentasi professor yang juga pernah menjabat sebagai Dekan FKM UI ini.

Sedangkan Peter Hyewood sebagai pembicara terakhir memilih fokus pembahasan dalam hal teknis, yaitu penggunaan teknologi informasi (IT) dalam pelayanan kesehatan khususnya untuk distribusi tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan tingkat primer.
Staf pengajar dari Universitas Sydney ini mengawali presentasinya dengan menjelaskan situasi jumlah dan distribusi tenaga kesehatan ditingkat kabupaten berdasarkan hasil penelitian di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2009. Hasil penelitian tersebut kemudian menjadi dasar dari Hyewood untuk mengusulkan pengembangan sistem informasi tenaga kesehatan yang dapat membantu perencanaan dan monitoring dan evaluasi tenaga kesehatan.

Sesi presentasi dilanjutkan dengan sesi diskusi yang sangat dinamis, peserta dari beragam kalangan menanyakan dan memberikan padangan berbagai hal terkait dengan topik pembicaraan, antara lain tentang peran Puskesmas (apakah perlu dibubarkan saja?), integrasi berbagai program kesehatan di daerah (apa perlu kembali ke sistem sentralisasi?), kemampuan perencanaan kegiatan dan anggaran dinas kesehatan (mengapa dana berlimpah tapi tidak dapat di serap?)

Kesimpulan utama dari sesi pleno ini, adalah bahwa Indonesia memiliki tantangan besar untuk mewujudkan konsep UHC dari WHO dan Indonesia perlu memberikan fokus perhatian yang seimbang untuk pelayanan preventif disamping untuk pelayanan kuratif (hd).

 

MDG dan UHC: Bagaimana Pengalaman Global?
Menghubungkan tangangan dan Peluang untuk Indonesia – John Langenbrunner

  Materi     Video

Implementation of Universal Health Coverage in Indonesia: Space for Improvement in Post-MDGs Era Ascobat Gani

  Materi     Video

Internationally supported health projects in West Java: lessons learnt and the way forward
Peter Heywood

  Materi     Video

 

Mengupas masalah implementasi JKN di berbagai daerah.

25septpleno5Sesi pleno 5 pada Kamis (25/9/2014) dibuka dengan pemaparan Prof. Dr. Nanan Sekarwana, dr., Sp. A (K)., MARS., mengenai permasalahan implementasi JKN di Jawa Barat. “Sistem yang baru berjalan perlu perbaikan dimana-mana karena distribusi beban yang tidak merata” ucap dr Nanan mengawali sesi ini. JKN yang baru saja berjalan selama hampirsembilan bulan memang masih sarat dengan masalah masalah yang perlu terus diatasi. Pelayanan JKN yang merata merupakan harapan besar dari berbagai pihak. Tidak hanya peserta, hal tersebut juga menjadi harapan besar dari provider kesehatan maupun penyelenggara (BPJS). Namun, apakah implementasi JKN sudah memenuhi harapan itu? Tentu saja belum. Ada beberapa masalah implementasi JKN di Jawa Barat yang diungkapkan oleh Guru besar FK UNPAD ini, antara lain: permasalahan sistem rujukan, kurang optimalnya implementasi clinical pathway, perbedaan keinginan antara BPJS dengan dokter, kurangnya pemahaman terhadap buku panduan layanan BPJS, banyaknya kepesertaan mendadak, dan keterlambatan klaim. Permasalahan tersebut jika tidak diatasi dapat berdampak besar pada kendali mutu dan kendali biaya.

Permasalahan implementasi JKN lainnya dipaparkan oleh dr. Koamesah Sangguana, MMR., MMPK yang mengulas secara jelas kendala dan permasalahan JKN di Provinsi NTT. “NTT adalah provinsi dengan pulau yang banyak. Kesulitan akses masih sering kali dialami apalagi untuk implementasi JKN,” tuturnya saat menjelaskan gambaran daerah Provinsi NTT. Rumah sakit yang ada di NTT sebagian besar adalah Tipe D dan C sehingga klaim yang diajukan sebagian besar adalah klaim sederhana. Masalah lainnya yang dihadapi oleh rumah sakit saat ini adalah klaim yang belum terbayar sejak Mei hingga saat ini. Keterbatasan tenaga dokter menjadi sumber masalah dalam penetapan dana kapitasi Puskesmas. Masalah JKN di Puskesmas menjadi semakin rumit dengan belum adanya Puskemas yang berstatus BLUD sehingga dana kapitasi yang sudah ada masuk ke kas daerah. Kondisi tersebut menambah masalah baru, karena dana yang masuk ke kas daerah cenderung sulit keluar. Masalah lainnya adalah sebanyak 34,89% masyarakat di Provinsi NTT belum ter-cover. Hambatan lainnya menyangkut fasilitas non-kesehatan, seperti ketersediaan transportasi, serta sosialisasi.

Presentasi penutup di sesi Pleno 5 ini dipaparkan oleh dr. Eka Widrian Suradji. P.D yang mengulas implementasi Jaminan Kesehatan di Kabupaten Bintuni, Papua Barat. Sebelum JKN diimplementasikan, Masyarakat di Kabupaten Bintuni sudah terbiasa dengan pelayanan kesehatan bebas biaya. Hal ini terjadi karena adanya keberpihakan Pemda untuk memberikan pelayanan kesehatan terjangkau kepada masyarakat di Kabupaten Bintuni. Rata-rata sebesar 9% dana APBD dialokasikan untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan bebas biaya. Dengan demikian, tenaga kesehatan di Kabupaten Teluk Bintuni relatif terpenuhi dan pembangunan fasilitas kesehatan yang berkembang pesat. Implementasi JKN ini menyebabkan adanya pengalihan dana kesehatan dari Pemda, antara lain untuk:

  1. Peningkatan Insentif tenaga kesehatan
  2. Menanggung beban biaya pengobatan pasien saat merujuk ke luar Kabupaten Bintuni,
  3. Menambah dana operasional Puskemas untuk kegiatan preventif-promotif.

Implementasi JKN juga memberi dampak negatif pada pelayanan kesehatan di Kabupaten Bintuni, antara lain:

  1. Pendataan kepesertaan yang masiih amburadul, masyarakat harus belajar membawa kartu,
  2. Terjadi konflik internal antara tenaga kesehatan dalam Puskesmas maupun antar Puskesmas
  3. Menurunkan kegiatan preventif-promotif.

” Implementasi JKN merupakan kemunduran bagi Kabupaten Bintuni” ujar dr. Eka. Di akhir presentasinya, pria yang menjabat sebagai Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten Bintuni ini menyatakan utilisasi pelayanan kesehatan tidak hanya permasalahan biaya, namun perlu keberpihakan Pemda setempat.

Reportase oleh: Nurul Jannatul Firdausi, S.KM

 

Permasalahan Implementasi JKN di Jawa barat
Prof. Nanan Sekarwana (Pusat Studi Kebijakan Kesehatan FKUP)

  Materi     Video

Lesson-Learnt Pelaksanaan JKN Study Kasus di NTT – dr. SMJ. Koamesah, MMR., MMPK

  Materi     Video

Pelaksanaan Jaminan Kesehatan di Kab. Teluk Bintuni Papua Barat

  Materi     Video

Sesi Diskusi dan Tanya Jawab

  Video

 

Meningkatkan Kepedulian Tenaga Kesehatan terhadap Pasien Gangguan Jiwa

Salah satu factor penyebab gangguan jiwa ialah akibat putus cinta, lalu diikuti stres pekerjaan dan beban hidup lainnya. Hal ini disampaikan oleh Ners Muhammad Sunarto, M. Kep, Sp. Kep. J saat memaparkan “Peningkatan Kompetensi Perawat CMHN dan GP Plus dalam Meningkatkan Kemandirian dan Pemberdayaan Pasien Gangguan Jiwa Berat Pasca Pasung di NTB”. Tak disangka factor perasaan antar individu yang menjadi penyebab utama kasus gangguan jiwa di NTB.

Selain itu, pasien gangguan jiwa di NTB hanya dilayani oleh satu RSJ. Tantangan pelayanan yang dihadapi RSJ tersebut antara lain, melayani pulau Sumbawa dan NTB, akses terbatas, stok obat terbatas dan transportasi yang masih sangat kurang. Jika harus membawa pasien dari satu pulau ke pulau lain, akan sangat berbahaya karena pernah terjadi kasus pasien gangguan jiwa yang terjun ke laut. Namun, jika harus membawa pasien ke RSJ maka harus menempuh jarak yang sangat jauh bisa berhari-hari.

Muncul pula fakta lain bahwa pemasungan yang terjadi di NTB ada yang cukup memprihatinkan, dimana salah seorang pasien dibiarkan tetap menjadi sakit jiwa agar warisannya jatuh ke pihak tertentu. Atau ada juga yang sama sekali tidak terurus kebersihannya karena selama 15 tahun tidak dimandikan. Hal-hal seperti ini yang menggerakan perawat di RSJ untuk memberikan pelatihan pada rekan sejawatnya di Puskesmas. Selain care giver atau keluarga yang merawat pasien gangguan jiwa, dibutuhkan juga perawat di Puskesmas yang melayani pasien gangguan jiwa di wilayahnya. Jadi, yang terpenting staf Puskesmas memiliki empati tinggi untuk mendata dimana saja pasien jiwa tinggal dan bagaimana merawat mereka supaya hak-hak mereka terpenuhi (Wid).

 

{jcomments on}

Kelompok Pengembangan Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia

 Pendahuluan:

Indonesia menghadapi cukup banyak tantangan dalam mencapai target MDGs (4) dan MDGs (5). Data terakhir menunjukan kenaikan yang drastis pada Angka Kematian Ibu (AKI) yaitu 359 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2012). Sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKABA) mengalami penurunan yang lambat (SDKI, 2012). Padahal tidak sedikit upaya kebijakan maupun program kesehatan yang telah digagas sebelumnya untuk dapat menyelesaikan permasalahan di bidang Kesehatan Ibu Anak (KIA). Maka evaluasi dan rekomendasi terhadap program KIA dari segi perencanaan hingga implementasinya menjadi fokus utama dalam Fornas ke V JKKI.

Era desentralisasi dan Jaminan Kesehatan Nasional juga menimbulkan tantangan tersendiri. Identifikasi faktor penghambat dan pendukung terhadap proses perumusan, pengembangan dan implementasi kebijakan KIA di era ini penting dilakukan. Minimnya alokasi anggaran pemerintah untuk program KIA dan belum terwujudnya integrasi antar lintas sektoral dan antara pusat – daerah merupakan sebagian dari kebutuhan akan perencanaan dan implementasi yang lebih strategis.

Diperlukan pengkaijan terhadap perencanaan kesehatan berdasarkan bukti serta analisa bottleneck yang telah ada di Indonesia. Peran para akademisi serta praktisi kesehatan saat ini untuk mendukung perbaikan perencanaan kesehatan di Indonesia melalui Investment Case, Sister Hospital, EMaS, Millennium Acceleration Framework (MAF), Microplanning Puskesmas dan ASIA diharapkan dapat menjadi sumber rekomendasi. Akselerasi antara pusat dan daerah dalam strategi menurunkan AKI, AKB dan AKABA di Indonesia harus diwujudkan. Melalui Fornas JKKI ke V ini selain pemaparan akan evaluasi hingga rekomendasi program dan kebijakan KIA diharapkan dapat terbangun jaringan peneliti dan pengamat kebijakan KIA di Indonesia yang mampu saling berkoordinasi.

Terdapat ageda pelatihan penyusunan policy brief hari ke-3, dengan tujuan menghasilkan policy brief untuk pemerintahan yang baru. Hal ini akan sangat bermanfaat bagi pemerintahan yang baru agar dapat merumuskan kebijakan dengan landasan yang kuat melalui pertimbangan rekam jejak program maupun kebijakan yang telah atau sedang berlangsung di Indonesia. Penentuan program dan kebijakan baru maupun keberlanjutan dari yang telah terlaksana dilakukan melalui tahap perolehan rekomendasi dari para peneliti dan pemerhati kebijakan KIA sebagai bentuk sumbangsih kepada bangsa. Sehingga diharapkan melalui Fornas V JKKI ini akan tercipta bentuk komunikasi yang terarah dan strategis antara pembuat rekomendasi (peneliti dan pengamat) dengan pemangku kepentingan. Berbagai rekomendasi (program maupun penelitian) dapat teridentifikasi dengan jelas terutama penyusun kebijakan KIA di masa mendatang.

  Tujuan:

  1. Membahas pendekatan perencanaan kesehatan berdasarkan bukti serta analisa bottleneck yang telah ada di Indonesia dan bagaimana para akademisi serta praktisi kesehatan dapat mendukung perbaikan perencanaan kesehatan di Indonesia, melalui pemaparan hasil pembelajaran dari:
    1. Penelitian terbaru di bidang kesehatan ibu dan anak di Indonesia
    2. Inisiatif Perencanaan & Penganggaran Berbasis Bukti Sektor KIA (Investment Case) di Provinsi Papua
    3. Program Sister Hospital di NTT
    4. Program Expanding Maternal and Neonatal Survival (EmaS) di Jawa Tengah
    5. Millennium Acceleration Framework (MAF)
    6. Integrated Microplanning (IMP) Puskesmas di Provinsi Papua
    7. Inisiatif Analisis Situasi Ibu dan Anak (ASIA)
    8. District-Team Problem Solving (DPTS) di level nasional dan daerah
    9. Program penguatan kepemimpinan dan tatakelola pemerintahan untuk kesehatan USAID-Kinerja
  2. Mengidentifikasi faktor penghambat dan pendukung perumusan, pengembangan dan implementasi kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak di era desentralisasi
  3. Menyediakan rekomendasi bagi penyusunan kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak di masa depan
  4. Membangun jaringan peneliti dan pengamat kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia sebagai upaya untuk melakukan monitoring terhadap kinerja implementasi program dan kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak

 

  Waktu Kegiatan

Kegiatan ini akan dilaksanakan bersamaan dengan Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan.

Hari, tanggal  : Rabu – Jumat, 24 – 26 September 2014
Tempat         : Hotel Trans Luxury, Bandung

Agenda Kegiatan:

Waktu

Keterangan Acara dan Ruangan

 

24 Sept 2014

Ruangan: Tentative

 

07.30 – 08.00

Registrasi Peserta Forum Nasional

 

08.00 – 09.00

Laporan Ketua Panitia

Laporan Ketua Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia

Pembukaan oleh Rektor Universitas Padjajaran

Dr. dr. Deni K Sunjaya, DESS

Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia, DEA

09.00 – 10.00

Keynote speech:
Kendala Pencapaian MDGs di Indonesia

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas)

10.00 – 10.30

Coffee Break

 

10.30 – 12.00

Sesi Panel 1 –Pencapaian MDGs

 

12.00 – 13.30

Lunch Break

 

13.30 – 15.00

Sesi Poster 1

Presentasi Abstrak KIA

 

Sesi Paralel 1 : Kebijakan KIA

Ruangan: Tentative

 

Tantangan Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia:

Pemaparan Hasil Penelitian Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia

  1. Health Seeking Behavior untuk KIA: Hasil Temuan di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur
  2. Opsi Sistem Pengukuran Kematian Ibu dalam Mendukung Evidence-Based Policy Making
  3. Determinan Kematian Ibu di Labuhan Batu Utara Provinsi Sumatera Utara.
  4. Hasil Implementasi dan Pembelajaran dari Program Sister Hospital di Provinsi NTT.

  5. Program EMaS di Provinsi Jawa Tengah

  6. Strengthening Leadership and Management Capacities for Health Service Delivery (Kinerja) – USAID

 

 

 

Dr.Dra. Atik Tri Ratnawati, MA 
(PKMK FK, Universitas Gadjah Mada)

Dr. Siti Nurul Qomariah, PhD
(FKM Universitas Indonesia)

Juanita Abubakar, MM
(FKM Universitas Sumatera Utara)

Stefanus Bria Seran, MD, MPH
(Dinkes Provinsi NTT)

Dr. Hartanto Hardjono, MMedSc
(EMaS Project, Provincial Team Leader
Central Java)

Dr. Marcia Soumoukil , MPH
(USAID Kinerja/RTI)

Moderator

Prof. Dr. dr. Alimin Maidin, MPH

Pembahas

dr. Elizabeth Jane Soepardi, MPH, DSc..
(Direktur Bina Kesehatan Anak, Kementrian Kesehatan RI) – in confirmation

dan Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, PhD (Bappenas)

15.00 – 15.30

Coffe Break

 

15.30 – 17.00

Sesi Paralel 2 : Kebijakan KIA

Ruangan : Tentative

 

Pembelajaran dari inisiatif perencanaan dan penganggaran untuk sektor KIA

  1. Investment Case di Provinsi Papua
  2. District Team Problem Solving (DTPS) Perspektif dan Perkembangan Level Nasional
  3. District Team Problem Solving (DTPS) Kota Kupang
  4. Microplanning untuk KIA di Provinsi Papua dan lainnya
  5. ASIA (Analisa Situasi Ibu dan Anak)
  6. Millennium Acceleration Framework (MAF) UNDP

 

Ir. Agustinus Bagio, M. MT 
(Bappeda Provinsi Papua)

dr. Gita Maya Koemara Sakti, MHA
(Direktorat Kesehatan Anak, Kementerian Kesehatan Indonesia)

Agustinus Hake 
(Bappeda Kota Kupang)

Drg. Alloysius Giyai, M.Kes
(Dinkes Provinsi Papua)

Hikmah, ST, Msi 
(Kabupaten Polewali Mandar)

Dr. Arum Atmawikarta, MPH
(Sekretaris Eksekutif MDGs Nasional) 

Moderator

dr. Tiara Marthias, MPH

Pembahas

Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, PhD (Bappenas)

dr. Azhar Jaya, SKM, MARS (Biro Perencanaan dan Anggaran Kementrian Kesehatan RI)

25 Sept 2014

Ruangan: Tentative

 

07.30 – 08.30

Registrasi Peserta

 

08.30 – 10.00

Sesi Pleno 2  – Diskusi Panel Monitoring dan Evaluasi JKN

 

10.00 – 10.30

Coffee Break

 

10.30 – 12.00

Sesi Pleno 3Universal Coverage Lesson Learnt from Several Countries

 

12.00 – 13.30

Lunch Break

 

13.30 – 15.00

Sesi Pleno 4 – Diskusi Panel Lesson Learn: Pelaksanaan JKN di berbagai daerah di Indonesia

13.30 – 15.00

Rencana Kegiatan Fornas JKKI Selanjutnya

15.30 – 16.00

Coffee Break

 

16.00 – 17.30

Sesi Paralel 4 Kebijakan KIA

 

Ruangan : Tentative

 

Presentasi Free Paper:

Paper 1:
Prevalensi Rasio Pelayanan Kesehatan Maternal dan Ketersediaan Fasilitas Kesehatan Menyongsong era JKN di Indonesia

Presenter

Niniek Lely Pratiwi, Hari Basuki

Paper 2:
Tantangan dalam Perencanaan dan Penganggaran Program Kesehatan Ibu dan Anak di Provinsi Papua

Deni Harbianto, et al.

Paper 3:
Perubahan Layanan Kesehatan Ibu dan Anak di Era Jaminan Kesehatan Nasional

Nurul Khotimah

Paper 4:
Pengaruh Pendidikan Kesehatan tentang Kehamilan Risiko Tinggi Melalui Layanan Pesan Singkat terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Ibu Hamil

Esti Hitatami dkk

Paper 5:
Tantangan Pencapaian Target MDG’s di Daerah Kepulauan Sula Provinsi Maluku Utara

Krispinus Duma

Paper 6:
Prediksi Kematian Neonatal Menurut Penyebab Kematian dengan Model ARIMA Box Jenkins Tahun 2008-2013 di RSUD Prof DR. W. Z. Johannes Kupang

Herlin Pricilia Pay

Paper 7:
Kontribusi Program CSR Perusahaan dalam KIA (Studi Implementasi Mobil Sehat di Daerah Sulit)

Dwi Endah, SKM

Moderator

Dr. Nyoman Anita Damayanti, drg.,MS

17.30 – Selesai

Penutupan

 

26 Sep 2014

Ruangan: Tentative

 

08.00 – 15.00

Pelatihan Penulisan Policy Brief:

(Tim Pokja KIA mengikuti workshop)

 

15.00 – 16.00

Penutupan Forum Nasional

 

 

  Peserta

Forum ini mengundang para para pengambil kebijakan, akademisi (dosen, staf pengajar), peneliti, praktisi kebijakan kesehatan, atau semua pihak yang tertarik dengan kebijakan Kesehatan Ibu Anak (KIA) untuk mengikuti kegiatan ini.

 

  Keterangan lebih lanjut:

Wisnu Firmansyah
Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Sayap Utara Lt. 2, FakultasKedokteran UGM
Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281
Ph. /Fax : +62274-549425 (hunting)
Mobile :+62 812 15182789
Email :airishwisnu@gmail.com; fjkki2013@gmail.com;
Website : www.kebijakankesehatanindonesia.net  

 

 

Kelompok Kerja Pembiayaan Kesehatan Indonesia

  PENDAHULUAN

Jaminan Kesehatan Nasional sebagai amanat UU No 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah terselenggara di Indonesia pada awal 1 Januari 2014. Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah menyebabkan reformasi pembiayaan kesehatan di Indonesia. Tujuan JKN yaitu tercapainya keadilan pelayanan kesehatan. Kebijakan JKN ini untuk mendorong terpenuhinya ketidakmerataan di berbagai wilayah di Indonesia terhadap ketersediaan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, dan akses pelayanan kesehatan karena kondisi geografis yang berbeda. Di lain pihak, UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan mengatur besaran anggaran kesehatan pusat yaitu 5 persen dari APBN di luar gaji, sedangkan APBD Propinsi dan Kab/Kota adalah 10 persen di luar gaji, dengan peruntukannya 2/3 untuk pelayanan publik. Hal yang menarik adalah anggaran pemerintah pusat dari tahun ke tahun yang rawan akan pemotongan anggaran karena keterbatasan celah fiskal.

Sumber pembiayaan di Indonesia (2005-2011) dari data NHA 2013 (Soewondo et. al. 2013) mengalami dinamika yang menarik. Peningkatan sumber anggaran ini terutama diarahkan untuk biaya pengobatan (kuratif), namun bagaimana dengan anggaran untuk program promotif dan preventif. Penelitian di berbagai propinsi menunjukkan bahwa pembiayaan untuk pelayanan kesehatan preventif dan promotif masih rendah (data dari studi PHCFBS dan PBB). Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa pemerintah daerah menganggap bahwa pelayanan kesehatan preventif dan promotif di tingkat primer merupakan tanggung jawab pusat. Akibatnya di berbagai daerah, APBD untuk operasional Puskesmas hampir tidak ada.

Dalam situasi pembiayaan kesehatan yang dinamis ini, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia yang dimulai sejak 1 Januari tahun 2014 memberikan andil yang besar terhadap reformasi sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia. JKN diharapkan secara bertahap menjadi tulang punggung untuk mencapai Universal Health Coverage di tahun 2019 sebagaimana diamanatkan Undang-Undang. Beberapa isu penting pada pembiayaan JKN ini yaitu apakah manfaat JKN dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di daerah dan apakah anggaran investasi kesehatan meningkat baik di level k-Kementrian k-Kesehatan maupun di pemerintah daerah. Investasi kesehatan yang dimaksud adalah infrastruktur, peralatan, dan investasi sumber daya manusia. Situasi ini akan dibahas dalam sesi-sesi khusus untuk Monitoring Jaminan Kesehatan Nasional dengan pertanyaan kritis: Apakah JKN akan memperburuk situasi pemerataan pelayanan kesehatan di Indonesia?

Untuk mendukung rekomendasi kebijakan pembiayaan kesehatan dapat disosialisasikan dengan baik, forum JKKI ini juga mengagendakan penyusunan policy brief pada hari ke-3. Tujuan pelatihan ini adalah menghasilkan berbagai policy brief untuk pemerintahan yang baru.

Peran pemerintah, akademisi, peneliti, pemerhati kesehatan, dan masyarakat saat ini sangat dibutuhkan untuk mendukung berjalannya JKN di Indonesia serta membantu penyempurnaan sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia. Akselerasi antara pusat dan daerah dalam strategi pemerataan dan keadilan pelayanan kesehatan di Indonesia harus diwujudkan. Melalui Fornas JKKI ke V ini selain pemaparan evaluasi JKN dan rumusan rekomendasi program dan kebijakan pembiayaan kesehatan, forum ini diharapkan dapat membangun jaringan peneliti dan pengamat kebijakan pembiayaan kesehatan di Indonesia yang saling berkoordinasi.

  TUJUAN

  1. Membahas reformasi pembiayaan kesehatan di Indonesia
    1. Hasil-hasil penelitian pembiayaan kesehatan di Indonesia, termasuk NHA dan berbagai studi lainnya.
    2. Monitoring dan Evaluasi JKN: Studi awal Pelaksanaan di awal tahun 2014
  2. Mengidentifikasi permasalahan pembiayaan kesehatan di Indonesia
  3. Mengusulkan rekomendasi yang bisa dihasilkan untuk penyusun kebijakan pembiayaan kesehatan
  4. Membangun jaringan peneliti dan pengamat kebijakan pembiayaan kesehatan di Indonesia sebagai upaya untuk melakukan monitoring kebijakan sistem pembiayaan kesehatan Indonesia.

tempat  WAKTU DAN TEMPAT

Kegiatan ini akan dilaksanakan bersamaan dengan Forum Nasional V Jaringan Kebijakan Kesehatan.

Hari, tanggal :Rabu – Jumat, 24 – 26 September 2014
Tempat         :Komplek Trans Studio, Bandung

 

  Agenda Kegiatan:

Waktu

Keterangan Acara dan Ruangan

 

24 September 2014

Ruangan: Tentative

 

07.30 – 08.00

Registrasi Peserta Forum Nasional

 

08.00 – 09.00

Laporan Ketua Panitia

Laporan Ketua Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia

Pembukaan oleh Rektor Universitas Padjajaran

Dr. dr. Deni K Sunjaya, DESS

Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia, DEA

09.00 – 10.00

Keynote speech:

Kendala Pencapaian MDGs di Indonesia

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas)

10.00 – 10.30

Coffee Break

 

10.30 – 12.00

Sesi Pleno 1Pencapaian MDGs

Moderator: Irvan Afriandi, dr., MPH.,DrPH

Studi Komparatif Pencapaian MDGs dan Universal Coverage Antar Negara di Kawasan ASEAN

Tantangan Kebijakan Pasca MDGs 2015

Perspektif Interdependensi Global Agenda Pasca MDGs 2015

Sesi Pleno 2Penguatan sistem kesehatan dalam Pencapaian MDGs

Moderator: Ilsa Nelwan, dr., MPH.

Critical Issues in Strengthening Health System: a Health Sector Review

Current Evidences in Indonesian Health Systems Strengthening

Regulasi Penguatan Sistem Kesehatan di Indonesia

Transformasi Pendidikan Tinggi Kesehatan dalam Memperkuat Sistem Kesehatan untuk Akselerasi Percepatan Pencapaian MDGs

Speaker:

Dr. Deni K Sunjaya, dr., DESS (Fakultas Kedokteran Unpad)

Dr. Anung Sugihantono,dr.,M.Kes (Dirjen Bina Gizi dan KIA Kemkes RI

Prof. Dr. Nila Moeloek, dr., SpM (Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs)

 

 

 

 

 

Dr. Nina Sardjunani,dra.,MA (Deputi Menneg PPN/Kepala Bappenas Bid. SDM & Kebudayaan)

John Leigh (Australia-Indonesia Partnership for Health Systems Strengthening)

Sekretaris Jenderal Kemkes RI

Dr.Elsa P Setiawati, dr.,MM (Fakultas Kedokteran Unpad)

12.00 – 13.30

Lunch Break

 

13.30 – 14.15

   

Sesi Paralel 1 : Kebijakan Pembiayaan

Ruangan: Tentative

 

Primary Health Care Financing and Expenditure Bottleneck Study (20′)

Moderator : Dr.Dumillah Ayuningtyas, dra.,MARS

Speaker

M. Faozi Kurniawan, SE., Akt ., MPH

Pembahas:

Drg. Tini Suryanti Suhandi
Kepala Biro Perencanaan Kemenkes RI

Diskusi (25’)

 

14.15– 15.00

Analisis Peran Pemerintah dalam Implementasi JKN

Putu Astri Dewi Miranti 

Potensi Peran Lembaga Sosial dalam Sistem Kesehatan di Era JKN

Hilmi Sulaiman Rathomi

Kajian Media: Analisis Awal Penyelenggaraan JKN

Budi Eko Siswoyo

Analisis Kebijakan dan Hubungan Purchaser dengan Providers dalam Era JKN di Indonesia tahun 2014

Vini Aristianti, dkk

Advokasi Keberlanjutan Program Jaminan Kesehatan dengan Pendekatan Ekonomic Lost (Studi Kasus Keberlanjutan Program JPKMU dalam BPJS Kesehatan di Provinsi Sulawesi Barat)

Kasman Makassau

Utilisasi Jaminan Kesehatan Di Wilayah Timur Indonesia Analisis Berdasarkan IFLS 2012

Haerawati Idris 
 

Diskusi

 

15.00 – 15.30

Coffe Break

 

15.30 – 16.15

Sesi Paralel 2 : Kebijakan Pembiayaan Kesehatan

Ruangan : Tentative

 

Pembelajaran dari Hasil Penelitian Pembiayaan Kesehatan di Indonesia

Studi NHA di Indonesia (20′)

Speaker

Prastuti Soewondo, SE, MPH, PhD

Marianus Sae (Bupati Ngada)

Diskusi

Diskusi (25’)

 

Moderator: 

Sharon Gondodiputro, dr., MARS., MH

16.15-17.00

Public Health Insurance in Eastern Indonesia: Is It True Benefit? (Analysis of Indonesian Family Life Survey Data East 2012)

Isak Iskandar 

 

Gambaran JKN di Kalimantan Timur Menuju UHC

Rahmat Bakhtiar dan Krispinus Duma 

Perbandingan Sistem Pembiayaan Sebelum dan Sesudah JKN di Kabupaten Kuningan tahun 2014

Cecep Heriana

Masyarakat Meragukan Mutu Layanan Kesehatan Gratis: Persepsi Masyarakat terhadap Pemanfaatan Jaminan Kesehatan Masyarakat di Jawa Timur

Nurul Jannatul F

Tantangan dan Skenario Pelaksanaan Kebijakan JKN di Wilayah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (Studi Kasus di Wilayah Provinsi NTT

 

Dominirsep O Dodo

Pelaksanaan Program BPJS Kesehatan di Puskesmas Martapura

Fauzie Rahman, dkk 

 

25 September 2014

   

07.30 – 08.30

Resume Hari 1

 

08.30 – 10.00

Sesi Pleno 3  – Diskusi Panel Monitoring dan Evaluasi JKN

Moderator: Prof.Dr.HM. Alimin Maidin, dr., MPH

Pembicara:

Donald Pardede, dr., MPPM (Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, Kemkes RI)

Dr. Fachmi Idris, dr., M.Kes (Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan)

Dr. Chazali H Situmorang, Apt., M.Sc.PH (Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional)

 

Pembahas:

Prof.dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD (UGM)

Dr. Henni Djuhaeni, dr., MARS (UNPAD)

10.00 – 10.30

Coffee Break

 

10.30 – 12.00

Sesi Pleno 4Universal Coverage Lesson Learnt from Several Countries

Achieving Universal Coverage: Lesson Learnt

Achieving Universal Coverage: Lesson Learnt from Thailand

Implementation of Universal Coverage in Indonesia: Space for Improvement

Speaker:

John L (Wordl Bank)

Viroj Tangcharoensathien

Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH., DrPH

12.00 – 13.30

Lunch Break

 

13.30 – 15.00

Sesi Pleno 5 – Diskusi Panel Lesson Learnt: Pelaksanaan JKN di berbagai daerah di Indonesia

Studi Kasus di Jabar

Studi Kasus di Prov NTT

Studi Kasus di DKI Jakarta

Studi Kasus di Kab. Bintuni Papua Barat

Speaker:

Tim Dept IKM FK UNPAD dan DInkes Prop Jabar

Tim IKM FKM UNDANA

Ka Dinkes Prop. DKI Jakarta

Ka Dinkes Kab Bintuni/Eka Suraji, dr., PhD

15.00 – 15.30

Rencana Kegiatan Fornas JKKI Selanjutnya

15.30 – 16.00

Coffee Break

 

16.00 – 16.55

Sesi Paralel  3 Kebijakan Pembiayaan Kesehatan

Ruangan : Tentative

 

Free Paper 7

 

Free Paper 8

 

Free Paper 9

 

17.00-17.30

Resume Akhir

 

17.30 – Selesai

Penutupan

 

26 September 2014

Ruangan: Tentative

 

08.00 – 15.00

Pelatihan Penulisan Policy Brief:

(Tim Pokja Pembiayaan Kesehatan mengikuti workshop)

 

15.00 – 16.00

Penutupan Forum Nasional

 

 

  PESERTA

Forum ini mengundang para para pengambil kebijakan, akademisi (dosen, staf pengajar), peneliti, praktisi kebijakan kesehatan, atau semua pihak yang tertarik dengan kebijakan Pembiayaan Keseghatan di Indonesia untuk mengikuti kegiatan ini.

 

  Keterangan lebih lanjut:

Wisnu Firmansyah
Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Gedung IKM Sayap Utara Lt. 2, FakultasKedokteran UGM
Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281
Ph. /Fax : +62274-549425 (hunting)
Mobile :+62 812 15182789
Email :airishwisnu@gmail.com; fjkki2013@gmail.com;
Website : www.kebijakankesehatanindonesia.net  

 

 

Diskusi Bulanan Kedelapan: Pembelajaran Online dan Program Family Planning

siwi

siwiPKMK kembali menggelar Diskusi Bulanan untuk para peneliti dan konsultannya. Kali ini, diskusi yang diangkat terkait dengan upaya pembelajaran online dan program KB. Diskusi diawali dengan sedikit gambaran dari dr. Rossi Sanusi, MPA, PhD. Pertemuan kedua, KM ialah cara menyampaikan info yang tepat pada waktu yang tepat. Supaya mempunyai daya saing yang lebih unggul. Melalui pelatihan, mentoring, wawancara untuk menggali orang yang lebih tahu.

Banyak langkah yang dilakukan untuk menyebarluaskan KM ini. Beberapa diantaranya: Mekanisme sederhana (lokakarya, magang dan sebagainya), melalui teknologi informasi (TI), process mapping dan conceptual frameworks serta communities of practices (COP). Apa yang dimaksud dengan COP? Seperti dijelaskan oleh Jean Lave dan Etiene Wanger, komunitas ini merupakan kelompok yang bekerja dalam suatu keahlian. Kemudian secara alami mereka tumbuh karena minat yang sama, atau khusus dibentuk untuk menambah pengetahuan, melalui berbagi informasi, dan pengalaman bersama.

Ini merupakan contoh best practice yang didanai USAID di bidang nurses, nursing dan mid wivery. dra. Retna Siwi Padmawati, MA kemudian memaparkan, program untuk pendidikan pekerja kesehatan yang fokus pada pengetahuan, bergantung pada resources dan pada materi yang tidak mudah diterapkan.

Poin penting yang digali oleh tema ini antara lain,

  1. Apa kompetensi family training dan kompetensi?
  2. Stratistik struktur grup.
  3. Pergantian dan tantangan yang ada hubungannya dengan family planning.

Retna Siwi menyatakan usulan untuk pengembangan tema ini, tema family planning terlalu sederhana, maka harus diintegrasikan pada yang lebih besar dan agar tujuan pembelajaran yang terukur. Analisis selanjutnya, dunia kedokteran masih membutuhkan kompetensi non klinik misalnya: supply, logistik, manajemen dan lain-lain. Lalu diperlukan integrasi antar subjek dan tahun penelitian. Kadang apa yang disiapkan saat belajar tidak sesuai dengan kebutuhan saat kerja.

Preview penelitian ini 273 individu dan 65%-nya dari Asia, Afrika dan Amerika Tengah. Hampir pada seluruh kasus HIV/AIDS, tidak ada hubungan antara teori dan praktek, banyak instructor yang tidak menyediakan clinical services. Karena keterbatasan akses, kita bisa gunakan gateaway/internet.

Diskusi:

Trisasi (MMR UGM) menanyakan KB masih dipersepsikan berbeda, edukasinya: caranya bagaimana? Artikel ini 49 negara dengan 273 individu: partisipan ini sedikit, apakah ini mewakili keberhasilan program KB di negara masing-masing? KB ini banyak menyangkut faktor social agama yang mempengaruhi. Masalah sosial apa yang dihadapi para educator di beda benua.
Retna Siwi menjelaskan, jadi yang diteliti atau educator disini seperti mendaftar secara volunteer. Mereka tertarik dengan tema pendidikan online family planning. Riset ini mengikuti John Hopkins, karena terjadi ilmiah, maka siapapun bisa berkomentar. Educators nya juga belum jelas. Maka, ketika dicermati, penelitian ini untuk sharing (perilaku, cara berkomunikasi dan lain-lain) atau training (dari pengajar). Lebih jauh dalam artikel dikatakan bahwa penelitian ini lebih banyak ke sharing hasil diberlakukannya family planning.
Selengkapnya, silakan simak di sini:

Sharing best practices through online communities of practice: a case studyAnnamma Thomas, Grace P Fried, Peter Johnson, Barbara J Stilwell Human Resources for Health 2010, 8:25 (12 November 2010) Abstract | Full text | PDF

 

 

 

Sesi Paralel, 24 Agustus 2015

24ags-kelmutu

Kesehatan Ibu dan Anak


Salah satu bidang yang sangat diutamakan Indonesia ialah kesehatan terutama masalah Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Fokus pemerintah untuk memenuhi target MDGs dalam bidang ini ialah dengan menekan angka kematian ibu dan anak (AKI). Dalam sesi paralel pokja Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) akan membahas beberapa policy brief yang sudah dikirimkan oleh peserta. Moderator diskusi siang ini adalah Dr. dr Hafni bachtiar, MPH dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas.

Diskusi pertama dibawakan dari Balitbangkes Jawa Barat dengan tema “Program Pendampingan Persalinan oleh Tenaga Bidan Sebagai Upaya Pendekatan Etnis Baduy Dalam”. Penelitian ini merupakan penelitian etnografi yang dilaksanakan di suku Baduy. Latar belakangnya yaitu ada beberapa budaya daerah yang masih membahayakan kesehatan ibu anak. Di suku Baduy ibu melahirkan secara mandiri, dan tenaga kesehatan hanya membantu pada saat setelah melahirkan. Dampak dari budaya tersebut yaitu tidak sedikit bayi baru lahir hanya bertahan 0-48 jam. Oleh karena itu, diharapkan bidan bisa menjadi barisan terdepan dalam membantu proses persalinan di suku Baduy.

Selanjutnya diskusi dibawakan oleh perwakilan dari Fakultas Kedokteran UGM. Dengan tema Pengembangan Kebijakan Manual Rujukan Khusus KIA di Tingkat Kabupaten/Kota” . Tujuan dibuatnya manual rujukan yaitu untuk menolong persalinan pada ibu baik normal maupun dengan kasus kegawatan dengan sedini mungkin. Manual rujukan juga merupakan salah satu cara untuk menekan angka kematian ibu dan anak. Ada 10 langkah dalam menyusun manual rujukan KIA, semuanya melibatkan para tenaga kesehatan untuk saling berkolaborasi. Dengan adanya manual rujukan diharapkan Rumah Sakit menyiapkan jejaring PONEK 24 jam.

Reporter : Elisa Sulistyaningrum. 

List Presentasi dan Policy Brief

Kelompok JKN


Sesi diskusi paralel pertama pada pokja JKN terbagi menjadi aspek evaluasi dan aspek penggunaan.Pada aspek evaluasi, materi diawali dengan topik mengenai analisis ketersediaan fasilitas kesehatan dan pencapaian JKN se- Provinsi Bengkulu yang dibawakan oleh Bapak Yandrizal.Beliau menjelaskan beberapa penyebab ketidakmerataan akses dan mutu pelayanan yang juga dikaitkan dengan kompensasi baik yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan BPJS Kesehatan.

Pentingnya konsep pemasaran sosial dalam sosialisasi JKN kepada masyarakat menjadi salah satu fokus materi yang disampaikan oleh Ibu Siti Kadijah Nasution.Dalam menganalisis implementasi program pelayanan kesehatan ibu di kab. Mandailing Natal, beliau menilai bahwa pelaksanaan sistem rujukan belum optimal. Bukan hanya terkait kuantitas, karena kualitas bidan desa pun sangatlah minim.Program-program seperti Posyandu dan desa siaga diharapkan lebih dapat melibatkan organisasi informal di masyarakat.

Diskusi paralel aspek evaluasi JKN ditutup dengan materi dari Bapak Ambo Sakka (FKM Universitas Halu Oleo) mengenai implementasi JKN di Provinsi Sulawesi Tenggara. Menurut beliau, sosialisasi JKN telah dilakukan, namun masyarakat belum sepenuhnya memahami program JKN. Fasilitas kesehatan yang selalu dihandalkan hanya RS milik pemerintah dan Puskesmas. Komitmen dalam meningkatkan infrastruktur kesehatan akan mendukung kualitas penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

Sebagai audiens, Bapak Deni dari Dinkes Lima Puluh Kota menambahkan beberapa masukan pada sesi diskusi.Salah satunya terkait dengan penerapan tunjangan daerah bahkan peran sistem pembayaran dokter spesialis per hari untuk mendukung ketersediaan tenaga medis di daerah.Kendala administrasi dalam penyelenggaraan JKN juga menjadi topik utama yang dibahas bersama-sama dalam sesi paralel ini.

Diskusi paralel aspek evaluasi dilanjutkan dengan bahasan mengenai aspek penggunaan dalam program JKN. Topik pertama disampaikan oleh Bapak Kasman Makkasau dari RSUD Provinsi Sulawesi Barat mengenai advokasi keberlanjutan program JKN dengan pendekatan economic lost. Menurut beliau, strategi yang telah direkomedasikan World Bank ini berhasil membawa program JPKMU terintegrasi dengan JKN, bahkan disertai bantuan iuran 70% dari pemerintah daerah dan 30% dari pemerintah provinsi.

Gambaran penyerapan klaim INA-CBG’s dan kebijakan pemanfaatan dana sisa atas pelaksanaan JKN di NTT melengkapi kajian monev JKN di sesi paralel JKN sore itu. Mayoritas penggunaan dana JKN yang dilakukan oleh peserta non PBI menjadi indikasi tidak meratanya akses pelayanan kesehatan. Komitmen pemerintah daerah dalam meningkatkan investasi dan BPJS Kesehatan dalam mengoptimalkan dana kompensasi sangat penting dalam penyelenggaraan JKN.
Kajian yang menelusuri faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan PBI di Puskesmas Sambutan Samarinda dibawakan oleh Ibu Nur Rohmah.Salah satu temuan yang unik adanya kecenderungansikap baik masyarakat pada JKN justru mendorong masyarakat tidak memanfaatkan layanan.Beliau menilai bahwa sosialisasi perlu dioptimalkan kembali dan diiringi dengan peningkatan kapasitas SDM kesehatan di daerah.

Salah satu topik yang didiskusikan bersama adalah keberhasilan pendekatan economic lost yang memang tidak lepas dari komitmen pemerintah dan adanya koordinasi lintas sektor, misalnya dengan TNP2K dalam penentuan masyarakat yang berhak mendapatkan subsidi iuran atau penerima bantuan iuran dari sharing dana pemerintah provinsi dan kab/ kota. Walaupun masuk dalam mekanisme APBD, selama pemerintah berkomitmen maka tertib administrasi dalam membayar iuran peserta ke BPJS Kesehatan pun tidak akan menunggak.

List presentasi dan Policy brief

Reporter : BES

Kelompok Mutu Pelayanan Kesehatan


24ags-kelmutuMutu kesehatan dalam era JKN menjadi isu hangat yang selalu diperbincangkan oleh peneliti. Tiga peneliti daru UNHAS dan dua peneliti dari UGM menyajikan hasil penelitian tentang mutu kesehatan pada Forum kebijakan kesehatan Indonesia yang ke-6 yang diselenggarakan di hotel Bumi Minang. Kelima peneliti berhasil memancing peneliti dari berbagai universitas lain di Indonesia untuk berdiskusi agar dicapai rekomendasi-rekomendasi mauoun saran untuk perbaikan penelitian lebih lanjut.

Hasil penelitian telah dipublikasikan dalam bentuk policy brief dengan harapan hasil penelitian dapat dibaca oleh pengambil kebujjakan secara cepat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperbaiki kelemahan sistem pada era JKN. Seperti masalah yang timbul saat ini yakni tentang mutu pelayanan dianggap turun karena sistem pembayaran INA CBG,s. Sering terjadi perbedaan persepsi antara verifikator BPJS dengan dokter di rumah sakit tentang standar prosedur yang diberikan pada pasien.

Pada sesi paralel dengan pokja MUTU, dua peneliti yakni Eva Tirtabayu hasri dan Nur Arifah membahas tentang fraud dalam layanan kesehatan. Fridawaty Rivai membahas tentang keselamatan pasien yang dihubungkan dengan kepemimpinan, komunikasi, dan supervisi. Noer Bahry Noor membahas tentang kepuasan pasien di RS Stella Maris Makassar dan Muhammad Hardantio membahas tentang sistem rujukan di DKI.
Hasil penelitian kelima peneliiti mengidentifikasi adanya continous quality improvement yang dilakukan pada sistem JKN di Indonesia, ini adalah angin segar bagi pemerintah bahwa peneiiti Indonesia peduli dan mendukung tercapainya universal health coverage tahun 2019.

List presentasi dan policy brief

reporter: Elisa Sulistyaningrum

Gizi, Kebijakan Rokok, dan Penyakit tidak menular


Perbaikan Gizi ibu dan anak dalam pencapaian target MDGs 4 dan MDGs 5

Gizi dalam siklus kehidupan memegang peranan penting, terutama dalam menekan angka kematian ibu dan bayi. Gizi yang baik selama kehamilan akan berpengaruh kepada pertumbuhan janin dan bayi setelah lahir. Gizi salah selama kehamilan akan memberikan pengaruh negatif bahkan konsekuensi jangka panjang terhadap bayi yang dilahirkan. Apabila gizi ibu selama kehamilan baik, maka akan membantu dalam menekan angka kematian ibu dan bayi dan bisa membantu pencapaian target MDGs 4 dan 5.

Ada tiga policy brief yang di presentasikan dalam pokja gizi masyarakat. Dua presntator dari Fakultas Kedokteran UGM dan satu dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Moderator dalam diskusi ini yaitu Prof. Dr. dr Indrawati Liputa, Sp Gk, Phd. Dalam presentasi dan diskusi ini dibahas beberapa tema diantaranya yaitu hubungan obesitas prakehamilan dengan kejadian preklampsia pada ibu hamil. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang didapat dari rekam medis rumah sakit dan menanyakan langsung berat badan serta tinggi badan kepada responden. Hasilnya angka kematian ibu di daerah magelang masih tergolong tinggi, dengan sebagian kasud adalah preeklampsia.

Selanjutnya presentator kedua menyampaikan presentasi mengenai hubungan sisa makan pasien dengan pembiayaan rawat inap. Pengukuran sisa makanan dilakuka dengan metode penimbangan sisa makanan. Semakin banyak sisa makanan pasien, mengakibatkan Lama rawat inap semakin bertambah dan kerugian pun akan terjadi pada rumah sakit dan pasien tersebut.

Pada akhir sesi ini ditutup dengan penyampaian materi mengenai penggunaan data AMP untuk penguatan kebijakan gizi di Kabupaten Sumba Timur. Angka kematian ibu dan bayi di kabupaten Sumba Timur tergolong tinggi. Penyebab kematian tertinggi neonatus di Kabupaten Sumba Timur adalah Berat Badan lahir rendah (BBLR) dan asfiksia (70,7%), dengan kematian tertinggi terjadi pada 0-48 jam pasca persalinan. Bila dtelusur ternyata penyebabnya adalah karena status gizi ibu kurang selama kehamilan. Berat badan sebagai salah satu komponen status gizi yang berkorelasi linier dengan status gizi ibu (berdasarkan IMT) merupakan faktor prenatal yang sangat menentukan status gizi bayi. Kejadian ini mengharapkan pemerintah pusat dan daerah lebih memperhatikan kepada peningkatan gizi ibu hamil. Guna menekan angka kematian ibu dan bayi serta untuk membantu pencapaian target MDGs 4 dan 5.

List presentasi dan policy brief

Reporter : Elisa Sulistyaningrum

Kelompok Penanggulangan Bencana


24ags-bcnTahun 2015 ini, untuk pertama kalinya Pokja Penanggulangan Bencana membuka kajian dalam forum Kebijakan Kesehatan Indonesia. Pada kelas paralel Pokja Penanggulangan Bencana ini membahas tentang kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia. Pada sesi ini menghadirkan 3 pembicara yaitu dari Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, UNFPA dan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat.

Pembicara pertama pada sesi ini adalah dr Indro Murwoko, Kepala Bidang Tanggap Darurat dan Pemulihan, Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Dalam pemaparannya dr. Indro menyampaikan bahwa ada perubahan paradigma dalam manajemen bencana di Indonesia yang semula fokus pada tanggap darurat, sekarang ini sudah menitikberatkan pada pengurangan risiko bencana pada fase pra bencana. Untuk mengurangi risiko bencana, maka perlu dilakukan upaya peningkatan kapasitas kelembagaan dan kebijakan. Kelembagaan dan kebijakan dalam penanggulangan bencana dilaksanakan melalui pembuatan perda terkait penanggulangan bencana, pembentukan kelembagaan penanggulangan bencana, seperti dibentuknya pusat penanggulangan krisis kesehatan regional , mengintegrasikan penanggulangan bencana dalam pembangunan daerah, serta penganggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai.

Pembicara kedua pada sesi ini adalah dr. Rosilawati Anggraini dari UNFPA. Beliau membahas tentang kebijakan dan implementasi kesehatan reproduksi pada saat bencana. Dalam pemaparannya dr. yang akrab disapa dr. Rosi ini menyampaikan pentingnya isu kesehatan reprosuksi pada saat bencana. Saat ini, belum banyak yang memberikan perhatian pada kesehatan reproduksi pada saat bencana. Mengapa kesehatan reproduksi menjadi penting pada saat bencana? Pertama adanya peningkatan kekerasan seksual akibat situasi krisis, adanya risiko peningkatan penularan HIV pada kepadatan penduduk yang tinggi dan kurangnya layananan keluarga berencana dapat meningkatkan kehamilan yang tidak diinginkan. Implementasi pelayanan kesehatan reproduksi dalam situasi darurat bencana dilaksanakan melalui paket pelayanan awal minimum (PPAM) kesehatan reproduksi pada saat awal bencana.

Sesi ke 3 Dr. dr Irene, MKM, menyampaikan tentang kebijakan dan pengalaman penanggulangan bencana krisis kesehatan di Provinsi Sumatera Barat. Beliau menyampaikan Provinsi Sumatera Barat merupakan daerah yang rawan bencana. Kebijakan Penanggulangan Bencana di Provinsi Sumatera Barat dilaksanakan dengan mengerahkan semua sumber daya yang ada, mengkoordinasikan kegiatan penanganan bencana yang dilakukan berbagai lembaga pemerintah, swasta dan relawan, merealisasikan prosedur tetap yang dibuat sebelum terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami dan manajemen bantuan satu pintu. Pemerintah Daerah sudah membuat koordinasi lintas sektor. Dr Irene menceritakan bagaimana pengalaman penanggulangan bencana di Mentawai. Pada saat itu, hampir semua fasilitas layanan kesehatan hancur. Dinkes Provinsi Sumbar menetapkan 3 rumah sakit rujukan, RSUD Tuapejat, RS dr. M Jamil dan RSUD Muko-muko. Akan tetapi Rumah sakit rujukan tersebut tidak bisa berjalan dikarenakan masalah operasional, maka disinilah pentingnya fungsi komando dan pada saat itu dan dibuatlah rumah sakit lapangan untuk mengatasi masalah tersebut.

list presentasi dan policy brief

Reporter : Oktomi Wijaya

Kelompok HIV / AIDS


Sesi I dari Pokja HIV dan AIDS kali ini membahas tentang ‘Integrasi Penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan untuk Mendukung Pencapaian UHC 2019’. Sesi ini dipimpin oleh dr. Juliandi Harahap sebagai moderator dan tiga materi terkait tema diatas akan dibawakan oleh tim peneliti dari PKMK UGM yaitu M. Suharni, Ign.Hersumpana dan Chrysant Lily. Sesi I ini dihadiri sekitar 47 peserta dengan latar belakang yang cukup bervariasi mulai dari perwakilan LSM local, pemangku kepentingan dan juga dari akademisi.

Sesi ini dibagi menjadi dua dimana 45 menit pertama adalah sesi presentasi oleh para pemateri dan sesi berikutnya selama 45 menit dilanjutkan dengan diskusi. Presentasi pertama oleh M. Suharni dengan topik ‘Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan Nasional’ yang menyampaikan hasil penelitian kerjasama antara PKMK FK UGM dengan DFAT yang merupakan penelitian multi center melibatkan 10 universitas di enam provinsi. Penelitian ini membahas tentang bagaimana integrasi antara program HIV dan AIDS dengan sistem kesehatan yang berjalan saat ini dan seperti apa efektifitasnya. Hasil yang ditunjukkan adalah tingkat integrasi belum menunjukkan hubungan yang kuat dengan efektifitas, hal ini dikarenakan integrasi sistem kesehatan sangat komplek dan dipengaruhi oleh banyak factor.

Topik kedua adalah ‘Implementasi Strategi Layanan Komprehensif (LKB) pada Prosedur Pengobatan HIV – IMS di Kota Yogyakarta dan Semarang’ yang disampaikan oleh Ign. Hersumpana. Penelitian ini merupakan hasil kerjasama antara PKMK FK UGM dengan Kemenkes yang dimaksudkan untuk melihat bagaimana pelaksanaan LKB di kedua kota serta bagaimana intervensi dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan LKB di kedua kota tersebut. Hasil menunjukkan adanya perubahan kearah yang lebih baik di keduan kota tersebut setelah dilakukan intervensi (peningkatan koordinasi dan kapasitas teknis). Penelitian ini menghasilkan rekomendasi kepada pemerintah untuk meningkatkan pelaksanaan LKB.

Topik terakhir disampaikan oleh Chrysant Lily yang membahas tentang ‘Tinjauan Sektor Komunitas dalam Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Disini dibahas pemetaan dari OMS/OBK yang bekerja di penanggulangan HIV dan AIDS serta bagaimana efektifitas kerja dari OMS/OBK ini. Disampaikan juga beberapa rekomendasi untuk meningkatkan optimalisasi kerja sektor komunitas untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Ketiga topik yang disampaikan pada dasarnya saling berkaitan mulai dari bagaimana integrasi kebijakan sampai pada implementasi pelayanan di lapangan baik di sektor komunitas maupun layanan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah seperti puskesmas dan rumah sakit.

Sesi diskusi berjalan cukup menarik dilihat dari respon dari peserta yang cukup banyak, meskipun tidak bisa semua pertanyaan dapat dibahas dan didiskusikan karena keterbatasan waktu. Pertanyaan yang diajukan meliputi ketiga topik yang dibahas dan dikaitkan dengan kondisi lapangan yang di hadapi oleh para peserta. Beberapa alternatif dan solusi juga didiskusikan dalam sesi ini. Diharapkan diskusi ini dapat memberika n tambahan wawasan khususnya terkait dengan upaya mendukung UHC 2019 (ip).

List presentasi

 

 

Sesi Paralel, 25 Agustus 2015

25ags-fktp

Kelompok Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


25ags-fktp

Fasilitas kesehatan tingkat pertama merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan sistem kesehatan di negeri ini. Perannya menjadi sangat sentral di masyarakat dalam menciptakan masyarakat yang sehat dan mandiri. Bukan hanya upaya kuratif dan rehabilitatif yang terus dilakukan namun juga upaya promotif dan preventif juga harus terus didorong untuk dikesinambungkan.

Pada pembicara pertama di sesi ini oleh Mariati Rahmat, SKM., MPH memaparkan hasil penelitiannya yang dilaksanakan di Kab. Sinjai Pov. Sulawesi Selatan tentang peran Posbindu di Desa dalam pengendalian faktor resiko penyakit tidak menular dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pencegahannya. Beliau memberikan penekanan bahwa ada penghematan anggaran yang jauh lebih murah pada proses intervensi di Posbindu daripada biaya yang mesti dikeluarkan setelah terpapar penyakit tidak menular.

Pembicara selanjutnya oleh Tri Astuti Sugiyatmi membahas tentang perlunya evaluasi kebijakan pemerintah tentang layanan puskesmas 24 jam di Kota Tarakan Prov. Kalimantan Utara. Di wilayah tersebut terdapat 3 dari 7 puskesmas yang telah memberikan layanan 24 jam dengan berbagai variasi. Layanan ini bukan hanya untuk UGD namun juga berlaku bagi poliklinik. Pelayanan 24 jam ini sangat menyita waktu para tenaga kesehatan ke program-program UKP sehingga upaya promotif dan preventif cenderung terabaikan. Dalam sesi diskusi tersampaikan bahwa kebijakan layanan puskesmas 24 jam ini lebih cocok di perkotaan namun dipertanyakan bagaimana sisi keadilannya di pedesaan.

dr. Suryani Yulianti, M.Kes melanjutkan topik tentang gambaran pelaksanaan pelayanan BPJS kesehatan di FKTP Kota Semarang Prov. Jawa Tengah. Pengumpulan data diambil melalui proses observasi dan wawancara terhadap 20 dokter dan 100 pasien yang sedang memeriksakan dirinya atau keluarganya di FKTP. Hasilnya menegaskan bahwa pelaksanaan BPJS kesehatan oleh FKTP sudah dilaksanakan secara komprehensive dan sesuai ketentuan serta dianggap memberikan manfaat baik bagi pasien maupun dokter pemberi layanan.

Pembicara terakhir oleh Budi Eko Siswoyo, SKM., MPH membahas tentang alokasi dan pemanfaatan dana kapitasi di puskesmas perawatan dan non perawatan di Kab. Ngada Prov. Nusa Tenggara Timur. Disampaikan bahwa alokasi kapitasi puskesmas perawatan lebih besar dari puskesmas non perawatan dengan rerata pemanfaatan jasa pelayanan sebesar 60% dan belanja modal justru menjadi biaya operasional paling tinggi. Studi ini menemukan adanya subsidi silang antar puskesmas dalam pemanfaatan dana kapitasi namun belum terlihat indikasi subsidi terbalik dalam pola utilisasi di puskesmas, hal ini memerlukan kajian lebih lanjut. Harapannya peningkatan dana kapitasi diiringi dengan tidak menurunnya anggaran kesehatan daerah dan dukungan regulasi dari daerah dalam perencanaan dan penganggaran sesuai kebutuhan.

list presentasi dan policy brief

 

Reportase: Surahmansah Said

Kelompok JKN


25ags-nuzulSelain terdapat pokja Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pada Forum Kebijakan Kesehatan Nasional (FKKI) VI tahun 2015 kali ini terdapat kelompok kerja yang berfokus pada pembiayaan kesehatan.Diskusi paralel pokja yang diselenggarakan sore di hari kedua ini (25 Agustus 2015) diisi oleh dua pemateri yang masing-masing memiliki topik spesifik.

Materi pertama adalah penelitian normatif terhadap Permenkes 11/ 2015 yang dinilai kurang sinergis dengan Permenkes 75/ 2014 dalam penggunaan bantuan operasional kesehatan (BOK) untuk kegiatan kesehatan gigi berbasis masyarakat. Penurunan capaian indikator status kesehatan gigi (Riskesdas 2007-2013) dinilai belum menjadi urgensi dalam pembiayaan kesehatan.Menurut beliau, adanya asas Lex Posterior Derogat Legi Priori secara hukum membuat peraturan lama secara otomatis tidak berlaku.

Sebagai pemateri kedua, Ibu Nuzulul Kusuma Putri (FKM Unair) menganalisis inefisiensi pengeluaran kesehatan keluarga mahasiswa di era JKN.Keengganan mahasiswa yang menjadi peserta JKN untuk pindah FKTP menunjukkan risiko out of pocket, sementara pihak universitas hanya menanggung biaya rawat jalan yang ditangani di klinik universitas. Salah satu alternatif solusi yang beliau sarankan adalah memperbaiki mekanisme portabilitas dalam program JKN.

25ags-yanuPada sesi diskusi, Bapak Deni dari Dinas Kesehatan Lima Puluh Kota menyatakan bahwa kurang optimalnya pembiayaan untuk kegiatan kesehatan gigi kemungkinan karena program ini dinilai kurang prioritas diantara program promosi dan pelayanan kesehatan dasar yang lainnya. Prof. Laksono juga menegaskan bahwa kesehatan gigi memang sangat erat kaitannya dengan perilaku kesehatan masing-masing individu. Peran advokasi, terutama PDGI sanngat penting dalam menyuarakan pentingnya dukungan pembiayaan pada program kesehatan gigi berbasis masyarakat. Sependapat dengan pendapat beliau, ibu Erna juga menambahkan bahwa adanya Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia dapat menjadi wadah kelompok kerja untuk advokasi, baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional.

list presentasi dan policy brief

 

Reporter : BES

Kelompok Kesehatan Ibu dan Anak


25ags-kia

Sesi paralel POKJA KIA ke-2 ini dimoderatori oleh Prof. DR. dr. Menkher Manjas SpB, SpBO, FICS dari Universitas Andalas. Di dalam sesi ini terdapat empat presentasi yang disampaikan, yaitu:

  1. Perluasan Kemitraan Menuju Pengembangan Kebijakan dan Program Kesehatan Berkeadilan oleh UNICEF yang diwakili Budi Setiawan.
    Bahasan ini menyoroti tentang masalah Angka Kematian Anak (AKA) yang mengalami stagnasi cakupan intervensi. Hal ini disebabkan karena intervensi yang tidak menyasar kepada pihak yang membutuhkan. Intervensi yang dilakukan terbukti hanya berhasil sebesar 50% dan masih ada isyu yang tidak menjadi perhatian seperti indoor polusi. Permasalahan ini membuat UNICEF melakukan upaya perbaikan di level outcome. Level perubahan yang ditawarkan yaitu melalui dikembangkannya budaya penggunaan data yang masih belum banyak terjadi, akuntabilitas dalam hasilnya karena belum pernah ada kepala daerah yang dipecat karena AKB di daerahnya mengalami peningkatan, dan implementasi yang lebih ditingkatkan karena masih jarang adanya hasil implementasi antara stakeholder. Di dalam level perubahan ini diharapkan akademisi berpartisipasi untuk melaksanakan program dan melakukan evaluasinya. UNICEF juga melihat bahwa otonomi daerah yang sering disalahkan bisa dijadikan titik terang untuk dijadikan sebagai alat pembuatankebijakan di daerah. Keterlibatan akademisi untuk melakukan advokasi dan keterlibatan aktif pemangku kebijakan juga diperlukan disini. Maka rekomendasi yang dapat diberikan adalah adanya dukungan pengembangan program yang dimulai dari evaluasi, penyederhanaan tujuan kebijakan yang kompleks agar mudah dipahami dan adanya promoteownership.
  2. Tata Kelola Kemitraan Bidan dan Dukun di Aceh Singkil oleh USAID yang diwakili Dr. Marcia Soumokil, MPH
    Diawali dari fakta bahwa masyarakat lebih mempercayai dukun dibandingkan dengan bidan di Aceh Singkil. Selain itu, gap yang terjadi adalah asal bidan yang tidak berasal dari Aceh sehingga masyarakat sulit memahami penjelasan yang diberikan. Walaupun program ini memang sudah pernah diinisiasi oleh UNICEF dan Kemenkes tetapi program yang dilakukan oleh USAID ini terdapat perbedaan. Perbedaannya yaitu, USAID mendorong Peraturan Bupatisebagai payung hukum untuk persalinan aman. Kegiatan ini juga mengajak stakeholder lain, seperti camat dan kepala desa.Selain itu, juga didorong adanya sistem intensif yang kuat dan memadai. Hal ini dilakukan agar dukun mau terlibat secara aktif dan tidak kehilangan pekerjaannya. Intensif yang diberikan berasal dari desa dan bidan. Desa memberikan uang sebesar 50.000 per tahun yang diambil dari ADD dan bidan memberikan uang sebesar 50.000 untuk setiap kasus yang dirujuk oleh dukun yang diambil dari uang BPJSnya . Kegiatan kemitraan antara bidan dan dukung ini akan diawasi oleh komite kesehatan di kecamatan. Program ini pun memperlihatkan efek yang positif, yaitu tingkat kepercayaan antara bidan dan dukun meningkat, kerjasama dan pembagian tugas yang jelas, bidan cepat mengetahui kasus kehamilan baru, dan kesadaran masyarakat terhadap persalinan yang aman semakin tinggi. Satu hal yang menarik adalah angka kematian ibu yang meningkat. Hal ini diduga karena sistem yang berjalan membuat pelaporan datanya menjadi lebih bagus sehingga data yang dicatat menjadi lebih banyak dan akurasinya menjadi meningkat.
  3. Tingkat Pengetahuan dan Keterampilan Bidan dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Revolusi KIA di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) oleh Elizabeth E. Wungouw
    Permasalahan yang terjadi adalah munculnya PERGU No.42 tentang Revolusi KIA. Salah satu kegiatan di revolusi KIA ini adalah mengharuskan semua persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan. Hal ini menyebabkan perlu diketahuinya tingkat pengetahuan dan keterampilan bidan, khususnya bidan koordinator yang menjadi tumpuan dalam pelaksanaan persalinan ini. Penelitian ini dilakukan dengan memberikan pre test dan post test. Hasil dari penelitian ini adalah pengetahuan yang dimiliki mengalami peningkatan sedangkan keterampilan tidak mengalami perubahan yang berarti. Padahal hasil yang diharapkan adalah pengetahuan dan keterampilan bidan koordinator bisa meningkat sehingga bisa ditularkan pada bidan yang ada. Rekomendasi yang dapat diberikan adalah adanya reevaluasi pengetahuan dan keterampilan bidan koordinator, perlu adanya pelatihan, dan regular seleksi, kriteria, dan penunjukkan bidan koordinator.
  4. Penguatan Sistem Monitoring Desentralisasi untuk Proyek Program Keluarga Berencana di Indonesia: Hasil dari Penilaian Awal oleh Tiara Marthias
    Diawali dari permasalahan angka Contraceptive Prevalence Rate (CPR) yang tidak mengalami perubahan dan angka Total Fertility Rate (TFR) yang meningkat. Selain itu, ditambah dengan adanya sistem desentralisasi yang mempengaruhi sistem kerja BKKBN. Maka penelitian ini bertujuan untuk memperkuat sistem evaluasi dan monitoring program KB di era desentralisasi. Program ini akan dilaksanakan dari tahun 2015 – 2017 dan dilakukan di 4 provinsi yaitu Sumatera Utara, Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Sulawesi Selatan. Walaupun demikian, program di DKI Jakarta belum dapat dilaksanakan karena masih ada kendala dengan BKKBN Provinsi. Penelitian ini ingin melihat mengenai kualitas data, aksesibilitas data, penggunaan data, dan teknologi informasi. Hasil dari kajian ini menunjukkan kurangnya kesadaran akan keperluan akan data. Hal ini terlihat di level atas yang melakukan transaksi data jika ada permintaan terlebih dahulu.Selain itu, adanya perbedaan laporan data yang ditujukan kepada Kementerian dan BKKBN. Terdapat juga kendala yang dialami oleh pelaku pencatat dan pelapor program KB, seperti kader yang memiliki berbagai formulir yang harus diisi, adanya perbedaan defisini antara Kementerian Kesehatan dan BKKBN terhadap indikator padahal responden yang dicatat adalah sama, dan jumlah PLKB yang semakin berkurang. Penggunaan data yang dilakukan terhadap keperluan perencanaan, penganggaran dan advokasi pun masih terbatas. Untuk sistem informasi diketahui bahwa di puskesmas paling tidak terdapat 4 aplikasi yang harus di jalankan padahal data yang dimasukkan sama saja. Rekomendasi yang diberikan adalah perbaikan kualitas pencatatan dan pelaporan, peningkatan sistem koordinasi dan informasi yang sesuai dengan kebutuhan pihak penggunaan data dan perlu adanya integrasi antar level.

list presentasi dan policy brief

 

Reporter: Theresia Pratiwi 

Pengembangan Kurikulum Bencana Kesehatan di Indonesia


25ags-bcnKeterlibatan yang pertama Pokja Penanggulangan Bencana dalam Forum Kebijakan Kesehatan Indonesia, dimanfaatkan oleh Divisi Manajemen Bencana Kesehatan PKMK FK UGM sebagai penyelenggara untuk menginisiasi terbentuknya forum perguruan tinggi kesehatan untuk penanggulangan bencana di Indonesia. Untuk itu, hari kedua ini khusus membahas mengenai kurikulum bencana kesehatan di FK dan FKM. FK diwakili oleh FK UGM dan FKM diwakili oleh FKM Universitas Andalas.

Bapak Adzka, menjelaskan mengenai perkembangan pembelajaran bencana untuk mahasiswa kesehatan masyarakat. Tema-tema perkuliahan yang dikembangkan didasarkan pada pentingnya keterlibatan tenaga kesehatan masyarakat dalam respon bencana. kedepannya, materi-materi perkuliahan ini akan dikembangkan menjadi sertifikasi bagi mahasiswa yang memungkinkan mereka mampu bekerja dalam ranah ini, begitu ungkap beliau harapannya.

Kemudian, paparan Ibu Bella sedikit menyinggung untuk perkembangan dan proses standarisasi kurikulum pendidikan bencana kesehatan di dunia. Pendidikan bencana di fakultas kedokteran belum terintegrasi selama empat tahun pembelajaran, dikembangkan secara elektif, dan masih dibangun berdasarkan pendapat umum dan pengalaman. Beliau memaparkan mengenai proses pembelajaran manajemen bencana kesehatan di FK UGM.

Sesi diskusi, memang pada umumnya masing-masing fakultas menganggap materi yang diberikan dianggap penting dan kadang juga didasarkan pada pengalaman bencana di daerah. Ini tantangan, bagaimana akhirnya kurikulum ini bisa menjadi standard. Selain itu, bagaimana juga mahasiswa kesehatan ini dapat menangkap mengenai pembelajaran ini, perlu kita mendapat masukan dari penanggulangan bencana kesehatan salama ini, misalnya bagaimana melaksanakan kegiatan dengan tenaga medis yang sedikit. Begitu juga dengan kesiapsiagaan, harapannya dari pendidikan bencana di perguruan tinggi kesehatan ini dapat meningkatkan kesiapsiagaan calon tenaga kesehatan kita.

Sesi selanjutnya adalah presentasi oral. Dua peserta dari FK UGM dan FK Brawijaya. Menarik presentasi dari FK UGM mengenai penelitian kesiapsiagaan daerah di sector kesehatan untuk menghadapi bencana di Aceh Timur. Presentasi kedua mengenai kurikulum bencana di pendidikan kedokteran mengenai bencana. Masukkan untuk keduanya disampaikan oleh audiens adalah mengenai pengukuran dan pendidikan kebencanaan juga yang melihatkan masyarakat.

Kelas ini ditutup dengan rekomendasi dari seluruh pihak untuk kedepannya membentuk forum atau kelompok bencana kesehatan baik dari sisi pengembangan kurikulumnya dan dari masyarakat praktis yang membutuhkan informasi kebencanaan kesehatan di instansi masing-masing.

Selamat berjumpa kembali di kelas Pokja Penanggulangan Bencana tahun 2016 di Makassar.

list presentasi dan policy brief

 

Reporter: Madelina Ariani

Kelompok HIV / AIDS


Pembicara pertama memulai penelitiannya ketika melihat adanya fenomena ODHA yang belum mau memulai terapi ARV meski jumlah CD4 sudah memenuhi syarat. Penelitian yang dilakukan di RS.Labuang Baji kota Makassar memberikan hasil bahwa keputusan untuk tidak memulai terapi lebih disebabkan oleh rasa takut akan efek samping. Sebagai kota besar di bagian timur di Indonesia, Makassar juga menanggung risiko akan besarnya peluang peredaran narkotika. Sudirman Nasir melakukan sebuat studi etnografi pada pecandu narkotika suntik di slum area kota ini. Dengan melihat aspek social capital dari kelompok ini, ditemukan bahwa unemploymentmenjadi sebuah konteks sosial bagi sebagian besar pengguna narkotika yang menjadikan mereka berhubungan dengan kegiatan yang ilegal. Selain itu unsur masculinity atau konsep rewa pada suku bugis makassar juga menjadi faktor anak laki-laki untuk membutikan kelaki‐lakiannya dengan cara yang berisiko. Laju inisiasi dari ‘penggunaan’ menuju ‘ketergantungan’ menjadi lebih cepat di kalangan pengguna narkotika laki-laki.

Interaksi dengan sesama penganggur, pengguna narkotika dan juga melakukan perilaku berisiko yakni menggunakan jarum suntik bergantian, menimbulkan hambatan tersendiri bagi kelompok ini untuk keluar dari masalah narkotika.

Penularan HIV melalui transmisi seksual juga menjadi faktor cukup tinggi dalam kontribusinya meningkatkan angka kasus. Tingginya kasus IMS di Mataram menuntut kreatifitas dinas kesehatan dalam menentukan strategi penanggulangannya. Program yang lebih banyak menyasar pada WPS langsung menjadikan keberadaan WPS tidak langsung tidak menjadi perhatian. Studi pada kelompok wanita penjaja seks tidak langsung di kota ini menunjukkan bahwa rendahnya konsistensi penggunaan kondom dan jumlah pelanggan yang dilayani berkontribusi terhadap tingginya kasus infeksi menular seksual. Dari 66 responden yang diteliti, 12% berstatus menikah. Ini bisa menjadi situasi yang demikian pelik ketika kemudian ditularkan kepada pasangannya. Kejadian IMS pada perempuan juga menjadi faktor risiko bagi kegagalan kehamilan bahkan kemandulan.

Meskipun kasus HIV semakin berkembang dalan segi jumlah, namun program penanggulangannya juga mengalami kemajuan yang sangat baik. Salah satunya adalah adanya program kolaborasi TB-­‐HIV. BKPM Semarang yang memberikan layanan bagi pengobatan TB juga aktif melakukan pemeriksaan HIV pada pasiennya. Keberadaan petugas menelan obat (PMO) bagi pasien TB diharapkan agar PMO juga memberikan dukungan bagi ODHA untuk patuh menjalani terapi antiretroviral. Tetapi pada prakteknya kegagalan dalam terapi ARV (ketidak patuhan) justru terjadi pada ODHA yang memiliki PMO. Hal ini dikarenakan PMO biasanya hanya aktif dan memberikan dukungan optimal ketika pasien berada pada tahap awal pengobatannya saja.

Strategi lain dalam upaya penanggulangan HIV dilakukan pada salah satu rumah tahanan di Jakarta. Minimnya tenaga kesehatan maupun tenaga rutan dalam hal perawatan tahanan menjadikan kondisi tahanan semakin memburuk. Hal ini terutama pada mereka yang mengalami gangguan kesehatan dan membutuhkan pertolongan dalam melakukan perawatan diri (higiene perorangan) sehari‐hari. Rumah tahanan ini kemudian melakukan pelatihan kepada 12 tamping (tahanan pendamping) agar dapat melakukan perawatan kepada tahanan. Ketrampilan yang diberikan meliputi perawatan higiene hingga perawatan bagi jenazah. Rutan ini juga melibatkan spesialis jiwa dan psikolog untuk menumbuhkan kesadaran akan kepedulian kepada sesama tahanan dan memberikan penguatan selama mereka menjadi tamping.

Keberlanjutan program penanggulangan HIV sangatlah ditunjang dengan sumber daya manusia (SDM) yang terampil dan juga peduli terhadap masalah ini. Khusus di layanan kesehatan yang banyak melakukan kegiatan perawatan,dukungan dan pengobatan (PDP), mengalami penambahan beban kerja tanpa diikuti dengan tersedianya insentif. Kota Medan mengimplementasi program ini dan menemukan bahwa aspek kepedulian dan kerelawanan dari petugas sangat menunjang kemajuan program penaggulangan HIV di Medan. Meskipun masih ada beberapa yang mendapatkan insentif dari global fund, namun isu akan berakhirnya pendanaan dari GF tidak mengurangi kepedulian mereka. SDM dari lembaga non pemerintah yakni LSM juga turut berperan aktif baik dalam upaya promotif maupun rehabilitatif, seperti dukungan sebaya. Menjadi bagian dari mereka yang terdampak HIV, menjadikan motivasi dan peran SDM dari kelompok LSM lebih baik daripada lembaga lainnya.

list presentasi

 

Workshop, 26 Agustus 2015

26ags-pb

hari 1   hari 2   jadwal

Penyusunan Policy Brief untuk Sistem Kontrak di Pelayanan Kesehatan Indonesia (Termasuk Kebijakan JKN dan BOK)

26ags-pb

Forum Kebijakan Kesehatan Indonesia (FKKI) VI telah berlangsung tiga hari dan di hari ketiga ini (26 Agustus 2015) FKKI menyelenggarakan beberapa sesi workshop yang salah satunya mengenai kebijakan JKN dan dana BOK. Gambaran umum mengenai sistem kontrak di pelayanan kesehatan mengawali sesi workshop kebijakan JKN dan BOK. Selaku pembicara, Dwi Handono menyampaikan bahwa sistem kontrak bukan hanya terbatas pada tenaga medis, melainkan juga SDM manajemen dan institusi. Salah satu yang paket yang pernah menggunakan sistem kontrak tersebut adalah program sister hospital di NTT. Dalam menjelaskan perbedaan contracting out dan outsourching, Dwi juga memaparkan mengenai beberapa regulasi yang mendukung mekanisme sistem kontrak.

Bukan hanya PT dan CV karena organisasi profesi pun dapat berpotensi dalam menyediakan provider yang akan dikontrak penyedia dana. Menurut Prof. Laksono, kontrak secara perorangan seringkali diikuti beberapa permasalahan sehingga perlu ada atas nama lembaga, terutama terkait paket pelayanan yang akan ditawarkan. Dalam sesi diskusi, Budi (UNICEF) juga menekankan bahwa sistem kontrak tidak sesederhana transaksi jual beli sehingga perlu ada keterlibatan berbagai pihak yang bekerja sama dalam mencapai tujuan. Perlunya dukungan regulasi dalam proses perencanaan dan penganggaran public-private partnership juga dijelaskan oleh Dwi Handono.

Pada sesi kedua, Dwi Handono kembali menjelaskan mengenai agency theory yang diterapkan dalam sistem kontrak, dimana ada dua komponen utama yaitu : principal (penyandang dana) dan agen (lembaga/provider). Beberapa permasalahan dan alternatif solusi yang berpotensi terjadi pada saat pra kontrak, saat kontrak, dan pasca kontrak juga dijelaskan secara rinci oleh beliau. Materi dilanjutkan diskusi yang mencoba membahas lebih dalam mengenai adanya kontrak dua level dan kemudian ditutup dengan contoh implementasi penyelenggaraan sistem kontrak (agency theory) melalui program sister hospital di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Prof. Laksono menambahkan bahwa sistem kontrak bukanlah suatu paksaan, sehingga dari sisi principal dan agen harus saling membutuhkan dan mengukur kebutuhan spesifik masing-masing daerah.

Faozi melanjutkan materi dengan pemaparan yang lebih memfokuskan pada kenaikan anggaran 5% di tahun 2016. Reformasi sarana dan prasarana yang disertai dengan perbaikan manajemen sangat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di era JKN. Alur dana kesehatan saat ini dinilai masih rumit sehingga berbagai instansi diharapkan dapat saling mendukung, termasuk terkait dengan penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Materi Presentasi

Prof. Laksono Trisnantoro

sesi 1  sesi 2  sesi 3

Dr. Dwi Handwon, M.kes sesi 1  sesi 2  sesi 3

Faozi Kurniawan
sesi 1  sesi 2  sesi 3

 

Reporter : BES dan ES 

Implementation Research

26ags-yodiIndonesia kebanjiran hasil penelitian. Hasil penelitian dibuat sebagai syarat untuk memenuhi syarat menyelesaikan studi, menaikkan pangkat, maupun syarat lainnya. Puluhan ribu hasil penelitian yang dihasilkan setiap tahun, dicetak dan dipajang di perpustakaan bahkan dipublikasikan secara online.

Pertanyaannya, apakah hasil penelitian ini dapat melakukan perbaikan? dr. Yodi Mahendradhata, MSc., PhD memperkenalkan konsep implementation research pada workshop Implementation research and contracting out di Hotel Bumi Minang, 26 Agustus 2015. Implementation research merupakan jenis penelitian untuk perbaikan. Jenis penelitian ini diperlukan di dunia kesehatan karena adanya variasi dampak dari beragam konteks dan implementasi dari kebijakan yang telah diberlakukan.
Kebijakan nasional yang telah diberlakukan di Indonesia selalu tidak bisa berjalan dengan baik karena berbagai kendala dalam proses implementasi. Akhir-akhir ini terjadi peningkatan dana penelitian, namun proporsinya diarahkan untuk pengembangan teknologi vaksin dan obat bukan untuk implementation research.
Riset implementasi adalah bagian dari health system research untuk mencari faktor-faktor yang dapat meningkatkan implementasi dari intervensi yang ada. Riset implementasi menggali kendala pelaksanaan implementasi dengan metode apapun asal bisa menjawab pertanyaan implementasi ” The question is king”.

26ags-mubaFaktanya saat ini, telah banyak regulasi yang mengatur semua program yang harus diawasi. Pegawasan atau controling merupakan komponen penting dalam implementasi. Controling digunakan untuk mencari penyimpangan dan mengatasi penyimpangan. Dr. dr. Mubasyir Hasanbasri, MA sebagai narasumber workshop ini, mengungkapkan bahwa program tidak efektif karena penyimpangan tidak pernah terdeteksi, program pengawasan yang efektif adalah yang terjun langsung melihat kenyataan.

Pemahaman peserta workshop tentang implementation research and contracting out dikuatkan dengan penyajian materi oleh Ari Natalia Probandari dr.,MPH, PhD. Dosen berkaca mata ini memaparkan metodologi implementasi riset. Metode yang sering digunakan pada implementasi riset yakni: 1) Pragmatic trials, digunakan pada produk; 2) effectiveness implementation hybrid trials, digunakan pada setting pelayanan kesehatan; 3) mixed methods, desain penelitian yang menggabungkan penelitian kualitatif dan kuantitatif; 4) participatory action research, intervensi dilakukan berdasarkan kesepakatan yang meneliti dan diteliti; 5) quality improvement studies, menggunakan siklus PDCA dimana ada kaidah riset ilmiah yang digunakan. Untuk penelitian kebiijakan, metodologi penelitian yang sering digunakan adalah participatory action research dan mixed methods.

Materi presentasi

Implementation research and contracting out
 dr. Yodi Mahendradhata

materi

Proses pengembangan dan implementasi kebijakan
Mubasysyir Hasanbasri 
materi 

Metode riset implementasi
Ari Natalia Probandari
materi 

 

Oleh: Eva Tirtabayu Hasri, S.Kep.,MPH

Kebijakan Penurunan Kematian Ibu dan Bayi, dan pengalaman menggunakan Sistem Kontrak;

26ags-kia

Kebijakan publik pada tahun 2016 untuk sektor kesehatan akan memberlakukan peningkatan anggaran menuju sekitar 5% dari yang ada saat ini. Sistem jaminan pembiayaan kesehatan era JKN saat ini mempengaruhi banyak sektor kesehatan, salah satunya sektor Kesehatan Ibu dan Anak serta Kesehatan Reproduksi. Pengembangan pendekatan Contracting Out pelayanan kesehatan diharapkan menjadi salah satu upaya promosi KIA dan reproduksi dalam membantu pemerataan kesehatan. Harapannya penggunaan alokasi dana yang efektif, efisien, dan seoptimal mungkin.

Pada sesi ini diawali dengan presentasi best practice pelaksanaan pendekatan Contracting Out yang pernah dilaksananakan di berbagai tempat. Pertama, disampaikan oleh Indah Deviyanti dari UNICEF Indonesia yang membahas tentang inisiatif Integrated Micro Planning (IMP) di Provinsi Papua dalam pengembangan perencanaan tingkat puskesmas. Tujuan dari program ini memberikan penguatan kapasitas kepada puskesmas untuk perencanaan, penganggaran, dan monitoring KIA berbasis bukti. IMP ini mulai dilaksanakan pada tahun 2014 oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura dengan keluarnya SK untuk penggunaan hasil dari IMP dalam perencanaan kegiatan. Kemudian di tahun 2015, program ini juga telah dilaksanakan di Kabupaten Biak Numfor, Jayawijaya, Sorong, Fakfak, dan Manokwari. Praktek contracting di negara lain kepada pihak non pemerintah juga dicontohkan seperti program Peoples Primary Healthcare Initiative (PPHI) di Pakistan pada tahun 2014 dan District Health Technical Advisory Team (DHTAT) di Kamboja pada tahun 2010.

Kedua, pemaparan oleh Erma Satriani dari Lembaga Kesehatan Budi Kemuliaan (LKBK) tentang program kerjasama LKBK dengan USAID-EMAS dan UNICEF dalam kegiatan yang bersifat gerakan penyelamatan ibu dan bayi baru lahir. Kegiatan ini dilaksanakan sedikitnya di 11 kabupaten/kota yang tersebar seluruh Indonesia. Program EMAS ini kerjasama dengan JHPIEGO, Muhammadiyah dan Aisyiah, Save The Children, dan RTI International. Intervensi yang diberikan berupa beberapa pendampingan ke Rumah Sakit dan Puskesmas untuk peningkatan kualitas pelayanan KIA yang efisien dan efektifitas dari sistem rujukan. Ketiga, prensentasi terakhir oleh Dwi Handono Sulistyo dari PKMK FK UGM yang memaparkan Contracting Out di level pelayanan kesehatan bidang KIA dan reproduksi berupa program Sister Hospital di NTT. Kegiatan ini merupakan kemitraan antara rumah sakit besar di luar NTT dengan rumah sakit umum daerah Kabupaten di NTT untuk mengatasi kelangkaan dokter spesialis dan tenaga kesehatan pendukung lainnya secara jangka pendek dalam pelayanan PONEK 24 jam. Diharapkan rumah sakit umum daerah menjadi rujukan terakhir pasien dalam proses pelayanan kesehatan.

Pada sesi selanjutnya pembahasan dari Direktorat Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan yakni Jehedkiel Panjaitan dan Asteria Unik Prawati yang memberikan tanggapan dari hasil presentasi. Ada beberapa hal yang disampaikan dan dipertanyakan berhubungan dengan sistem Contracting Out, antara lain: 1) Sistem ini lebih bersifat kerja sama yang perlu ada batasan dan harus ada kejelasan siapa yang melanjutkan program tersebut setelah selesai demi kelangsungannya kedepan; 2) Sebaiknya bagaimana lebih mengembangkan kompetensi sumber daya manusia yang ada di daerah; 3) Pada prinsipnya Kemenkes mendukung program yang berasal dari luar untuk mendukung pemerintah yang bersifat penguatan, harus sinergis dengan program yang sudah ada; 4) Harus jelas ikatan dalam sistem contracting out ini, apa hak dan kewajiban masing-masing serta bagaimana dengan mekanisme penyaluran dananya.

Kemudian pada sesi diskusi, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD memberikan tanggapannya bahwa perlu adanya semacam deklarasi kebutuhan dari daerah terkait permasalahan kesehatan mereka masing-masing. Sistem kontraknya itu tergantung kebutuhan dan perlu lebih spesifik kebutuhannya dan ada integrasi didalamnya. Hal ini senada juga dengan pendapat dari peserta lain yang menegaskan bahwa untuk keberhasilan program ini perlu adanya kesadaran profesi kesehatan yang didukung komitmen dari pemerintah setempat. Kesimpulannya bahwa Contracting Out ini sifatnya mensuplementasi kegiatan bukan mereplikasi hingga adanya penumpukan kegiatan. Semangat yang dibangun adalah partnership, bukan kompetisi. Prinsipnya bagaimana memberikan solusi jangka pendek untuk memutus rantai panjang masalah sambil melakukan solusi jangka panjang.

Materi presentasi

Contracting Out di Level Pelayanan Kesehatan Bidang KIA dan Reproduksi:
kasus Sister Hospital – Dwi Handono

materi

Kerjasama Lembaga Kesehatan Budi Kemuliaan (LKBK) dengan
USAID-EMAS dan UNICEF dalam Bidang Kesehatan Ibu & Bayi Baru Lahir

materi 

Peran serta Organisasi non-pemerintah dalam Penguatan Kapasitas Puskesmas untuk peningkatan efektifitas Perencanaan, pendanaan dan pemantauan kesehatan ibu dan anak – UNICEF materi 

Reportase: Surahmansah Said

Konsep & Strategi Pembiayaan Organisasi Masyarakat Sipil dalam Penyediaan Layanan Kesehatan
Melalui Mekanisme Contracting Out

Konsep contracting out atau disebut dengan PPP (Public Private Partnership) sebenarnya sudah dipakai selama ini dalam membangun kerjasama baik antara pemerintah dan swasta. Bentuk kemitraan dalam berbagai bentuk baik dana, tenaga dan waktu.

Konsep contracting out tidak selalu pemerintah sebagai pemberi dana & swasta sebagai pelaksananya, namun dapat juga sebaliknya. Swasta perlu dilibatkan, mengingat peran swasta dalam bidang kesehatan sudah cukup luas dan banyak, dibandingkan pemerintah dan swasta (ormas) dapat menjangkau kelompok khusus yg tidak dapat dijangakau oleh pemerintah.

Sumber dana pelaksanaan PPP dapat bersumber dana pemerintah, pemerintah daerah dan sumber lain. Namun permasalahannya, swasta dalam hal ini organisasi kemasyarakatan yang selama ini mendapat dana dari pemerintah, belum ada mekanisme yang jelas mengatur hubungan kerjasama dan kemitraan tersebut. Selain itu, juga perlu pengaturan kedepan bahwa organisasi kemasyarakatan perlu dilakukan akreditasi atau memiliki badan hukum yang jelas sehingga mekanisme kerjasama dan kemitraannya menjadi jelas. Jika belajar dari pemerintah Australia dan Malaysia dimana mereka memiliki lembaga khusus yang bertanggung jawab mengatur dan mengelola dana pemerintah maupun donor untuk organisasi kemasyarakatan, maka Indonesia dapat mencontoh, namun perlu disesuaikan dengan situasi dan latar belakang budaya serta kebutuhan masyarakat Indonesia.

Pelaksanaan kemitraan pemerintah dan swasta juga didukung dengan payung hukum yang mengatur dan menjadi landasan baik kepada pemerintah pusat maupun daerah. Saat ini sudah lebih dari 27 aturan atau undang-undang tentang organisasi kemasyarakatan, namun pelaksanaannya terhambat karena perlu didukung dengan peraturan pemerintah daerah untuk memperkuat dan menunjukkan komitmen pemerintah daerah. Organisasi kemasyarakatan juga perlu dibangun kemandirian sehingga tidak terlalu bergantung kepada dana dari pihak luar baik pemerintah maupun dari pihak donor asing saja. Oleh karenanya ormas perlu melakukan pemberdayaan kepada masyarakat dengan berbagai model baik model “daun”, “batang” dan model “akar” sehingga permasalahan kesehatan dalam hal ini HIV dan AIDS perlu menjadi musuh bersama semua elemen masyarakat. Selain itu, perlu dipersiapkan mekanisme yang jelas dan harmonisasi antara pemerintah dan organisasi kemasyarakatan (swasta) untuk membangun kemitraan dalam system contracting out ini, baik untuk jangka pendek, jangka menengah da jangka panjang.

Sesi 6

10.30 – 12.00

Konsep dan Strategi Pembiayaan Organisasi Masyarakat Sipil dalam Penyediaan Layanan Kesehatan melalui mekanisme Contracting Out

  1. Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS (Bappenas)  |  materi
  2. Budi Prasetyo, SH, MM (Kementerian Dalam Negeri)  |  materi
  3. DR. Bahtiar (Kementerian Dalam Negeri)  |  materi

Moderator : Hersumpana, MA

12.00 – 13.00

Rehat Siang

Sesi 7

13.00 – 15.00

Kasus: Kontrak Pelayanan Kesehatan kepada LSM

  1. dr. Cristina Widaningrum, M. Kes (Sub Dit TB – Kementerian Kesehatan RI)  |  materi
  2. Dra. Rohana Manggala, M.Si (KPAP DKI)  |  materi
  3. Husen Basalamah (Kios Atma Jaya)  |  materi
  4. Yakub Gunawan (Red Institute)  |  materi

Moderator : Chrysant Lily, MA

15.00 – 15.50

Rehat Sore

Sesi 8

13.00 – 15.00

Diskusi: Peluang Pendanaan APBN Program AIDS kepada LSM

  1. dr. Siti Nadia Tarmizi, M. Epid (Sub Dit AIDS – Kementerian Kesehatan RI)  |  materi
  2. dr. Krishnajaya, MS (Adinkes)  |  materi
  3. Dra. Rohana Manggala, M.Si (KPAP DKI)
  4. Husen Basalamah (Kios Atma Jaya)

Fasilitator : dr. Yanri Subronto, Sp.PD, PhD