Simposium 2, 2 Oktober 2014

breakf

Breakfast Launches

breakfPada rangkaian acara Global Symposium, terdapat beberapa acara breakfast launches. Acara biasanya dilakukan pada pagi hari, satu jam sebelum acara plenary atau symposium dimulai, dan untuk yang hadir disediakan makan pagi . Program ini biasanya berupa launching suatu suplemen jurnal, proyek penelitian baru, atau organisasi atau kelompok kerja baru. Peserta diminta mendengar dan berdiskusi tentang apa yang sudah mereka lakukan.

Pada breakfast launches tanggal 2 Oktober, terdapat lima kelompok yang berbagi pengalamannya. Pertama mengumumkan supplement journal untuk Health Policy and Planning untuk “Science and Practice on people-center health system,”. Kedua untuk seri penelitian baru tentang “Universal Health Coverage (UHC)” dari UNICEF, dan ketiga tentang joint group WHO dan World Bank untuk pengukuran kemajuan UHC dalam konteks post MDG 2015. Selanjutnya adalah book launching untuk “African Health Leaders: making change and claiming the future“, dan yang terakhir adalah launching dari Chatam House report terkait health financing.

Reporter mengikuti launching dari supplement journal untuk “Health policy and planning” untuk tema Global Symposium tahun ini aitu, “Science and Practice on People-center Health System.” Beberapa penulis publikasi dan chief editor mempresentasikan proses penerbitan dan isi dari supplement tersebut. Semua peserta mendapatkan satu eksemplar jurnal yang sudah terbit tersebut.

Dalam pengantarnya, Sarah Bennet, editor in chief dan Kabir Sheikh (Public Health Foundation of India) mengatakan bahwa sistem kesehatan harus mencari cara untuk melayani orang dan masyarakat. Sistem kesehatan harus membawa nilai-nilai dalam kehidupan manusia, bukan hanya dengan merawat dan melayani mereka, melainkan juga secara lebih luas menawarkan janji untuk keamanan ekonomi dari waktu ke waktu dan keluar dari kerentanan yang berat.

Upaya tersebut dilakukan dengan, pertama, mengedepankan suara dan kebutuhan masyarakat, karena seharusnya keinginan dan kebutuhan masyarakatlah yang membentuk “health system.” Nandi dan Scheneider dalam jurnal ini mencontohkan keikutsertaan Mitanin (pekerja kesehatan di masyarakat) dalam mempengaruhi “social determinant of health di India. Demikian juga Abimbola yang hadir dalam launching tersebut mencontohkan bahwa sumber daya masyarakat dapat mengatasi kegagalan pemerintah dalam penyediaan layanan kesehatan.

Kedua adalah “people-centredness in service delivery,” yaitu pelayanan hendaknya dirancang dan diberikan berdasarkan kebutuhan masyarakat, bukan klinisi atau penyedia layanan. Prinsip yang dianut adalah quality, safety, longitudinality, closeness to community dan responsiveness terhadap perubahan. Manu dalam publikasinya dalam jurnal suplemen ini mengemukakan bahwa petugas surveilan masyarakat yang bekerja secara sukarela dalam suatu intervensi dapat mempromosikan perawatan esensial bagi bayi baru lahir dan mengidentifikasi tanda-tanda vital bayi dan kemudian merujuk ke fasilitas kesehatan.

Ketiga, kita harus menyadari bahwa sistem kesehatan adalah insititusi sosial, dimana semua aktor di dalamnya seharusnya bertindak sesuai dengan tanggungjawabnya. Penelitian Aberese-Ako dkk. di Ghana menggarisbawahi kerjasama yang baik antara administrator kesehatan dan petugas kesehatan serta masyarakat atau pasien, namun hubungan antara pengetahuan dan kebijakan orang-orang dalam health system sangat jarang untuk diteliti.

Kemudian yang keempat adalah prinsip bahwa nilai-nilai akan mengarahkan sistem kesehatan yang bersumber pada masyarakat dan pada akhirnya reformasi sistem dapat berdampak pada nilai-nilai dalam sistem itu sendiri. Menghormati dan mencapai ” equal treatment” bagi mereka yang berlainan gender, agama, kelompok sosial dan ekonomi adalah prinsip yang penting untuk mempertimbangkan bagaimana pelayanan harus dirancang dan diberikan kepada masyarakat.

Suplemen jurnal ini pada akhirnya menunjukkan cara-cara yang berbeda dalam melakukan riset dalam sistem kesehatan yang berfokus pada masyarakat dan bagaimana memahami mereka. Selain itu, jurnal ini juga mencoba melihat tantangan para peneliti sendiri dalam melihat perannya dalam sistem itu senndiri.

Reporter: Retna Siwi P

Recognising Research Paradigm, Methods And Impact For People-Centered Health System

barbaraPlenary 2 yang berlangsung pukul 9.30-11.00 waktu setempat dibuka dan dimoderatori oleh Barbara McPake, Direktur Nossal Institute for Global Health, University of Melbourne, Australia. Sesi ini mendiskusikan kontribusi berbagai tradisi system riset untuk menguatkan system kesehatan yang people-centered (berfokus pada orang). Dalam sesi ini, dua orang narasumber memberikan opening statement dan kemudian bersama tiga narasumber lainnya melakukan diskusi panel dipimpin oleh moderator.

Opening statement pertama disajikan oleh James Macinko, PhD, seorang associate professor dari Public Health and Health Policy, New York University. James menekankan pada kontribusi apa yang diberikan oleh penelitian kuantitatif, pendekatan apa saja dalam menggunakan data dan bagaimana kita bias menguatkan riset kuantitatif serta instrumen-instrumennya untuk mempromosikan program dan kebijakan yang lebih baik dalam mencapai dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang people-centered. Menurutnya, penelitian dengan metode random mengalami kebangkitan, dimana metode ini banyak menawarkan solusi untuk mendesain evaluasi dari dampak suatu program atau kebijakan. Masalahnya adalah metode ini memiliki banyak kelemahan dan berbagai konsekuensi yang tidak relevan. Agar data kuantitatif lebih powerful, maka perlu ada interaksi yang lebih produktif antara penghasil dan pengguna data di berbagai tingkatan. Terakhir, James memaparkan hal-hal yang perlu dilakukan untuk membuat pendekatan kuantitatif lebih relevan bagi system kesehatan yang people-centered, antara lain mengintegrasikan ilmu-ilmu terapan dari efikasi ke efektvitas dan kemudian ke pemberdayaan.

reneRene Loewenso, Direktur di Training and Research Support Center, Zimbabwe, pada opening statement berikutnya banyak menjelaskan mengenai participatory action research (PAR). Rene bahkan sudah menulis buku mengenai hal tersebut bersama beberapa koleganya. Dalam simulasi di suatu sesi training, dimana peserta berperan sebagai pasien, petugas kesehatan, stakeholders lain bahkan lembaga donor, tampak bahwa setting pelayanan dan system kesehatan secara keseluruhan belum secara langsung member perhatian yang cukup pada pasien. Apa yang dikerjakan oleh seorang petugas administrasi di sebuah RS, bahkan yang dilakukan oleh lembaga donor, belum berpusat pada pasien sebagai tujuan pelayanan kesehatan. Ini membuat banyaknya complain masyaakat terhadap pelayanan dan system kesehatan. PAR akan membantu dengan cara tidak saja memahami bukti-bukti atau realitas melainkan juga mentransformasikannya, karena peneliti bias menjadi terlibat lebih aktif dan karena peneliti adalah bagian dari komunitas yang akan terkena dampak dari suatu program, atau fasilitator dari suatu proses. Namun tentu saja tetap ada tantangan dalam melakukan riset dengan metode PAR ini, mulai dari reliabilitasnya hingga external validity-nya.

Pada sesi diskusi, salah satu panelis, Clara Mbwili-Muleya, dari District Medical Officer, Ministry of Health, Zambia menyampaikan pendapatnya sebagai praktisi pembuat program dan kebijakan, serta sebagai pengguna hasil-hasil penelitian. Menurutnya, selama ini banyak data yang tidak dapat ia dan timnya gunakan karena tidak sesuai dengan kebutuhannya, atau sulit untuk dipahami. Ini menunjukkan bahwa interaksi antara peneliti dengan pengguna hasil penelitian belum aktif dan baik. Ia sendiri sebenarnya sangat tertarik untuk terlibat dalam penelitian-penelitian tersebut, agar bias menjawab berbagai tantangan yang dihadapi sehari-hari dalam melakukan tugasnya sebagai Kepala Kantor Medis Kabupaten.

clareMenurut Clara, data yang berguna adalah yang bias ditranslasikan ke perubahan, bias menyesuaikan dengan cara kerja para pengambil keputusan dan penentu kebijakan, data yang memiliki dampak ke masyarakat. Berdasarkan pengalamannya, data yang baik belum tentu dapat digunakan. Ia dan timnya bahkan sering mengunakan data yang buruk, hanya karena data tersebut lebih mudah dipahami sebagai dasar pengambilan keputusan. Pertanyaan pentingnya adalah siapa sebenarnya yang seharusnya menyusun agenda data: pengguna data atau peneliti.

Senior Health Specialist dari UNICEF New York, Kumanan Rasanathan mengakui bahwa memang ada konflik antara penghasil dan pengguna data. Untuk itu peneliti perlu menggunakan sistem yang bias menghasilkan data yang bermanfaat, namun di sisi lain pengguna data juga memahami besarnya biaya yang diperlukan untuk mengumpulkan dan menganalisis data. Dalam hal ini, Rene dan James berpendapat bahwa desain penelitian untuk menghasilkan data dan informasi harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang akan dipengaruhi oleh hasil penelitian tersebut. Dalam system kesehatan, masyarakat dengan berbagai masalah kesehatannya seharusnya menjadi pusat perhatian semua pihak di berbagai level.

 

KumananKumanan memberikan contoh kerjasama UNICEF dengan berbagai kelompok peneliti di Indonesia. Menurutnya, kapasitas dan kapabilitas parapeneliti di Indonesia sangat baik dan jumlahnya cukup banyak. Namun masihbanyak hal yang harus dilakukan untuk menyambungkan antara hasil-hasil penelitian dengan pengambil kebijakan di level local maupun nasional. Di Afrika menurut Clara masih terjadi banyak kekosongan untuk sumber daya seperti inis ehingga PAR belum bias membantu pemerintah dalam pengambilan keputusan. Jadi yang diperlukan adalah membangun kapasitas SDM, khususnya para frontliners pelayanan agar bias memanfaatkan knowledge dan mentranslasikannya ke aksi.

Assistant Professor dari Department of Public Health, Institute of Tropical Medicine, Belgium, Bruno Marchal berpendapat bahwa semua harus belajar dari tindakan-tindakan yang sudah dilakukan dan bagaimana dampaknya. Para stakeholders sector kesehatan harus membuka berbagai potensi yang agar bias dimanfaatkan dalam memecahkan masalah. Menurutnya, pengambil keputusan perlu mengidentifikasi sumber daya apa lalu untuk siapa. Rene sependapat, bahwa riset-riset perlu disegmentasi kembali. Jika perlu, sediakan ruang tambahan agar masyarakat bias terlibat lebih banyak, konsistensiperlu dijaga dan yang terpenting adalah menjadikan riset sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.(pea)

Reporter: Putu Eka Andayani

 

Tab Content

Process, Methods And Stakeholders in Knowledge Translation and Participatory Decision-Making

colinSesi ini menyajikan beberapa hasil penelitian yang menjadi contoh penerapan dari participatory decision making. Penelitian pertama disampaikan oleh Colin Baynes, seorang manajer program dari Ifakara Health Institute, Columbia University, Tanzania. Penelitiannya mencoba menjelaskan mengenai bagaimana task shifting pada tenaga kesehatan dalam program KB injeksi mempengaruhi pembelajaran masyarakat, proses partisipasi dan transfer pengetahuan untuk memperkuat sistem kesehatan.

Total ada 101 desa yang terlibat, 50 diantaranya dengan tenaga kesehatan dan 51 tanpa tenaga kesehatan yang dievaluasi dengan menggunakan indikator mencapaian layanan ibu dan anak melalui survey demografis. Dengan menerapkan Participatory Action Research (PAR), ia dan timnya antara lain memberdayakan populasi kunci untuk membangun strategi organisasi dan mencari solusi, mengembangkan milestone yang didorong oleh kapasitas lokal dalam menemukan solusi dan learning by doing. Hasilnya, terjadi perubahan sikap dan perilaku masyarakat dari yang tadinya tidak percaya atau bahkan menolak, menjadi menerima dan siap menggunakan alat kontrasepsi injeksi. Namun masih ada tantangan berupa kesinambungan sumber daya hingga pengaruh budaya dan kepercayaan terhadap alat pengatur kehamilan.

 

pragatiPenelitian kedua terkait dengan pengendalian tembakau yang dilakukan atas kerjasama antar sektor di India. Penelitian yang dilakukan oleh Pragati Hebbar (Advocacy Officer, di Institute of Public Health Bangalore, India) dan timnya ini melibatkan kepolisian, pemerintah kota, sektor transportasi, informasi, pendidikan, serta sektor kesehatan itu sendiri. Intervensi yang dilakukan antara lain pemasangan signage dan berbagai petunjuk terkait larangan merokok di area publik dan bus umum oleh polisi dan mengedukasi masyarakat. Pembelajaran yang didapat adalah pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan isu-isu implementasi. Peran yang jelas dalam menginstitusionalisasi implementasi dan meningkatkan motivasi dan kemampuan, serta review secara terus menerus merupakan komponen penting untuk mentransformasi kebijakan ke pelaksanaannya. Diperlukan kepemimpinan dalam sektor pemerintah maupun swasta. Selain itu, pekerjaan yang melibatkan antar-sektor seperti ini membutuhkan perlu selalu didorong secara aktif, perlu jaringan kerja yang nyata serta kerangka kerja kebijakan sebagai pendukung.

 

nasrenPenelitian ketiga yang dipresentasikan oleh Nasreen Jessani, seorang calon PhD di John Hopkins Bloomberg School of Public Health, USA. Penelitian ini sedikit berbeda dengan riset-riset lainnya karena meneliti dari aspek penghasil pengetahuan, yaitu universitas, untuk mencari jawaban apakah ada “broker” pegetahuan akademik di Kenya. Ada enam perguruan tinggi di Kenya yang menjadi tempat penelitian, dimana sebuah eksplorasi terhadap jaringan riset-ke-kebijakan di berbagai fakultas dilakukan. Dari rantai riset ke kebijakan, ternyata pihak-pihak yang terlibat dapat digolongkan kedalam tiga kelompok, yaitu knowledge producers, knowledge brokers dan knowledge users. Di Kenya, yang tergolong penghasil pengetahuan antara lain institusi akademik, Think Tanks, unit penelitian milik pemerintah dan NGOs. Yang tergolong knowledge brokers antara lain media, organisasi advokasi, KT Platforms dan bahkan juga ada institusi akademik. Knowledge users antara lain masyarakat, praktisioner, pengambil keputusan dan pembuat kebijakan serta stakeholder lain (sektor privat dan kelompok lain yang berkepentingan). Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa academic knowledge brokers (AKB) memang benar ada yang berperan menghubungkan antara academic researcher dengan pembuat kebijakan. AKB seringkail bersifat invisible, memiliki posisi yang unik di lingkungan akademis, berkemampuan tinggi serta kredibel. (pea)

Reporter: Putu Eka Andayani

The Role of Non-Traditional Health-Care Providers

Sesi ini mempresentasikan penelitian pada logistik ketersediaan pemberi layanan kesehatan non-tradisional namun bukan dokter yang telah berpraktek di banyak negara. Mereka adalah kader (dalam istilah international), asisten apoteker, bidan (dengan pendidikan minimal) atau provider tingkat menengah dan melihat peran mereka dalam meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan yang harus disediakan oleh sistem kesehatan “utama” dan apa saja tantangan-tantangan yang mereka hadapi.

Berbeda dengan istilah kader di Indonesia yang biasanya adalah penduduk setempat yang bekerja secara sukarela, kader di sini adalah mereka yang berpendidikan SMA tetapi dilatih menjadi pekerja sosial selama 3-6 bulan pelatihan. Pelatihan kader seperti ini telah dilakukan di banyak negara seperti India, Malawi, Nepal, dan Afrika. Dalam keadaan pasokan pekerja pelayanan kesehatan yang terbatas, mereka dapat menjadi tumpuan pelayanan kesehatan jika diatur dengan baik.

Brown dkk, dari People that Deliver (PtD) Denmark melakukan evaluasi “supply-chain management (SNM)” di Burkina Faso, the Dominican Republic, Ethiopia, Indonesia, Liberia, Mozambique, dan Namibia namun hanya lima yang dapat dilaporkan. Di negara-negara ini telah dilatih petugas kesehatan yang akan membantu mengatasi askes. Penyelenggara kegiatan kemudian diwawancarai tentang penyelenggaraan dan pelaksanaan penempatan mereka dalam mengatasi masalah supply. Secara umum, penyediaan pemberi kesehatan dari masyarakat ini memerlukan waktu lama karena harus melihat penerapan dan evaluasinya di lapangan. Selain itu, diperlukan reformasi persepsi, kebijakan dan praktek, karena sudah terbiasa dengan health provider yang standar; perlu mengkonversi pengeluaran sekarang menjadi investasi, dan melihat pada keuntungan secara akumulatif, dan terakhir harus country-driven. Jika hal tersebut tudak dilakukan, maka pengadaan tenaga kesehatan yang dikembangkan akan sulit diterima.

Selanjutnya adalah presentasi Crawford tentang meningkatkan akses dan penggunaan obat yang rasional di Malawi melalui pelatihan asisten apoteker. Dia memulai presentasinya dengan keterbatasan staf farmasi akan menghasilkan pencatatan data dan management obat yang buruk. Kualitas data yang buruk akan mengakibatkan seringnya kekurangan obat. Banyak juga terjadi adanya personel yang tidak memiliki kualifikasi di bidang obat tetapi memberikan obat kepada pasien, sehingga klinisi akan menghabiskan waktu di logistik dan pemberian obat. Program ini merupakan program 3 tahun kerjasama kementrian kesehatan Malawi dengan University of Washington dengan mendidik 150 siswa menjadi asisten apoteker selama 2 tahun. Tujuan pemerintah adalah mendidik 650 siswa sampai tahun 2020. Materi pelatihan lebih banyak praktek daripada di kelas. Sebelum pelatihan, sebanyak 65% dokter mengatakan menghabiskan waktu untuk urusan logistikobat, setelah pelatihan dan penerapan, hanya kurang dari 10% yang menghabiskan waktu mengurusi obat. Mereka juga mengatakan senang karena telah mampu fokus kepada pelayanan pasien daripada mengurusi masalah obat.

Pengalaman di Malawi hampir sama dengan yang terjadi di India di Provinsi Chhattisgarh. Mereka telah mendidik Rural Medical Assistant (MHA) dan Rural Health Practitioners (RHP) selama tiga tahun dan mereka berperan membantu dokter untuk melayani pasien. Dalam perkembangannya, banyak yang tidak tertarik dan pelatihan ini harus ditutup di tahun 2008. Namun demikian, kurang lebih 1000 RHP sudah dididik di provinsi tersebut. Pada tahun 2006, di Assam, pelatihan yang sama sudah dilakukan. Pada tahun 2013, telah ditempatkan 370 RMA di pusat kesehatan masyarakatnya, sehingga mereka maksimal dalam berperan secara kuratif, promotif, dan preventif. Keberhasilan ini telah membentuk persepsi pembuat kebijakan di India untuk bisa menerima mereka sebagai tenaga kesehatan tingkat menengah. Tantangannya adalah, karena banyaknya “quack” di India, banyak dari mereka yang kemudian menyebut dirinya dokter dan melakukan praktek pengobatan di luar pengawasan dokter yang sesungguhnya.

Di Nepal, hal yang sama diterapkan untuk kesehatan ibu. Nepal telah mendidik dan menempatkan sekitar 4000 wanita “skilled birth attendants (SGAs)” yang dapat dipanggil sewaktu-waktu selama 24 jam. Namun penelitian oleh Alison Morgan dari Nossal Institute for Global Health, University of Melbourne ini hanya mewancara 22 orang wanita SGA. Para informan ini mengakui ada beberapa factor yang dibutuhkan agar lingkungan dapat menerima mereka, termasuk adanya dukungan yang terus-menerus terhadap mereka, infrastruktur yang memadai, supply dan obat yang adequate, serta jalur rujukan yang tepat dari sisi waktu maupun tempat. Mereka juga mengatakan bahwa lebih baik bekerja berpasangan daripada sendirian. Dengan adanya informasi dari penelitian ini, peneliti mengatakan bahwa pedoman kesehatan ibu harus diubah dan memasukkan di dalamnya semua temuan yang ada dalam penelitian ini.

Di Indonesia, pelatihan dan pendidikan seperti ini sudah banyak dilakukan. Namun, penelitian untuk mengevaluasi keberadaan mereka jarang dilakukan. Pelatihan setahun atau dua tahun kepada bidan desa adalah hal yang sama seperti di Nepal, namun banyak hal harus dievaluasi dari program tersebut dan hasilnya perlu untuk disebarluaskan.

Simposium 3, 3 Oktober 2014

PA030411

Future scenarios: Health system development and research beyond the MdGs

Chair: Tim Evans, Member of the Board, Health Systems Global

PA030411Panelis dalam plenary ini antara lain, Sara Bennett, Associate Professor, Johns Hopkins School of Public Health, USA; Keith Cloete, Chief Director, Metro District Health Services, Western Cape Government, South Africa; Abdul Ghaffar, Executive Director, Alliance for Health Policy and Systems Research, WHO, Geneva; Sharmila Mhatre, Programme Leader, International Development Research Centre, Canada, dan Amit Sengupta, Associate Global Coordinator, People’s Health Movement, India. Anne Musava, a representative of the Emerging Voices

Sebagai sesi penutup dari simposium global ini, beberapa poin penting perlu digarisbawahi. Apa yang harus dilakukan setelah ini? Baik dalam menyambut berakhirnya era MDG dan juga dalam mengembangkan sistem kesehatan yang lebih berpusat pada masyarakat (“people centred health system”). Dalam sesi plenary ini, beberapa poin penting akan diangkat dan diharapkan dapat menjadi agenda utama para peneliti, pembuat kebijakan, dan praktisi kebijakan dalam peran masing-masing dalam meningkatkan kinerja sistem kesehatan global.

Sesi dimulai dengan pembukaan oleh Tim Evans selaku moderator. Tim Evans menggarisbawahi bahwa walaupun simposium ini akan segera ditutup, pekerjaan sebagai peneliti sistem kesehatan baru saja mulai dan menghasilkan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama. Apa yang harus dilakukan bersama dengan masyarakat, pelaku dan pengambil kebijakan, agar sistem kesehatan global yang ada menjadi lebih baik dan berpusat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat? Para panelis diminta untuk memberikan beberapa poin kunci yang didapatkan dari simposium ini dan dari berbagai diskusi yang harus dilanjutkan dengan praktek nyata di bidang masing-masing.

Poin penting yang dikemukakan antara lain pembuat kebijakan dan praktisi di level distrik adalah kunci penting dalam pengembangan sistem kesehatan. Lalu, membentuk people-centred health system. Pentingnya penguatan kapasitas riset baik di level peneliti maupun praktisi dan pembuat kebijakan dalam hal sistem kesehatan yang lebih berpihak pada masyarakat dan menempatkan masyarakat sebagai pusat sistem kesehatan. Peneliti seringkali merasa berada di luar sistem kesehatan, dan justru tidak menempatkan dirinya sebagai bagian dan juga mengalami dampak dari sistem kesehatan yang belum baik. Peneliti seharusnya tidak berada di luar sebagai pengamat, tapi serharusnya menjadi advokator yang membawa suara keadilan sosial melalui advokasi kesehatan dan masukan yang dapat memfasilitasi suara masyarakat dan pelaku kebijakan. Satu hal yang juga penting adalah people-centred health system tidak hanya sekedar menempatkan masyarakat di tengah, tapi dengan menjadikan masyarakat sebagai partner utama dan membantu menyuarakan kepentingan masyarakat dalam memperbaiki sistem kesehatan itu sendiri.

Peneliti cenderung terkotak dan menjadikan publikasi di jurnal internasional sebagai target penting dalam penelitian, termasuk dalam penelitian tentang sistem kesehatan. Namun, siapa sebenarnya yang mendapatkan manfaat dari publikasi-publikasi ini? Apakah publikasi ini dibaca oleh para pengambil kebijakan? Apakah publikasi tersebut memberikan perubahan terhadap implementasi kebijakan dan membantu perbaikan sistem kesehatan? Mungkin ini saatnya untuk mempertimbangkan cara-cara komunikasi lain yang lebih efektif, yang lebih mengarah pada solusi praktis yang dapat digunakan bersama dengan masyarakat, manajer kesehatan, dan pengambil kebijakan di level lokal serta nasional, dan bahkan global.

Dalam Sustainable Development Goals (SDGs), terdapat 17 target global. Namun, tidak seperti halnya MDGs, kesehatan hanya memiliki satu target, yaitu target nomor 3. Konsekuensi penting dari SDGs ini adalah kini saatnya kesehatan dilihat tidak hanya sebagai beberapa target penting, tetapi justru sebagai tujuan utama dari seluruh kegiatan kemanusiaan yang ada. Apabila kegiatan pendidikan dilakukan dengan baik, kegiatan di area gender dicapai dengan optimal, dan kegiatan di bidang sosial dapat diwujudkan dengan baik, maka kesehatan global pun akan tercapai secara optimal.

Tantangan dalam perbaikan sistem kesehatan yang sangat penting untuk diperhatikan adalah:

  • Bagaimana caranya kolaborasi dapat terbangun antara pembuat kebijakan, peneliti, dan praktisi di level daerah untuk dapat bersama-sama mengembangkan sistem kesehatan bersama? Salah satunya adalah melalui interkolaborasi yang dibangun terus-menerus, mulai dari pengembangan penelitian, pembuatan kebijakan, implementasi, dan evaluasi program kesehatan.
  • Kesinambungan penguatan kapasitas pengembangan sistem kesehatan antar stakeholder yang berbeda-beda
  • Menyamakan “bahasa” yang digunakan dalam interpretasi pengembangan sistem kesehatan dan saling berbagi pengalaman antar praktisi kesehatan, pembuat kebijakan dan peneliti sistem kesehatan

 Reporter : Tiara Marthias

Research and Film: What is The Value for Health Systems Research and Training

Sesi ini menarik karena memuat inovasi dalam proses menyampaikan hasil kegiatan/penelitian dengan suatu film dokumenter. Moderatornya adalah Jeff Knezovich (Policy influence and research uptake manager, Institute of Development Studies, UK), Natalie Leon (Health System Unit, Medical Research Council, South Africa), Sabine L can Esland (Stellenbosch University, South Africa).

Reportase sesi ini diharapkan dapat menginspirasi para peneliti sistem kesehatan di Indonesia untuk menggunakan cara-cara inovatif dalam menyampaikan hasil kegiatan/penelitian pada pengambil kebijakan seperti film dokumenter. Film-film yang diputar pada sesi ini meliputi:

  1. Changing Lives (Part 3) yang dibuat oleh Strengthening South Africa’s Response to HIV and Health (SARRAH). Film ini memuat pencapaian-pencapaian program pengendalian HIV/AIDS di Afrika Selatan dan kontribusi dari organisasi komunitas dalam melakukan advokasi pada pemerintah.


  2. Swithching the poles yang dibuat oleh Institute of Tropical Medicine, Belgium. Film ini menceritakan prinsip dan penerapan kolaborasi horisontal antara northern dan southern countries dalam peningkatan kapasitas penelitian sistem kesehatan dan program kesehatan masyarakat di India dan Africa Selatan.
  3. The gift of fatherhood, dibuat oleh Sonke Gender Justice South Africa. Film ini memuat tentang pentingnya pola asuh ayah sebagai salah satu determinan sosial yang penting dalam kesehatan.
  4. Implementation research toolkit to improve health systems, dibuat oleh TDR Special Programme for Research Training in Tropical Diseases, WHO, Geneva. Film ini menceritakan tentang proses merancang dan menguji coba WHO toolkit.
  5. Democratising mental health: an introduction to PRIME in Nepal, dibuat oleh Programme for Improcing Mental Health care (PRIME). Film ini menceritakan upaya yang dilaksanakan PRIME dalam integrasi pelayanan kesehatan mental di Nepal.

Setelah pemutaran film dilanjutkan diskusi antara produser dan para penonton. Hal-hal yang disimpulkan dari diskusi adalah pertama, film dokumenter merupakan cara strategi komunikasi yang sangat baik untuk dipakai dalam menyampaikan hasil suatu program kesehatan atau penelitian pada pengambil kebijakan. Kedua, agar efektif, maka film harus dibuat pendek dan jelas siapa audiens yang ditarget dari film yang dibuat. Namun demikian, tantanganya adalah soal etika, terutama dampak-dampak karena memuat gambar pasien/masyarakat dengan nama. Oleh karena itu, persetujuan dari para narasumber dan pasien/masyarakat yang dilibatkan harus ada. Selain itu, perlu adanya surat persetujuan etik (ethical clearance) atas film yang dibuat.

Sesi ini tidak menyajikan materi presentasi, namun seluruh daftar film akan dimuat di website conference setelah conference selesai.

Reporter : Ari Probandari

Refleksi untuk Indonesia dan Follow-up

 

Simposium ini ditutup oleh Sara Bennet dari Johns Hopkins University selaku Ketua Health Systems Global yang baru pada Jumat, 3 Oktober 2014 sore. Sebagai kesimpulan, sistem kesehatan global akan dan harus mengarah pada people-centred health system. Pergerakan ini harus didukung oleh para peneliti, pembangunan kapasitas di semua level (masyarakat, pelaku program kesehatan, pengambil kebijakan, dan peneliti sistem kesehatan), dan menjadikan pergerakan ini sebagai sesuatu inklusif dan tidak eksklusif seperti banyak program atau penelitian kesehatan yang selama ini telah berlangsung. Hal yang perlu diingat oleh setiap anggota sistem kesehatan adalah untuk selalu melakukan aksi setiap harinya di level lokal, agar dapat mempengaruhi perbaikan di level global.

 

 

Berikut ini beberapa rekomendasi hasil Simposium antara lain:

  1. Perlu inklusivitas masyarakat dalam pengembangan sistem kesehatan global;
  2. Perlu dilakukan pengembangan metodologi penelitian yang kuat dalam mendukung penelitian sistem kesehatan;
  3. Perlu dilakukan pengembangan kapasitas penelitian di semua level;
  4. Keberlangsungan kerjasama intersektoral dan lintas pemangku kepentingan-masyarakat-peneliti kesehatan untuk pengembangan riset sistem kesehatan.

Rekomendasi di atas termuat dalam pernyataan Health System Global dari pertemuan di Cape Town dan dapat diunduh melalui link berikut: http://hsr2014.healthsystemsresearch.org/.

Sara Bennet mengumumkan pemenang kontes poster penelitian serta mengucapkan terima kasih khusus kepada para panitia yang telah bekerja keras menyukseskan acara ini, terutama kepada Prof. Lucy Gilson dan Prof. Di McIntyre.
Simposium Health System Research yang akan datang akan diadakan di Vancouver pada bulan November 2016. Suarakan hasil penelitian dan advokasi Anda di perayaan global mendatang dan lakukan aksi nyata di level lokal untuk perubahan global.

 

 

 

Refleksi untuk Indonesia

Sebagai penafsiran selama mengikuti Simposium di Cape Town, anggota tim PKMK FK UGM mengambil beberapa hal yang menarik. Dua isu penting yang dapat direfleksikan dengan keadaan di Indonesia mencakup:

A. Topik “People-Centered dalam Sistem Kesehatan”

Dalam refleksi ini ada beberapa pertanyaan yang pada sesi pengantar mengikuti Simposium sudah ditekankan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:

  1. Apakah sistem kesehatan di Indonesia sudah menempatkan masyarakat sebagai hal yang utama?
  2. Apakah sistem kesehatan di Indonesia mencerminkan hubungan antar lembaga yang baik dan mempunyai aspek-aspek kemanusiaan?
  3. Apakah kebijakan-kebijakan besar di sistem kesehatan Indonesia (misal kebijakan JKN, desentralisasi kesehatan, penurunan kematian ibu dan bayi, penanganan AIDS, kesehatan jiwa, dan lain-lain) sudah menempatkan masyarakat di tempat yang utama?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, secara garis besar memang people center sudah mulai dibahas dalam kebijakan kesehatan di Indonesia, walaupun belum masuk secara mendalam. Sebagai gambaran dalam berbagai kebijakan pemerintah sudah digambarkan mengenai pentingnya pelayanan terhadap masyarakat miskin, atau terpinggirkan dalam pembiayaan kesehatan Askeskin, Jamkesmas, atau sekarang JKN. Namun perlu dicatat bahwa apa yang tertulis dalam kebijakan perlu untuk dipantau dan dimonitoring pelaksanaannya.

Dalam konteks adopsi People Centered oleh peneliti kebijakan, pada Forum Nasional ke V Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia di Bandung pada tanggal 24-26 September 2014, topik ini telah banyak dibahas. Sebagai gambaran berbagai Policy Brief yang sedang dikembangkan pasca pertemuan nasional di Bandung pada hari Jumat tanggal 26 September 2014 banyak membahas People-Centered Health System, misal:

  • Bagaimana agar masyarakat di daerah sulit dapat memperoleh keadilan dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional?
  • Bagaimana kelompok marginal dalam masalah AIDS dan kesehatan jiwa dapat memperoleh perhatian cukup dari pemerintah?
  • Bagaimana pendidikan tenaga kedokteran dan kesehatan dapat disiapkan untuk melayani mereka yang berada di daerah sulit?

Namun aspek people-centre ini masih perlu dikembangkan lebih lanjut di Indonesia. Kebijakan-kebijakan kesehatan perlu dianalisis dan juga penelitian-penelitian kebijakan kesehatan apakah sudah menggunakan konsep ini atau belum. Faktanya, memang ada kemungkinan hanya masalah istilah saja.

B. Untuk Peneliti Kebijakan Kesehatan

Relevansi isi Simposium di Cape Town dengan penelitian di Indonesia adalah seringkali sebagai peneliti, kelompok peneliti belum menempatkan masyarakat dan praktisi program kesehatan sebagai mitra utama. Agenda penelitian masih banyak yang diarahkan oleh kepentingan donor atau tidak diangkat oleh mereka yang ada di lapangan dan masyarakat yang merasakan di titik hilir, keberhasilan (atau kegagalan) sistem kesehatan tersebut.

Simposium ini menekankan bahwa sudah saatnya para peneliti, pembuat kebijakan, dan masyarakat bergerak ke arah kolaborasi yang benar-benar menjawab permasalahan sistem kesehatan di lapangan.

Salah satu pertanyaan dan pesan penting yang disuarakan dalam sesi penutup ini adalah: pengetahuan seperti apa yang berguna? Jawabannya adalah: pengetahuan yang membawa perbaikan dalam sistem kesehatan.

Hal ini yang menjadi tantangan bagi peneliti kebijakan kesehatan di Indonesia. Apakah hasil penelitiannya dapat memperbaiki kebijakan yang ada sehingga memberikan manfaat yang lebih besar untuk masyarakat? Ataukah penelitiannya cenderung lebih banyak memberi manfaat pada peneliti dan lembaga penelitiannya untuk naik pangkat ataupun mendapat penghasilan dari penelitiannya.


Catatan akhir

Sebagai catatan akhir tim PKMK FK UGM selama mengikuti Simposium, ada beberapa hal yang dapat dikembangkan di Indonesia:

Penguatan kapasitas dalam praktek dan penelitian kebijakan

  1. Ideologi kebijakan perlu ditekankan, people-centered merupakan hal yang ideologis.
  2. Metode penelitian untuk kebijakan perlu lebih dikembangkan, tidak cukup metode kuantitatif saja.
  3. Pentingnya penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam riset kebijakan. Penggunaan ini tidak terbatas pada ilmu ekonomi dan sosiologi, namun juga ilmu antropologi untuk memahami bagaimana proses pengambilan kebijakan dan keadaan pemberi pelayanan.
  4. Pengembangan think-tank untuk membantu kebijakan. Keberadaan think-tank perlu diperkuat dengan peneliti kebijakan yang handal.
  5. Perlunya pelatihan-pelatihan mengenai metode analisis kebijakan dan riset kebijakan.

Pendalaman berbagai aspek dalam sistem kesehatan

  1. Aspek Equity dalam asuransi kesehatan
  2. Aspek SDM dan insentif bekerja.
  3. Aspek governance dalam sistem pelayanan kesehatan.

Bagaimana tindak lanjut nyatanya?

Sebagai tindak lanjut keikutsertaan tim PKMK FK UGK dalam Global Simposium III di Cape Town, direncanakan akan dilakukan beberapa hal di UGM:

  • Diskusi Webinar apakah people-center dalam kebijakan kesehatan di Indonesia sudah diterapkan? Refleksi dari keikutsertaan tim PKMK di Cape Town akan dibahas secara mendalam. Waktu: Minggu ke-3 Oktober 2014.
  • Penguatan Peran Perguruan Tinggi dalam pengembangan kebijakan kesehatan yang akan dibahas dalam pertemuan IAKMI di Padang.
  • Workshop Pengembangan think-tank di sektor kesehatan yang akan dilaksanakan akhir November 2014. KSI
  • Diskusi Webinar: Pengembangan metode penelitian Kuantitatif dan Kualitatif untuk riset kebijakan kesehatan.
  • Pengembangan Modul-Modul untuk Pelatihan Analisis Kebijakan Kesehatan.
  • Pelatihan analisis kebijakan dan kebijakan. Awal tahun 2015.
  • Pelatihan Result Based Financing di tahun 2015.

Penulis:
Tim PKMK FK UGM di Cape Town

Laksono Trisnantoro, Tiara Marthias, Retno Siwi Padmawati, Putu Andayani, Faozi Kurniawan, dan Ari Probandari (FK UNS).

 

{jcomments on}

 

Pra Simposium 1, 29 September 2014

30sept-1

Transforming Health Workforce Education for Health Equity: Practical Tools and Approaches

30sept-1Kebutuhan tenaga kesehatan yang terlatih ternyata tidak hanya dialami oleh Indonesia. Hal ini juga dialami beberapa negara di dunia. Kekurangan tenaga kesehatan juga menyebabkan ketidakadilan dalam mengakses pelayanan kesehatan. Sebagai contoh di Sub Sahara Africa, ketidakadilan pelayanan kesehatan disebabkan; 1) lebih dari 50% kasus kelahiran tidak ditangani tenaga kesehatan terlatih, 2) lebih dari 10 penduduk hidup dengan HIV yang tidak dapat mengakses ART, 3) dan perkiraaan kurang dari 25% yang mengakses KB. Sehingga hal ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi tenaga kesehatan, dimana; 1) secara global masih kekurangan 7,2 juta dokter, perawat, dan bidan, 2) ketidak merataan distribusi tenaga kesehatan baik daerah pedesaan maupun perkotaan, 3) keahlian campuran antara jenis dan spesialisasi yang tidak dimiliki tenaga kesehatan yang dibutuhkan.

Hal-hal tersebut didukung oleh beberapa laporan yang menandai bukti-bukti dalam hal tantangan untuk tenaga kesehatan seperti; 1) laporan WHO dan rekomendasi (2006), rekomendasi peningkatan akses pendidikan bagi tenaga kesehatan didaerah pedesaan dan daerah terpencil (2010), transforming dan meningkatkan pendidikan profesional kesehatan dan pelatihan (2013), 2) Laporan di Jurnal Lancet (2010) mengenai komisi global untuk pendidikan profesional kesehatan, dimana merekomendasikan agar mereformasi instruksional dan institusional untuk menghasilkan tim tenaga kesehatan yang mampu menemukan kebutuhan kesehatan masyarakat dan merata dan efisien, 3) Konferensi Mahidol Awards di Thailand 2014, yang menjelaskan transformasi pembelajaran untuk pemerataan kesehatan, dan bagaimana reformasi bagi pendidikan pemimpin tenaga kesehatan.

Pengalaman di berbagai negara menunjukkan pendidikan tenaga kesehatan memiliki tantangan tersendiri. Kebutuhan di lapangan dan proses pendidikan di tingkatan lembaga pendidikan tidak sama. Bahkan lulusan yang sudah dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang banyak ditemui tidak dapat menyesuaikan kebutuhan daerah.

Untuk mengatasi hambatan pendidik tenaga kesehatan, muncul beberapa inovasi untuk membangun kapasitas institusi dalam sistem yang terhubung antara sistem kesehatan dan sistem pendidikan. Inovasi ini dijalankan dengan beberapa tools atau pendekatan yang telah dijalankan beberapa negara seperti di Kenya yaitu BBB (Bottleneck and Best Buys). BBB tools ini merupakan suatu alat untuk mengkaji atau menilai sekolah kedokteran pda sembilan bagian seperti yang telah diidentifikasi oelh WHO dan WFME. Pada bagian ini proses sistemtik menggunakan cross sectional survey untuk pengambilan datanya dan informasi yang didapatkan akan digunakan untuk menemukan bottleneck dan mengembangkan keputusan investasi berbasis bukti. BBB ini telah direview dari berbagai tingkatan dan cocok digunakan di Kenya dan inovasinya juga diadopsi atau dipergunakan.

Beberapa inovasi berhasil menemukan bottleneck gap yang berhubungan antara misi institusi dan perencanaan dan pengawasan untuk keuangannya. Kemudian menemukan gap pada penyusunan kebijakan yang dibutuhkan dan implementasinya seperti isu gender, isu tentang petunjuk teknis klinis. Ditemukan juga gap pada pengembangan fakultas, gap pada instruktur klinis, investasi pada infrastruktur dan peralatan, gap pada pendukung akademik, kemahasiswaan, dan keuangan.

Akhirnya aksi prioritas yang harus dijalankan untuk inovasi dalam mengatasi bottleneck adalah;

  1. Melakukan pengembangan kebijakan, mendiseminasikan kebijakan tersebut, dan melakukan advokasi,
  2. Pembangunan kapasitas manajemen dengan perencanaan stratejik, bisnis, dan investasi, serta juga memobilisasi sumber daya,
  3. Penguatan pada kurikulum pemerintah di tingkat nasional, sub nasional, dan institusi,
  4. Membangun kompetisi fakultas dan mengembangkannya, termasuk didalamnya yaitu instruksi klinis dan pengawasan khusus,
  5. Penguatan pendekatan OdeL,
  6. Pendekatan pada penguatan inovasi dan mobilisasi berbagai macam sumber daya dan manajemen yang ditransformasi ke sektor bisnis dan kerjasama
  7. Hubungan strategis dengan tingkat nasional dan sub-nasional.

Sebagai implementasi aksi untuk transformasi pendidikan kesehatan menuju keadilan kesehatan perlu dilakukan;

  1. mengaplikasikan pendekatan BBB,
  2. Meningkatkan program pendidikan bagi bidan,
  3. Mengadopsi pendidikan berbasis masyarakat,
  4. Melakukan penelusuran terhadap kelulusan mahasiswa atau alumni,
  5. Melakukan estimasi besarnya biaya untuk pendidikan kesehatan atau unit cost,
  6. Penguatan sekola melalui pembuatan keputusan berdasarkan data informasi.

Reporter: M. Faozi Kurniawan

Primary Health Care Performace Inisiative: Measurement,Learning and Improvement

30sept-2

PKMK – Primary Health Care (PHC) yang dikenal sebagai Puskesmas di Indonesia menjadi topik yang menarik pada sesi ini sebagai bentuk kerjasama Bill & Melinda Gates Foundation dan World Bank Group serta bekerja sama dengan Ariadne Labs dan Development Institute. Inisiatif Penilaian Kinerja PHC menghasilkan informasi untuk membantu pengambil keputusan di negara yang berpebghasilan rendah dan menengah sebagai bagian untuk meningkatkan PHC dan mancapai tujuan masyarakat yang sehat.

Inisiatif kinerja ini berfungsi mengumpulkan informasi yang sistematik tentang batasan atas kinerja bagi sistem PHC, mengeksplorasi sistem dari perspektif indovidu dengan melihat apa yang terjadi dengan fasilitas kesehatan dan progam kesehatan masyarakatnya, bagaimana pengalama di berbagai negara dan apa yang bisa diberikan kepada pembuat keputusan dan manajer sistem kesehatan dapat mencapai cakupan secara efektif dan meningkatkan hasil pelayanan kesehatan.
Komponen Inisiatif Kinerja PHC yaitu:

Pengukuran (Measurement)

Inisiatif menjadi bagian penting dari berbgai negara dengan melihat adanya data yang diperoleh sebagai bagian dari penilaian atas kinerja PHC. Insiatif ini mengukur dan mengembangkan proses secara metrik melalui literatur dan mencontoh keberhasilan yang sudah ada untuk menghasilkan pemahaman tentang sistem kinerja yang tinggi, dimana bertujuan memperbaiki sistem kinerja bagi PHC. Dicontohkan pengukuran metrik dengan alat ukur Metrik versi 1.0 dan versi yang terakhir Metrik 2.0. Alat ini menjelaskan variasi yang ada untuk kinerja dan memberikan pemahaman yang komprehensif tentang investasi, kebijakan, dan praktik di lapangan untuk menghasilkan sistem kinerja yang baik.

Pembelajaran (Learning)

Komponent pembelajaran merupakan usaha yang memfokuskan pada hasil/bukti yang ada di sistem kinerja PHC dan melakukan analisis variasi pada kinerja Metrik PHC untuk memahami faktor penentu kinerja. Inisiatif ini juga menelusur pengalaman beberapa negara pada implementasi kebijakan PHC, praktik, dan pelaksanaan progam dengan tujuan mengembangkan intervensi-intervensi yang dapat diukur dan di evaluasi.

Perbaikan (Improvement)

Hal yang terakhir, inisiatif perbaikan ini bertujuan untuk mendukung PHC meningkatkan usaha atau upayanya untuk mendiagnosa proses yang telah dilakukan. Gambarannya adalah tentang pengetahuan yang dimiliki, mengevalasi dan menilai praktek dan intervensi baru dengan menggunakan tes, evaluasi, dan adaptasi baru. Inisiatif ini juga bertujuan meningkatkan kerjasama di beberapa negara dan mengembangkan hubungkan kerjasama ini.

New Measurement Domains

Kompetensi Provider

Melihat kualitas klinis, kompetensi, produktivitas dan fasilitas, serta masyarakat berbasis provider.

Motivasi Provider

Berbasis karakteristik yang instrinsik dan berbasis lingkungan yang melihat dampak lingkungan dan kinerja fasilitas dan masyarakat berbasis provider

Keberlanjutan dan Koordinasi

Menggunakan sumber daya yang ada dan mengubungkan program-program dan kegiatan pelayanan kesehatan diantara berbagai provider.

Responsif

Persepsi masyarakat pada kualitas personal dan berbagai dimensi pelayanan yang mempengaruhi penggunaan layanan.

Penguatan di Masyarakat

Pengetahuan masyarakat tentang preventif dan promotif dan dukungan terhadap PHC dari tokoh masyarakat.

Sebagai bagian terakhir, pada kesempatan ini Indonesia yang di wakili oleh Pak Pungkas dari Bappenas menceritakan gambaran PHC (Puskesmas) di Indonesia. Sistem kesehatan untuk Puskesmas telah di bangun di Indonesia meskipun memang banyak tantangan di mana jumlah Puskesmas yang semakin bertambah dan adanya sistem kesehatan baru dengan adanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dukungan pemerintah dan pemerintah daerah serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk membangun Puskesmas menjadi provider yang dibutuhkan masyarakat tidak hanya dari sisi klinis tetapi juga penguatan pda sisi promotif dan preventif.

Reporter: M. Faozi Kurniawan

Improving Recommendation for Policies and Practices to Strengthen People-Centered Health System: Is The State of Evidence Sufficient?

Sesi ini bertujuan untuk me-review standar bukti dalam program keluarga berencana dan bagaimana bukti serta pengetahuan disintesa untuk menginformasikan rekomendasi bagi perubahan kebijakan dan implementasi yang terpusat pada kebutuhan pengguna. Sesi yang dimoderatori oleh Laura Reichenbach dari Population Council ini didesain untuk menjadi sesi yang interaktif, dengan menyediakan waktu yang cukup untuk terjadinya diskusi antara peserta dengan para narasumber maupun antar-peserta. Diharapkan peserta dapat

  1. memilih dan mengkampanyekan adopsi kebijakan dan prakteknya yang berbasis pada bukti,
  2. mempertemukan antara peneliti dengan pelaksana kebijakan untuk mengidentifikasi hambatan pelaksanaan kebijakan secara lebih baik,
  3. menentukan seberapa banyak bukti yang diperlukan untuk menyusun kebijakan yang berdampak luas dan
  4. memproduksi bukti yang dibentuk untuk mengkampanyekan perubahan kebijakan dan implementasinya.

askewPara pembicara berasal dari Population Council, USAID, WHO dan Ghana Health Service. Sementara, para peserta berasal dari berbagai institusi penelitian maupun pembuat kebijakan, dari Eropa, Amerika, Asia dan Afrika. Ian Askew dari Population Council sebagai pembicara pertama memaparkan tentang berbagai metode review yang dapat digunakan untuk mensintesa hasil-hasil penelitian, yaitu systematic review, realist review dan rigorous review. Ada beberapa referensi yang digunakan oleh pembicara untuk mendefinisikan systematic review, antara lain dari Cochrane, Institute of Medicine US National Academic of Sciences dan UK National Institute for Health and Clinical Excellence. Jika systematic review harus dimulai dengan pertanyaan yang jelas, menelusuri literatur hingga memperkirakan adanya risiko, maka rigorous review dimulai dari diskusi umum dan tidak selalu disertai dengan literatur. Realist review merupakan upaya untuk mengidentifikasi kausal utama yang kompleks dan menjelaskan bagaimana review ini bekerja dalam konteks spesifik untuk menghasilkan outcome tertentu.

 

3 nhan tranSalah satu contoh yang diangkat oleh Shawn Malarcher (USAID) sebagai pembicara selanjutnya adalah program HIP. Bedanya program HIP dengan program-program lain diantaranya adalah bukti-bukti direview, disintesa dan dikemas khusus untuk program manager, bukti-bukti yang digunakan rigorous namun realistis, serta dampak terhadap penggunaan kontrasepsi lebih luas, dapat direplikasi, jangka panjang hingga biayanya dapat ditekan.

Salah satu hal yang mendapat penekanan pada sesi ini adalah peran peneliti dan bagaimana menyatukan para peneliti dan pengambil kebijakan dalam satu proses pembelajaran. Menurut Nhan Tran (WHO) lesson learnt yang tidak boleh dilupakan adalah bagaimana mendukung proses peningkatan kapasitas pengguna hasil penelitian dan penelitiitu sendiri terhadap suatu program, bukan sekedar bagaimana mengaplikasikan hasil riset ke tahap implementasi. Isu-isu kedepan menurut Tran antara lain:

 

  • Bagaimana meningkatkan kapasitas dari sebuah program,,
  • Bagaimana meningkatkan kualiats data yang sudah ada untuk mendukung implementasi,
  • Bagaimana memberikan insentif untuk program-program yang lebih berorientasi pada praktek,
  • dan menyelaraskan berbagai pendanaan program penelitian untuk proses pembelajaran yang lebih melekat dan lebih intensif,

Contoh yang sudah pernah dilakukan oleh WHO dalam Alliance adalah bagaimana menggunakan data untuk pembuatan kebijakan, meningkatkan kualitas data, meningkatkan kemampuan analisis data, konsultasikan hambatan penggunaan data dan sebagainya. Kegiatan lain contohnya adalah bagaimana memfasiliitasi pengguna implementation research untuk mendukung pengambilan keputusan. Ada penelitian-penelitian dalam topik ini yang kemudian didanai oleh WHO. Monitoring dan evaluasi harus bisa menghasilkan bukti yang berkelanjutan. Hanya peneliti yang peduli dengan istilah “Monev” atau M&E, para pengambil kebijakan tidak peduli dengan istilah-istilah seperti itu. Hal yang dipentingkan adalah konten dan konteksnya. Jadi jangan memaksakan istilah-istilah dalam penelitian kepada para pengambil kebijakan.

karenJenis-jenis bukti yang bisa digunakan tidak selalu harus dalam bentuk publikasi atau literatur, melainkan bisa juga dalam bentuk pengetahuan, informasi, ide dan ketertarikan, politik bahkan ekonomi. Hal tersebut dipaparkan oleh Karen Hardee (Population Council). Ia mengangkat contoh pemberian penyuluhan dan terapi bagi para penderita HIV di India. Dokter bekerja dalam suatu sistem yang berbeda dengan para peneliti dan pelaksana progam HIV. Ini ynag menyebabkan banyak hal kurang selaras dalam menjalankan program HIV tersebut. Oleh karenanya, program manager HIV harus paham dengan lingkungan dimana program tersebut akan diimplementasikan agar lebih optimal.

Patrick Kuma Aboagye (Ghana Health Service) sebagai pengambil kebijakan di level district dan pelaksana kebijakan yang dibuat di level nasional. Ia memberi contoh kasus hasil penelitiannya mengenai pelaksanaan program KB khususnya pemasangan implan yang dilakukan oleh para kader kesehatan. Selain itu juga dapat meningkatkan efektivitas dan keselamatan pasien, karena beban bidan menjadi lebih ringan dengan adanya bantuan dari para kader. Hal ini dilatarbelakangi oleh semakin meningkatnya kebutuhan akan pengendalian kelahiran. Dengan meningkatkan kemampuan dan peran kader, cakupan KB lebih tinggi, kesadaran masyarakat meningkat untuk mengendalikan kelahiran, tidak ada komplikasi dan angka drop out (removal) menurun. Namun para pengambil kebijakan tidak setuju dengan hal tersebut, karena dianggap bukti yang mendukung masih kurang.

Sesi ini dilanjutkan dengan diskusi yang menarik dan hangat, dimana interaksi antara pembicara dengan peserta dan antar-peserta cukup intensif. Banyak poin penting dan pembelajaran yang dapat disimpulkan dari sesi ini, antara lain bahwa peneliti tidak bertugas untuk mengubah pembuat kebijakan menjadi peneliti juga, melainkan bagaimana menghasilkan feedback dari hasil penelitian pada para pembuat kebijakan tersebut.

Komponen penting dari pengambilan keputusan adalah:

  • value dari keputusan
  • karakter partisipatori dari pengambilan keputusan, yaitu ada fairness dan engagement di dalamnya.

Peneliti perlu terlibat dalam pengambilan keputusan dan sebaliknya pembuat kebijakan harus memiliki akses terhadap data yang baik.

Berbagai pertanyaan kunci perlu dilihat lagi, antara lain: pendekatan mana yang akan digunakan, konteks mana yang tepat dari sebuah bukti, bagaimana melibatkan para pelaksana kebijakan dalam agenda penelitian, bagaimana meng-handle ideologi, siapa mendengar siapa dan kebijakan apa untuk siapa. (pea)

Reporter: Putu Eka Andayani

Implementation Research and Delivery Science Challenges for HIV/AIDS

Sesi ini diselenggarakan oleh UCSF dengan WHO. Sesi satelit ini dipimpin oleh Nancy Padian dari University of California San Fransisco, USA. Sesi ini dimulai dengan overview tentang apa yang telah dilakukan Alliance Health Services (AHS)- WHO dan bagaimana integrasi “implementation research” dalam HIV/AIDS program. Tantangan utama kesehatan masyarakat secara global adalah bagaimana mengambil “research evidences” untuk intervensi dan mengimplementasikannya dalam situasi nyata (bukan penelitian). Dalam presentasinya yang mengawali satellite meeting pada 29 September, Nhan Tran menyebutkan bahwa biasanya setelah mendapatkan research evidence dan kemudian akan diterapkan dalam suatu implementasi yang berskala luas, maka implementasi tersebut kacau. Skenario yang sempurna untuk implementasi program sudah dirancang tetapi hal tersebut hampir tidak pernah terjadi, karena desain dan proses yang terjadi berbeda dengan yang diharapkan.

Implementation research mensyaratkan bahwa penelitian sebaiknya menjadi bagian dari implementasi program, serta menggunakan desain dan pendekatan yang fleksibel dan “embedded” dalam program yang ada. Dengan demikian, dibutuhkan “enggangement” yang luas dengan seluruh stakeholders dan melibatkan semua disiplin untuk menjawab tantangan implementasi yang kompleks. Oleh karena implementation research merupakan usaha kolektif dan kolaboratif. Maka, sangat penting bahwa orang-orang yang bekerja di garis depan; baik yang sedang menjalankan suatu program yang spesifik maupun yang berada dalam sistem kesehatan harus memahami pentingnya kolaborasi dalam upaya “implementation research” (lihat http://www.who.int/alliance-hpsr/alliancehpsr_irpguide.pdf ).

Sesi-sesi selanjutnya dalam “satellite meeting” ini kemudian mempresentasikan pengalaman implementation research yang telah dilakukan oleh beberapa institusi dalam HIV/AIDS di Afrika. Meg Doherty dari WHO menekankan pada implementation research yang “clinically relevant” tetapi pada saat yang bersamaan juga harus “operationally relevant”. Kemudian Charles Holmes dari CIDRZ menekankan pada “learning while we go” yang mengembangkan inovasi untuk “scaling up” program yang dikerjakan di Zambia. Dengan jumlah 500 ribu pasien yang terdaftar dan ditangani dalam kliniknya, pengumpulan data yang bagus (namun seringkali bermasalah) dapat dilakukan untuk melihat outcome pasien. Di sini para dokter yang memeriksa pasien merupakan stakeholder yang sangat penting untuk menghasilkan data dan pengetahuan yang dapat digunakan untuk memperbaiki kaidah-kaidah dalam penelitian. Francois Venter, presenter berikutnya dari WITS mempresentasikan kondisi dalam memberikan pelayanan tetapi sekaligus melakukan penelitian, serta mengemukakan isu tentang bagaimana mengevaluasinya. Menurutnya, penelitian harus sangat fleksibel sehingga ketika ada hal-hal yang tidak dapat dilakukan harus segera dapat disesuaikan. Francois mencontohkan adanya keluhan beberapa pasien/responden yang harus mengambil sendiri setiap kali ARV diperlukan; kemudian mengusulkan setiap enam orang penerima obat, hanya salah satu dari mereka yang akan mengambil obat. Dengan cara seperti ini, pasien lebih banyak bisa dijangkau dan program dapat berjalan dengan baik.

Reporter: Retna Siwi Padmawati 

Pra Simposium 2 , 30 September 2014

30sept-41

Better Hospital, Better Health System, Better Health

A Proposal for a Global Hospital Collaborative for Emerging Economies

30sept-41

Sebuah tim kecil dari the Center for Gobal Development (CGD) – lembaga think tank yang berbasis di Washington DC – mengembangkan sebuah konsep kerjasama antar-RS di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, untuk memperkuat organisasi rumah sakit. Hal ini dilakukan atas dasar pemikiran bahwa RS di negara-negara tersebut terabaikan oleh para pembuat kebijakan dan masyarakat. Padahal RS memiliki peran penting dalam meningkatkan kesehatan masyarakat karena membuka akses terhadap pelayanan spesialistik dan menetapkan standar sistem kesehatan nasional. Para pembuat kebijakan di level nasional mengabaikan kebijakan dan kinerja RS dari agenda kesehatan global. Hanya beberapa RS swasta – yang melayani masyarakat kelas atas – yang memenuhi standar internasional. Selain itu, pemerintah bisa mengeluarkan anggaran kesehatan hingga 70% untuk mendukung RS-RS berkinerja rendah, untuk memenuhi kebutuhan sumber daya mereka.

RS yang berkinerja tinggi dan melayani masyarakat kelas menengah ke bawah jarang sekali ada di negara berkembang. RS merupakan simbol yang paling jelas terlihat mengenai baik atau buruknya sistem pelayanan kesehatan di suatu negara. Meskipun demikian, peran dan fungsi RS ternyata sangat berbeda antar negara, tergantung pada sejarah, model governance, kepemilikan dan klasifikasinya. Sebuah RS berkapasitas 10 tempat tidur tanpa adanya air mengalir di sebuah desa di Siberia, RS kabupaten di Kenya hingga RS tersier di Johannesburg, semuanya memenuhi kualifikasi untuk disebut sebagai RS.

Saat ini biaya pelayanan kesehatan sangat tinggi dan terus meningkat, padahal di sisi lain banyak RS yang tidak efisien. Menurut WHO (2007), pengeluaran RS seringkali memakan separuh dari total anggaran negara, bahkan di beberapa tempat bisa mencapai 70%.

Alokasi anggaran ynag tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan kinerja dan mutu pelayanan yang baik. Sampai hari ini, kita masih sering mendengar atau membaca berita keluhan terhadap output layanan RS. Di Hanoi, seorang dokter terpaksa mengoperasi ulang seorang anak yang mengalami gagal ginjal karena kesalahan pada operasi sebelumnya. Di Uganda, sebuah laporan menulis bahwa RS adalah jebakan kematian. Di Brazil, seorang dokter dikabarkan membunuhi pasiennya untuk mengosongkan TT RS (agar bisa digunakan pasien lain).

Di level akar rumput, masalahnya adalah tidak adanya pemikiran stratejik tingkat tinggi mengenai peran, stuktur, distribusi dan organisasi RS di sistem kesehatan di negara-negara berkembang. Sementara itu insentif untuk meningkatkan kualitas pelayanan sangat kurang. Sebagai contoh, kebijakan akreditasi sudah dimulai tahun 1999 di Brazil, namun hingga kini hanya 3% RS yang terakredikasi. Karena mahalnya biaya akreditasi, hanya RS swasta untuk masyarakat kelas atas yang mampu menempuhnya. Tentu saja pada akhirnya hal tersebut mempengaruhi tarif RS. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi kelangsungan sistem kesehatan dan hambatan finansial bagi masyarakat untuk mengakses pelayanan kesehatan. Semua hal tersebut menjadikan alasan mendasar mengapa perlu ada kolaborasi RS global yang perlu segera dibentuk.

GHC memiliki visi untuk menjadikan dunia dimana RS berkinerja tinggi yang melayani masyarakat kelas menengah ke bawah merupakan hal biasa an menjadi kkomponen kunci dalam upaya mencapai UHC, menguatkan sistem kesehatan, serta menghasilkan outcome kesehatan yang lebih baik dengan biaya yang lebih masuk akal bagi masyarakat. Misinya adalah menyediakan platform perubahan global yang akan menyediakan informasi dan dukungan teknis bagi pembuatan kebijakan yang berbasis bukti dalam rangka meningkatkan kinerja RS.

Dalam jangka pendek, rencana GHC adalah:

  1. Menyediakan overview teknis dan pengalaman-pengalaman berbagai RS di negara berkembang.
  2. Membandingkan kinerja, praktek manajemen dan penganturan tata kelola RS di sebuah bagian kecil dari negara-negara berkembang, dengan maksud untuk membantu stakeholders dalam menentukan path menuju peningkatan efisiensi, kualitas dan koordinasi dengan partner yang lain.
  3. Menciptakan pengetahuan berbasis web yang relevan dengan RS.
  4. Pilot project pendampingan teknis untuk beberapa negara terpilih.

Dalam jangka panjang, GHC akan melakukan:

  1. Layanan konsultasi practitioner-to-practitioner bagi RS atau kelompok RS
  2. Membangun sistem data yang terstandarisasi dengan aksesibiltas terhadap input, kualitas, outcome dan pengukuran kinerja lainnya
  3. Menerbitkan serial brief sintesis dan review inovasi
  4. Mengembangkan program riset operasional

Sesi ini berbeda dengan sesi-sesi lainnya dalam The Third Global Health Symposium, karena disini bukan memaparkan hasil riset melainkan mempromosikan inisiatif untuk membentuk GHC. Tujuannya adalah untuk menjaring respon dan inisiatif baru dari para peserta yang berlatarbelakang konsultan dan peneliti dalam bidang manajemen rumah sakit. Para panelis dalam sesi ini antara lain:

  1. Dr. Jonathan Blommberg, CEO Discovery Health di Discovery Limited. Ia merupakan ahli pelayanan kesehatan yang telah terkenal di Afrika dan menjadi konsultan pada berbagai projects manajemen pelayanan kesehatan nasional maupun internasional dalam bidang strategi, keuangan dan ekonomi.
  2. Amanda Glassman, Direktur Global Health Policy dan peneliti senior pada Center for Global Development. Ia banyak bekerja pada priority-setting, alokasi sumber daya dan value for money di global health, berpengalaman 20 tahun bekerja dalam program dan kebijakan kesehatan dan perlindungan sosial di Amerika Latin.
  3. Gerard La Forgia, Kepala Health Specialist di World Bank dan saat ini bekerja di Kantor Washington. Ia sudah berpengalaman bekerja dalam area kinerja RS dan reformasi sistem kesehatan serta menerbitkan buku mengenai asuransi kesehatan.
  4. Maureen Lewis, adalah profesor tamu di Global Human Development Program di School of Foreign Service kerjasama dengan Masters in Global Health Program. Dia sudah bekerja selama 22 tahun di World Bank dengan berbagai posisi.

Reporter: Putu Eka Andayani

The Case For Implementation Research and Delivery Science

Sesi ini merupakan sesi satelit dalam The Third Global Symposium on Health Systems Research di Capetown, 30 September-3 Oktober 2014. Tujuan dari sesi ini adala pertama. mendiskusikan definisi implementation research, apa masalah prioritas yang dapat diteliti dalam implementation research dan bagaimana implementasinya. Kedua, mensosialisasikan draft ‘Statement on Advancing Implementation Research and Delivery Science’ yang dibuat oleh Alliance of Health Policy and Research Systems. Pembicara adalah perwakilan Alliance of Health Policy and Research Systems, USAID dan World Bank.

Laporan ini perlu ditulis agar para peneliti kesehatan masyarakat mendapat pengetahuan baru tentang apa dan bagaimana implementation research serta peluangnya untuk diterapkan pada konteks Indonesia. Struktur/agenda kegiatan yang dilaporkan. Sesi dimulai dengan penjelasan dari perwakilan USAID dan World Bank tentang berbagai riset yang telah dilakukan. Menurut USAID, contoh-contoh topik implementation research adalah hal-hal yang terkait dengan MDGs dan post MDGs 2015 seperti Kesehatan Ibu dan Anak, family planning, HIV AIDS. Menurut World Bank, area yang perlu implementation research termasuk masalah-masalah kesehatan yang selama ini neglected diseases serta evaluasi impact maupun cost-effectiveness. Hal yang lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menghasilkan riset yang lebih cepat dan sustainable. Beberapa hal yang digaris bawahi dalam implementation research adalah:

  1. Implementation research harus fokus pada masalah penelitian yang menarik bagi pengambil kebijakan;
  2. Pelibatan pelaksana program dalam riset
  3. Penelitian dasar seperti penelitian biomedik harus selalu dikaitkan dengan implementasinya.

Pembicara berikutnya dari WHO menjelaskan tentang draft ‘Statement on Advancing Implementation Research and Delivery Science’ dimana ditekankan bahwa pelibatan pelaksanaan program dalam implementation research adalah keharusan. Riset perlu dikaitkan dengan kebijakan dan pengambilan keputusan. Hal tersebut menjadi dasar bahwa pelibatan pelaksana program (bahkan sebagai Principal Investigator) dianggap suatu hal yang harus dilakukan. Implementation research dengan menggunakan data-data lokal juga perlu dipromosikan.

Daftar abstrak atau power poin atau video yang terbuka untuk umum. Draft statement dapat dibuka di link berikut:
http://www.who.int/alliance-hpsr/news/CTStatement.pdf?ua=1 

Reporter: Ari Probandari

Simposium 1 , 1 Oktober 2014

irene

Reportase Third Global Symposium on Health System Research

Pembukaan
Reporter: Laksono Trisnantoro

ireneAcara pembukaan dibuka oleh moderator Irene Agyepong dengan pidato dari Margaret Chan,
Direktor Jendral WHO Geneva.

Sebagai pimpinan WHO, Margaret memulai pidatonya dengan mengemukakan masalah Ebola. Mengapa terjadi hal yang menyedihkan ini? Hal ini disebabkan sistem kesehatan yang tidak lengkap. Fasilitas yang kurang memadai, pendidikan yang kurang, lemahnya pemahaman mengenai surveilans dan berbagai hal lain termasuk tidak adanya vaksin. Namun, kita semua harus berjuang bersama untuk mengatasi masalah ini. Margaret menekankan mengenai perlunya Sistem Kesehatan yang harus people center. Sistem ini harus harus berfokus pada masyarakat, bukan hanya pada pemberi pelayanan. Selanjutnya dalam pidato pembukaan ditekankan agar sistem kesehatan memperhatikan kegagalan yang ada karena kita tidak mempunyai basis infrastruktur. Dalam hal ini, riset diperlukan untuk mengkaji infrastruktur. Selain itu, diperlukan evidence yang tepat. Di akhir pidatonya, Margaret Chan mengucapkan selamat mengikuti simposium.

 

Debora Bix, Ambassador at Large dan Koordinator US Global AIDS.

deboraDebora dalam sambutannya menekankan bahwa untuk AIDS, Amerika Serikat memberikan banyak dana untuk menangani fenomena ini. Kemudian, sebagian dana dipergunakan untuk sistem kesehatan horisontal. Kemudian, apa efeknya? Insiden dapat turun walaupun hal ini tidak terjadi di semua negara . Banyak negara di Afrika yang masih mengalami masalah. Dalam hal ini, SDM sangat berat juga infrastuktur, misal di Malawi dan Mozambique.

Tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat, mempunyai kemampuan yang terbatas. Untuk itu diperlukan pengembangan untuk mereka. Deborah menekankan perlunya control untuk epidemik dengan pendekatan: Right Things, Right Place, and Right Times. Di ujung pidatonya, Debora menegaskan, bahwa pekerjaan belum selesai. Setiap minggu ada 4600 bayi terinfeksi AIDS. 3600 anak mati , 25 ribu orang dewasa mati. Hal ini yang menjadi pemicu semangat.

 

Malebona Precious Matsoso, Dirjen Kesehatan Afrika Selatan.

malebonaTopik mengenai Ebola masih menjadi isu kunci. Ada banyak wabah di Afrika, infrastruktur yang kurang, konflik yang berkepanjangan menjadi masalah besar. Banyak bantuan dari luar negeri. Dari US, Jepang, dan lain-lain, di dalamnya termasuk dari perguruan tinggi besar. Dalam situasi seperti ini, Malebona menyatakan bahwa perlu ada evidence, yang dapat mendukung proses pengambil keputusan agar perencanaan dapat terinformasi dan dapat mencapai hasil yang baik. Oleh karena itu, perlu investasi dalam health system research.

Kita perlu champion, perlu budaya untuk melaksanakan riset. Kita harus mengembangkan kapasitas terutama untuk penelitian. Harapannya simposium ini dapat menginspirasi para peneliti, pengambil kebijakan dan memicu policy maker untuk melakukan investasi dalam riset. Tema people centre in health system sangat tepat, dan perlu ada penekanan masyarakat sebagai pusat pengembangan, juga untuk user dan provider.
Afrika Selatan ditunjang dengan konstitusi sehingga kesehatan adalah rights (hak), kemudian ada patient-charters. Afrika Selatan akan terus berkomitmen untuk mendukung young scientist untuk mengembangkan riset. Selamat bersimposium.

Performance Based Incentive Research

Incentivizing Quality in Maternal, Neonatal and Child Health Service

1oktStrategi performance-based incentive (PBI) termasuk result-based financing (RBF) telah diterapkan secara luas di low and middle-income countries (LMICs) untuk mencapai target dalam pelayanan kesehatan, outcome kesehatan dan cost containment. Saat ini, rata-rata strategi PBI dari sisi supply di LMICs lebih berfokus pada unit pelayanan kesehatan untuk mengatasi masalah sangat rendahnya utilisasi faskes dibandingkan dengan fokus pada pengukuran kualitas pelayanan. Hal yang harus disadari ialah kualitas pelayanan penting bagi kesinambungan program, sehingga kini mulai banyak negara dari LMICs yang mencari pengukuran-pengukuran kualitas pelayanan yang berhubungan dengan peningkatan outcome kesehatan, untuk dimasukkan dalam sistem PBI.

Hal tersebut menjadi dasar dikembangkannya materi dalam sesi ini. Sebastian Bauhoff, seorang leader dalam Tehnical PBI dari University Rresearch Co., USA bertindak sebagai moderator. Para pembicara antara lain Stephen Brenner (peneliti dari Heidelberg University, Jerman), Fannie Kachale (Direktur Reproductive Health, Kemenkes Malawi), Ronald Mutasa (Health Specialist dari World Bank Group, Washington DC) yang kali ini diwakili oleh salah satu anggota timnya dan Jurrien Toonen (Senior Advisor, Dutch Royal Tropical Institute Netherland).

Salah satu poin menarik dari diskusi pada sesi ini adalah penggunaan balanced scorecard bukan hanya untuk mengukur kinerja dan mutu outcome kesehatan pada program pemberian insentif untuk peningkatan mutu layanan ibu dan anak, melainkan dimulai dari prosesnya. Ada beberapa keuntungan menggunakan BSC, antara lain adanya feedback yang dapat digunakan untuk menyusun strategi selanjutnya dalam implementasi program. Namun pembicara juga mengungkapkan beberapa kelemahannya antara lain tidak terlihat apakah prosesnya sudah baik, bagian mana dari proses yang sudah lengkap atau tidak lengkap, serta bagaimana caranya mengetahui bagian mana yang perlu diperbaiki dan dimodifikasi.

Pada konsep Result-Based Financing, ada tiga hal yang perlu menjadi fokus, yaitu cost-effectiveness, kejujuran dan equity. Cost effectiveness misalnya apakah alokasi anggaran untuk pengadaan komputer memang betul meningkatkan kinerja pelayanan atau justru pemborosan. Konsep kejujuran dalam pengukuran kinerja hanya dapat diterapkan jika ada check and balance terkait dengan mutu pelayanan. Equity terkait dengan situasi dimana terkadang sulit mengeluarkan staf atau anggota tim meskipun yang bersangkutan under performance. Untuk itu, organisasi perlu mengembangkan sistem pay for performance untuk memastikan terjadinya keadilan diantara saf dan anggota tim.

Menurut para panelis, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan untuk lebih memahami dan memudahkan implementasi konsep PBI dan RBF yaitu:

  1. adanya rasa kepemilikan terhadap program dari dinas kesehatan setempat (kasus Malawi),
  2. memahami mengapa sistem tersebut bisa bekerja dengan baik dan bagaimana cara kerjanya dan nyang tidak kalah pentingnya memahami bagaimana mendefinisikan kualitas pelayanan dalam konteks penelitia,n
  3. dokumentasi untuk melakukan perbaikan-perbaikan di masa depan, misalnya bagaimana memberi insentif bagi supervisor dan manajer untuk memastikan adanya feedback untuk menjaga kualitas pelayanan,
  4. kemampuan dalam melihat intervensi potensial yang dapat dilakukan.

Reporter: Putu Eka Andayani

Realist Evaluation and Other Theory Driven Inquiry Approaches in Health Policy and Systems Research: A Hands-on Troubleshooting Workshop

 

Mengapa ada kegiatan ini?

Tujuan dari sesi ini adalah:

  • Mendiskusikan konsep dasar metodologi realist evaluation
  • Mendiskusikan aplikasi metodologi realist evaluation dalam penelitian sistem kesehatan

Pembicara dari Indonesia?

Sesi ini dimoderatori oleh Bruno Marchal (Department of Public Health, Institute of Tropical Medicine, Belgium)

Terdapat 4 panelis:

  • Sara Van Belle (Institute of Tropical Medicine, Belgium)
  • Barend Gorretsen (KIT Royal Tropical Institute, Netherlands)
  • Isabel Goicolea (Umea University, Sweden)
  • NS Prashanth (Institute of Public Health, Bangalore, India)

Mengapa ada laporan ini?

Para peneliti di Indonesia perlu mengetahui adanya metodologi baru yang dapat digunakan dalam penelitian sistem kesehatan.

Struktur/agenda kegiatan yang dilaporkan

Pada awal, Bruno Marchal menerangkan bahwa realist evaluation (RE) adalah pendekatan metodologi yang biasanya dipakai dalam evaluasi program, terutama untuk memperdalam tentang sejauh mana tingkat outcome suatu program, bagaimana context dari program tersebut dan mengapa outcomenya bisa demikian dengan menggali mekanisme sampai pada hasil. Pertanyaan utama penelitian yang menggunakan pendekatan RE adalah: mengapa hasilnya demikian, bagaimana konteks programnya sehingga hasilnya demikian, bagaimana mekanisme bisa mencapai outcome dari program. Pada RE, penelitian diarahkan oleh suatu teori sementara (hipotesis) yang didapatkan dari analisis dari ‘context‘ program, kemudian digali keterkaitannya dengan outcome program. RE cocok dipakai untuk evaluasi program terutama jika pengambil kebijakan ingin melakukan peningkatan skala (scaling up) program. Perlu diketahui RE adalah pendekatan metodologi, sedangkan metode penelitian dapat menggunakan apapun metode penelitian yang sesuai.

Selanjutnya, didiskusikan contoh-contoh penelitian menggunakan pendekatan RE seperti misalnya penelitian studi kasus tentang bagaimana supervisi dapat meningkatkan kinerja Perawat di Guatemala (lihat http://www.biomedcentral.com/1472-6963/14/112 ).

Setelah itu, para panelis saling memberikan pengalaman masing-masing tentang pendekatan RE. Meskipun potensinya untuk memberikan bukti-bukti pada pengambil kebijakan sangat besar, namun terdapat tantangan-tantangan yang dihadapi yakni:

  • Penelitian dengan pendekatan RE biasanya membutuhkan waktu cukup lama.
  • Masih belum ada standard untuk menjamin kualitas aplikasi pendekatan RE yang dijalankan.
  • Bagaimana menyampaikan hasil dengan mudah pada pembuat kebijakan karena biasanya hasilnya cukup kompleks.

Daftar abstrak atau power poin atau video yang terbuka untuk umum

  • Tidak ada power poin yang dibagikan
  • Panelis tidak membuat power point dan hanya mendiskusikan pengalaman mereka

 

Reporter : Ari Probandari

Performance Based Incentive Research

Incentivizing Quality in Maternal, Neonatal and Child Health Service

Strategi performance-based incentive (PBI) termasuk result-based financing (RBF) telah diterapkan secara luas di low- and middle-income countries (LMICs) untuk mencapai target dalam pelayanan kesehatan, outcome kesehatan dan cost containment. Saat ini, rata-rata strategi PBI dari sisi supply di LMICs lebih berfokus pada unit pelayanan kesehatan untuk mengatasi masalah sangat rendahnya utilisasi faskes dibandingkan dengan fokus pada pengukuran kualitas pelayanan. Hal yang harus disadari ialah kualitas pelayanan penting bagi kesinambungan program, sehingga kini mulai banyak negara dari LMICs yang mencari pengukuran-pengukuran kualitas pelayanan yang berhubungan dengan peningkatan outcome kesehatan, untuk dimasukkan dalam sistem PBI.

Hal tersebut menjadi dasar dikembangkannya materi dalam sesi ini. Sebastian Bauhoff, seorang leader dalam Tehnical PBI dari University Rresearch Co., USA bertindak sebagai moderator. Para pembicara antara lain Stephen Brenner (peneliti dari Heidelberg University, Jerman), Fannie Kachale (Direktur Reproductive Health, Kemenkes Malawi), Ronald Mutasa (Health Specialist dari World Bank Group, Washington DC) yang kali ini diwakili oleh salah satu anggota timnya dan Jurrien Toonen (Senior Advisor, Dutch Royal Tropical Institute Netherland).

Salah satu poin menarik dari diskusi pada sesi ini adalah penggunaan balanced scorecard bukan hanya untuk mengukur kinerja dan mutu outcome kesehatan pada program pemberian insentif untuk peningkatan mutu layanan ibu dan anak, melainkan dimulai dari prosesnya. Ada beberapa keuntungan menggunakan BSC, antara lain adanya feedback yang dapat digunakan untuk menyusun strategi selanjutnya dalam implementasi program. Namun pembicara juga mengungkapkan beberapa kelemahannya antara lain tidak terlihat apakah prosesnya sudah baik, bagian mana dari proses yang sudah lengkap atau tidak lengkap, serta bagaimana caranya mengetahui bagian mana yang perlu diperbaiki dan dimodifikasi.

Pada konsep Result-Based Financing, ada tiga hal yang perlu menjadi fokus, yaitu cost-effectiveness, kejujuran dan equity. Cost effectiveness misalnya apakah alokasi anggaran untuk pengadaan komputer memang betul meningkatkan kinerja pelayanan atau justru pemborosan. Konsep kejujuran dalam pengukuran kinerja hanya dapat diterapkan jika ada check and balance terkait dengan mutu pelayanan. Equity terkait dengan situasi dimana terkadang sulit mengeluarkan staf atau anggota tim meskipun yang bersangkutan under performance. Untuk itu, organisasi perlu mengembangkan sistem pay for performance untuk memastikan terjadinya keadilan diantara saf dan anggota tim.

Menurut para panelis, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan untuk lebih memahami dan memudahkan implementasi konsep PBI dan RBF yaitu:

  1. adanya rasa kepemilikan terhadap program dari dinas kesehatan setempat (kasus Malawi),
  2. memahami mengapa sistem tersebut bisa bekerja dengan baik dan bagaimana cara kerjanya dan nyang tidak kalah pentingnya memahami bagaimana mendefinisikan kualitas pelayanan dalam konteks penelitia,n
  3. dokumentasi untuk melakukan perbaikan-perbaikan di masa depan, misalnya bagaimana memberi insentif bagi supervisor dan manajer untuk memastikan adanya feedback untuk menjaga kualitas pelayanan,
  4. kemampuan dalam melihat intervensi potensial yang dapat dilakukan.

Reporter: Putu Eka Andayani

 

Experiences Using Photo Voice in Health Systems Research: Transforming Evidence and Methods to Share Knowledge, Engage, Empower and Act

Sesi ini bertujuan untuk menjelaskan konsep dan aplikasi metode photo voice dalam penelitian sistem kesehatan dan menjelaskan keunggulan dan keterbatasan metode photo voice sebagai cara pengumpulan data dalam penelitian sistem kesehatan. Sesi ini dimoderatori oleh Asha George (Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, USA). Kemudian, terdapat empat pembicara yakni:

  • Shibaji Bose (Institute of Health Management Research, India)
  • Amuda Baba Dies Merci (Institut panafricain de sante communautaire, Democratic Republic of the Congo)
  • Caroline Jones (KEMRI-Wellcome Trust Research Program, Kenya)
  • Idah Zulu-Lishandu (Lusaka District Community Health Office, Zambia)
  • David Musoke (Makarere University School of Public Health, Kenya)

4oktSesi ini memuat inovasi metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian sistem kesehatan, dimana di Indonesia belum banyak digunakan. Dengan mengikuti reportase ini diharapkan para peneliti dapat mempertimbangkan photovoice sebagai salah satu metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian sistem kesehatan. Sesi ini diawali dengan diskusi kelompok kecil dari para partisipan tentang apa itu photo voice. Diskusi kelompok kecil ini menarik karena terjadi interaksi antara partisipan yang sudah mengetahui tentang apa photovoice dengan yang belum.

Secara umum, dirumuskan bahwa photo voice itu adalah metode pengumpulan data dalam participatory action research dimana subjek penelitian diberikan kamera foto untuk kemudian diminta mendokumentasi peristiwa-peristiwa yang terkait dengan tujuan penelitian. Setelah beberapa waktu, foto-foto tersebut dikumpulkan dan didiskusi dengan seluruh subjek yang dilibatkan tentang apa realitas yang mereka tangkap dari foto-foto yang dikumpulkan.

Setelah itu, disampaikan presentasi dari masing-masing pembicara tentang penelitian-penelitian yang menggunakan photo voice dan dilanjutkan dengan diskusi. Dalam diskusi muncul beberapa hal yang terkait dengan kekuatan dan kelemahan metode photo voice sebagai berikut:

Kekuatan:

  • Photo voice mudah dipakai pada subjek penelitian yang buta huruf
  • Photo voice dapat menyuarakan hal-hal yang mungkin sulit didiskusika
  • Photo voice meningkatkan aspek partisipasi dalam suatu action research dan bahkan pasca penelitian.

Namun tantangan dari metode ini adalah adanya persoalan etika, misalnya dalam mengambil foto perlu persetujuan dari subjek yang difoto dan penggunaan foto tersebut. Namun sayang, sesi ini tidak ada materi presentasi yang dapat diakses peserta.

Reporter : Ari Probandari

Social Exclusion and Health System: How do vulnerable groups experience health system?

Sesi ini mempresentasikan pengalaman-pengalaman riset pada kelompok rentan yang biasanya terpinggirkan/marginal. Mereka yang termasuk dalam kelompok rentan antara lain masyarakat migran, orang asli/aborigin, orang yang dikucilkan atau tidak mendapat pelayanan dari program karena jarak sosial dan jarak fisik yang jauh, usia tua, pengungsi, dan kelompok disable. Sesi ini mempresentasikan enam hasil penelitian dari beberapa negara yaitu Ethiopia, Australia, India, Afrika Barat, dan Afrika Selatan.

Penelitian oleh Befirdu Jimu di Ethiopia tentang “Persepsi tentang seks yang tidak aman dan penggunaan kontrasepsi oleh para perempuan migran” menunjukkan bahwa mereka sering mendapat perlakuan tidak baik secara seksual dari para perantara yang menguruskan visa dan pekerjaannya di Arab Saudi. Mereka juga dipaksa untuk menjual seks secara komersial. Pengetahuan mereka tentang seks yang tidak aman serta penggunaan kontrasepsi sangat rendah. Mereka berpendidikan sangat rendah dan kjetika akan berangkat, mereka tidak dibekali dengan pelatihan dalam bahasa yang mereka mengerti. Mereka beresiko terhadap seks yang tidak aman dan meningkatkan kesadaran untuk menggunakan kontrasepsi adalah hal yang sangat kritis, karena hal ini merupakan hak kesehatan reproduksi bagi mereka.

Dari Australia, penelitian oleh Kelaher dkk, tentang keterlibatan masyarakat Aborigin dalam “health regional governance” atau tata kesehatan daerah sangat berhubungan dengan perbaikan outcome kesehatan mereka dan bagi reformasi kesehatan Australia. Penelitian diadakan pada Juli 2008-Desember 2012 dan pengukuran dilakukan sebelum terbentuknya “Indigenous Health National Partnership Agreement (IHNPA)” dimana serapan kesehatan masyarakat dan “preventable hospitalization” dinilai. Setelah adanya IHNPA, terjadi serapan yang lebih tinggi dalam penilaian kesehatan dan terjadi penurunan drastic angka hospitalisasi dari beberapa tindakan yang seharusnya dapat dicegah. Utamanya, masyarakat Aborigin mempunyai suara yang lebih kencang di pemerintahan.

Namun, lain halnya dengan penelitian Peterson dkk, dalam penelitian tentang bagaimana pengalaman hidup sebagai pengungsi dialami, dan bagaimana informasi tentang kesehatan diberikan. Penelitian ini unik karena merekrut pengungsi sendiri untuk mengakses/mencapai masyarakat yang sulit dijangkau yaitu pengungsi itu sendiri. Lima orang peneliti pengungsi menceritakan bagaimana kehidupan sesama pengungsi di Brisbane, Australia. Mereka bingung terhadap komplesitas sistem kesehatan. Lalu, tentang masalah budaya mengancam konsultasi kesehatan, trust/kepercayaan antara pengungsi dan health providers, rasisme, bahasa yang tidak dipahami, dan sebagainya juga teridentifikasi. Strategi yang diusulkan untuk memperbaiki kesehatan mereka adalah memperbanyak penelitian bersama dengan pengungsi agar tercapai peningkatan keterlibatan dengan health provider dan juga memperbesar kapasitas masyarakat, untuk memperbaiki “health literacy,” tentu saja dengan fokus untuk memperbaiki outcome kesehatan.

Di Gujarat, India, penelitian Nanjappan dkk, tentang suatu kelompok masyarakat yang disebut “Dalit” dilakukan untuk mengetahui konsekuensi politik dan sosial ekonomi karena menjadi “Dalit.” Dalit adalah kasta terendah di India dan umumnya dikenal di Gujarat. Penelitian ini mewawancarai wanita “Dalit” yang rata-rata tidak mempunyai tanah dan ternak, serta dipaksa untuk mencari pekerjaan keluar desanya sebagai pekerja bangunan dan pekerja tambang. Mereka dianggap kotor dan hina, bahkan orang melecehkan mereka. Wanita “Dalit” ini mengatakan mereka tidak pernah bergaul dengan masyarakat di sekitarnya. Hubungan dengan masyarakat selalu ditandai dengan penghinaan dan caci maki. Mereka juga tidak diikutkan di dalam program suplementasi gizi yang ada di Gujarat. Walaupun kesehatan dan pelayanan kesehatan adalah hak dan dilindungi oleh undang-undang yang ada, “Dalit” mempunyai kondisi yang kritis karena tidak tersentuh oleh proteksi negara. Politisi dan pengambil keputusan di bidang kesehatan serta penyedia layanan kesehatan harus memikirkan hal ini dan menyamakan hak mereka dengan warga masyarakat yang lain.

Dua paper lain adalah tentang keikutsertaan lansia dalam program asuransi yang disebut “Social Health Protection (SHP)” di Afrika Barat.; serta keikutsertaan warga yang mempunyai masalah kesehatan mental di Cape Town. Mayoritas lansia di Afrika Barat tidak terdaftar dalam skema perlindungan SHP karena mereka justru tidak diharuskan membayar premi. Akibat tidak membayar premi, mereka (seperti) tidak diberi informasi sehingga mereka tidak mendaftarkan diri. Hal lain juga ditemukan bahwa walaupun premi tidak membayar, tetapi untuk mendapatkan kartu mereka harus membayar registrasi. Solusinya, agar para lansia mendaftar, mereka harus diberi informasi, tidak perlu membayar registrasi, dan perlunya pengurusan kartu dibuat di mayarakat terpencil Senegal. Kasus yang hampir sama juga terjadi di Afrika Selatan. Di Cape Town, orang dengan penyakit mental dieksklusikan karena mereka dianggap “defaulter” atau orang yang lalai. Mereka tidak mendapatkan informasi, akses pelayanan, dan sebagainya karena sering lupa bahwa mereka punya janji kepada health provider. Mereka dianggap sebagai orang yang lalai atau tidak peduli, dan mempunyai interaksi negatif dengan pemberi layanan. Penelitian ini telah mengungkapkan mekanisme bagaimana kelompok masyarakat tersebut diekslusi dari pelayanan kesehatan dan menunjukkan poin-poin yang secara sistematis harus dilihat pemerintah untuk memasukkan mereka secara sistematis dalam sistem layanan kesehatan.

Kasus dalam presentasi pelitian-penelitian di atas juga banyak terdapat di Indonesia secara keseluruhan. Keadaan dan kesehatan orang-orang yang rentan seperti TKW/TKI, masyarakat terpencil dan asli, pelayanan pada lansia, masyarakat miskin, dan lain-lain banyak yang belum diteliti. Informasi tentang kelompok ini belum banyak digali dan diteliti.

Reporter: Retna Siwi P

 

Workshop Policy Brief

dumilah26sept

Reportase lain :   Hasil Kegiatan Policy brief

Sesi bedah buku Kebijakan Kesehatan Prinsip dan Praktik oleh Dr. Dumilah Ayuningtyas

dumilah26septHari ketiga ini para peserta lebih banyak dilibatkan dalam latihan pembuatan policy brief. Acara diawali dengan sesi bedah buku yang dipresentasikan oleh Dr. Dumilah Ayuningtyas, MARS. Beliau membedah kebijakan kesehatan dilihat dari sisi prinsip (text book) dan praktik yang disajikan dalam beberapa contoh kasus. Isu yang diangkat adalah mengenai hubungan pusat dan daerah maupun hubungan policy maker dengan akademisi maupun peneliti.

Beberapa topik yang dibahas dalam bedah buku ini meliputi pengembangan kebijakan kesehatan yang menjelaskan tahapan dan pendekatan pengembangan kebijakan serta pembuatan kebijakan. Pemahaman mengenai proses pengembangan kebijakan menjadi penting untuk melahirkan proses yang benar dan meningkatkan efektivitas kebijakan tersebut. Tahap selanjutnya adalah menganalisa kebijakan yang dapat dilakukan dengan riset terapan untuk mendalami masalah dan isu kesehatan masyarakat serta menemukan solusinya. Dalam implementasi kebijakan tentunya melibatkan pula para pemangku kepentingan. Perlu batasan yang jelas siapakah pemangku kepentingan dan bagaimana perannya dalam kebijakan kesehatan. Selain itu analisa lingkungan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan kebijakan bidang kesehatan mempunyai pengaruh yang penting dalam mempengaruhi kebijakan kesehatan.

Fungsi kontrol dengan monitoring dan evaluasi perlu diterapkan pada proses pengembangan kebijakan agar implementasi kebijakan dapat berjalan dengan baik dan menjawab permasalahan yang menjadi dasar terbentuknya kebijakan. Selain itu dengan adanya evaluasi seharusnya dapat memperjelas seberapa jauh kebijakan dan implementasinya dapat mencapai tujuan. Peran rekomendasi dan advokasi kebijakan juga memegang peranan penting karena dengan adanya rekomendasi kebijakan yang baik akan membawa penguatan pada proses pengembangan kebijakan.

Pembahasan dari topik-topik tersebut mendapat tanggapan dari beberapa peserta. Mereka memberikan tanggapan bahwa penting untuk memastikan bahwa policy brief sudah pro public. Ada pula peserta dari Polewali Mandar yang menceritakan kondisi di daerahnya bahwa pengaruh legislatif sangat besar dalam pengambilan keputusan di daerahnya. Bahkan keputusan pemilihan lokasi puskesmas juga ditentukan oleh legislatif daripada pemerintah daerah setempat. Selain itu saran untuk penulis adalah menambah contoh-contoh kasus agar pembaca lebih paham dan untuk perbaikan dari buku ini ke depan.

Kebijakan Kesehatan : Prinsip dan Praktik
Dumilah Ayuningtyas

  Materi      Video

 

Policy Brief Mereformasi Kebijakan Publik

LT 26septTahun 2014, Indonesia merayakan euforia pemerintahan baru. Politisi kuda hitam dan putih berlari di senayan mencari rumput hijau. Apakah kita akan menjadi Indonesia yang lebih baik? Akademisi sebagai tombak pendidikan harus dilibatkan. Harus ada revisi terhadap peraturan perundang-undangan maupun Perpres.

Akademisi memberikan evidence based terhadap kualitas undang-undang, apakah akan diganti atau direvisi. ” policy brief salah satu cara untuk memberi masukan untuk pemerintahan baru”, kata Prof Laksano Trisnantoro, MSc.,Phd saat diskusi pengembangan policy brief untuk pemerintahan baru di UNPAD, Jumat (27/9/2014).

Board PKMK FK UGM ini mengungkapkan undang-undang bisa menjadi sesuatu yang tidak sempurna ketika ada tekanan politik dan waktu. Undang-undang diketok dalam kondisi yang tidak ideal. Seharusnya akademisi bisa dilibatkan untuk menjembatani masalah ini. Akademisi membuat policy brief berdasarkan evidence.

Kenyataannya, terdapat jarak peneliti dan pembuat kebijakan. Peneliti tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan. Situasi ini akan memperburuk kualitas penyusunan regulasi di Indonesia. JKKI menjadi lilin sebagai penerang masalah ini.

Saat ini Jaringan kebijakan kesehatan indonesia berkumpul di UNPAD. Anggota JKKI menyusun policy brief untuk pemerintahan Jokowi. Policy brief yang disusun dari 7 Pokja yaitu kebijakan Pelayanan kesehatan, kebijakan pembiayaan kesehatan, kebijakan kesehatan ibu dan anak, kebijakan HIC/ AIDS, kebijkan gizi, kebijakan kesehatan Jiwa masyarakat, kebijakan pendidikan SDM kesehatan, dan kebijakan pelayanan kesehatan. Policy brief lemah di pelaksanaan monitoring dan evaluasi kebijakan. Oleh karena itu diperlukan strategi jitu untuk mengatasi fenomena ini oleh para ahli kebijakan.
 

Penyusunan Policy Brief untuk pemerintahan baru
Laksono Trisnantoro

  Materi      Video

HOW TO WRITE A POLICY BRIEF – IDRC

  Materi

 

 

 

 

Keynote Speech

keynote

Prof. dr. Armida Alisjahbana, SE
(Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas)

keynoteArmida Alisjahbana dalam sambutannya sebagai keynote speech mengatakan menyambut baik Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia V ini, yang mana bisa mengumpulkan hampir semua pemangku kepentingan dari pembangunan kesehatan. Sementara dari kegiatannya juga meningkat dengan topik-topiknya yang terus berkembang tidak hanya isu-isu di pembangunan bidang kesehatan saja yang dibahas secara mendalam diantara lintas profesi dan lintas pemangku kepentingan tetapi diikuti dengan upaya tindak lanjut- tindak lanjut diantaranya dengan membuat policy brief, yang akan disampaikan kepada para perumus kebijakan terutama baik pusat maupun daerah. Armida juga mengatakan dari segi timing FJKKI V ini juga timely.

Armida mengatakan bahwa kemarin sore ditemui oleh tim transisi yang dipimpin oleh Rini Sumarno untuk segera menindaklanjuti penyusunan arah RPJMN yang tahap ini. Selanjutnya Armida akan menyerahkan laporan untuk penyusunan RPJMN 2015-2019. Relevansi Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia V ini untuk memberikan sumbang saran yang berarti termasuk bagi perumusan RPJMN tahun 2015-2019 khususnya untuk prioritas nasional di bidang kesehatan. “Silakan memberikan masukkan ke Bappenas karena Bappenas secara Undang-Undang adalah badan yang resmi untuk menyusun RPJMN sesuai dengan visi dan misi presiden terpilih”.

Referensi RPJMN adalah (1). evaluasi dari implementasi apakah yang sudah dilakukan pemerintah selama ini (dapat dilihat dari RPJMN 2010-2014 dan untuk jangka panjanag RPJPN 2005-2025) dan spesifik apa arahannya khusunya bidang kesehatan. (2) evaluasi dari RPJMN 2010-104 yang sedang berjalan diberbagai bidang termasuk kesehatan. (3) series dari background studies bidang kesehatan yang sudah dilakukan oleh bappenas selama 1 tahun penuh pada tahun 2013 yang lalu. (4) aspirasi masyarakat. Keempat referensi ini yang membentuk rancangan teknokratik yang sudah dilakukan oleh Bappenas, kemudian rancangan teknoktratik ini yang akan di-adjust dengan visi misi presiden terpilih.

Pencapaian MDGs Indonesia, goes 4 adalah menurunkan angka kematian anak, goes 5 adalah peningkatan kesehatan ibu, dan goes 6 adalah memerangi HIV/AIDS, TB dan Malaria. Dalam 4 indikator MDGs 4, 2 indikatornya offtrack. Untuk indikator MDGs 5, dari 6 indikator 1 indikatornya off track, yaitu kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup dimana AKI Indonesia pada tahun 2007 sebesar 228 per 100.000 Kelahiran Hidup (sdki 2007) namun AKI Indonesia pada tahun 2012 naik menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup. Untuk MDGs 6 tidak ada catatan dari Armida

Dalam sambutannya Armida menekankan agar peneliti dan para ahli yang berasal dari lintas disiplin dalam Forum Nasional Jkki V memberikan perhatian pada dua indikator MDGs 4 yang offtrack yaitu kematian bayi per 1000 kelahiran hidup, dan kematian balita per 1000 kelahiran hidup. Offtrack ini berfungsi untuk membantu kemajuan pencapaian tujuan. Sertamemperhatikan implementasi desentralisasi daerah (peran pemerintah daerah), dan pemberdayaan masyarakat. Menurut Armida, masih ada sesuatu yang missing pada dua hal ini, yang harus diketahui.

 

  Video

 

 

Video Pameran

Pengantar Forum Nasional V JKKI
Bagian 1. Pendahuluan

Pengantar Forum Nasional V JKKI
Bagian 2. Landasan Teori


Pengantar Forum Nasional V JKKI
Bagian 3. Metode Penelitian

Pengantar Forum Nasional V JKKI
Bagian 4. Pembahasan Skenario 12 Propinsi


Pengantar Forum Nasional V JKKI
Bagian 5. Analisis dan Saran Kebijakan


 

 

 

 

Video Pameran

 


AIPHSS – Ria Febriany Arif

PML Papua – Sutedjo, SKM, M.Kes


AIPMNH

Dr. Ignatius Henyo Kerong

Program MAMPU – Asken Sinaga


Sister Hospital NTT
Dwi Handono Sulityo, M.Kes