Senin, 25 November 2024
Pembukaan
Hari pertama kursus kebijakan (25/11/2024) dimulai dengan pembukaan. Pada sesi pembukaan acara, beberapa sambutan disampaikan oleh perwakilan dari berbagai institusi. Sambutan pertama disampaikan oleh Associate Professor Nopphol Witvorapong, Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand, yang memberikan ucapan selamat datang kepada para peserta yang hadir dari berbagai negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand.
Selanjutnya, Associate Professor Chantal Herberholz, Direktur Pusat Unggulan Ekonomi Kesehatan di Fakultas Ekonomi, Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand, memberikan sambutan atas nama Pusat Unggulan Ekonomi Kesehatan dan menjelaskan terkait pusat ekonomi kesehatan yang didirikan sejak 1993 dan bergerak dalam bidang penelitian, pengajaran dan pelatihan.
Kemudian, sambutan terakhir disampaikan oleh Professor Laksono Trisnantoro, Direktur ANHSS dan Profesor Kebijakan serta Manajemen Kesehatan dari Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Indonesia. Laksono menyampaikan ucapan selamat datang atas nama ANHSS. Acara ANHSS sebelumnya diadakan di Hong Kong dan kini berlangsung di Bangkok dengan dihadiri sekitar 40 peserta dari berbagai negara seperti China, Hong Kong, Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
Fokus utama Asia-Pacific Network for Health Systems Strengthening (ANHSS) adalah membahas reformasi sistem kesehatan pasca COVID-19 yang mengungkap kelemahan seperti ketidaksetaraan akses dan rendahnya kesiapan menghadapi krisis global. Workshop ini bertujuan meningkatkan kualitas, efisiensi, dan ketahanan sistem kesehatan. Tahun depan (2025), acara akan digelar di Hongkong untuk Private Health Insurance Policy, di Shanghai dengan tema Kebijakan Health Technology Assessment (HTA), dan di Kuala Lumpur untuk Health Finance Transformation.
Tantangan bagi keterlibatan sektor swasta dalam sistem kesehatan untuk perawatan primer dalam menghasilkan perawatan kesehatan terpadu
Panel ini menghadirkan 3 pembicara tamu utama, yaitu Dr. Athaporn Limpanylers, Wakil Sekretaris Jenderal dari Kantor Keamanan Kesehatan Nasional Thailand; Dr. Watchai Charunwatthana dari Kementerian Kesehatan Masyarakat Thailand; serta Dr. Eduardo P. Banzon, Spesialis Kesehatan Utama dari Departemen Regional Asia Tenggara di Asian Development Bank.
Dr. Athaporn Limpanylers memberikan gambaran komprehensif tentang evolusi kemitraan antara sektor publik dan swasta dalam penyediaan layanan kesehatan primer di Thailand, khususnya dalam konteks program Universal Coverage Scheme (UCS), mulai dari awal kerja sama pada 2003 hingga inovasi terbaru pada 2024. Kemitraan ini berawal dengan melibatkan rumah sakit swasta sebagai mitra pemerintah dalam pelayanan primer.
Pada 2019, National Health Security Office (NHSO) memperkuat akses dan kualitas layanan dengan penyediaan fasilitas kesehatan yang lebih merata. Selama pandemi COVID-19 (2020-2022), kolaborasi semakin meningkat melalui perluasan partisipasi apotek dan klinik swasta. Pada 2024, program inovatif “30-Bath Treatment Anywhere” diperkenalkan untuk meningkatkan keterjangkauan dan aksesibilitas layanan kesehatan di seluruh Thailand.
Kemitraan sektor swasta dalam Universal Coverage System (UCS) memiliki peran strategis untuk mengurangi beban fasilitas pemerintah, memanfaatkan sumber daya secara efisien, dan meningkatkan kualitas pelayanan. Contohnya, sektor swasta dapat menyediakan layanan dasar seperti imunisasi hingga perawatan khusus. Namun, tantangan seperti distribusi layanan yang tidak merata, insentif bagi sektor swasta, dan kendali mutu tetap perlu diatasi. Program seperti “30-Bath Treatment Anywhere” menunjukkan komitmen untuk memperluas layanan kesehatan, mengurangi kesenjangan akses, dan menciptakan sistem kesehatan yang inklusif serta berkelanjutan.
Selanjutnya adalah pemaparan dari Dr. Watchai Charunwatthana yang menjelaskan jika sistem kesehatan di Thailand telah mengalami evolusi signifikan sejak 1970-an. Dekade-dekade awal merupakan pembentukan struktur dasar seperti komunitas kesehatan nasional dan pergeseran menuju inisiatif kesehatan berbasis komunitas. Dekade-dekade berikutnya berfokus pada pengembangan sumber daya manusia, peningkatan akses layanan kesehatan, dan desentralisasi manajemen kesehatan. Tonggak penting termasuk pengenalan program Sukarelawan Kesehatan Desa (VHV), perluasan cakupan asuransi kesehatan, dan pembentukan sistem kesehatan distrik.
Model kesehatan primer Thailand ditandai dengan penekanan kuat pada partisipasi masyarakat, pencegahan, dan desentralisasi. Integrasi dukun tradisional dan penggunaan luas VHV menunjukkan pendekatan unik dalam penyampaian layanan kesehatan. Model ini juga menyoroti pentingnya kemitraan antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Aspek utama termasuk fokus pada promosi kesehatan, pencegahan penyakit, dan penggunaan data untuk pengambilan keputusan.
Meskipun telah mencapai kemajuan signifikan, sistem kesehatan Thailand masih menghadapi tantangan berkelanjutan, termasuk kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta kebutuhan investasi berkelanjutan dalam sumber daya manusia. Pandemi COVID-19 telah menyoroti pentingnya sistem kesehatan yang tangguh dan adaptif. Masa depan sistem kesehatan Thailand harus diperkuat dengan sistem informasi kesehatan, mempromosikan perawatan terintegrasi, dan mengatasi beban penyakit tidak menular yang meningkat. Pengalaman Thailand menawarkan pelajaran berharga bagi negara lain yang ingin meningkatkan sistem kesehatan primer mereka.
Pembicara tamu berikutnya ialah Dr Eduardo P. Banzon dari Asian Development Bank yang menyampaikan terkait Hambatan dalam Optimalisasi Sektor Kesehatan Swasta. Pemerintah menghadapi beberapa kendala utama dalam memanfaatkan sektor kesehatan swasta. Dua diantaranya ialah kapasitas regulasi dan pembelian pemerintah yang masih lemah. Selain itu, ekspektasi sektor swasta sering kali tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah, khususnya terkait paket manfaat dan mekanisme pembayaran. Klinik pelayanan primer swasta yang berskala kecil dan beroperasi secara independen juga menjadi tantangan, mengingat keterbatasan kapasitas manajemen dan kurangnya integrasi atau koordinasi dengan rumah sakit.
Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan pendekatan berbeda dalam memperkuat sistem kesehatan. Jepang dan Eropa dikenal dengan regulasi yang ketat serta kapasitas pembelian yang tinggi. Di Indonesia, pendekatan dilakukan melalui skema kapitasi berbasis kinerja yang dikombinasikan dengan pembayaran berbasis layanan tertentu. Filipina menerapkan undang-undang yang mewajibkan pemerintah bermitra dengan sektor swasta, mengadopsi model dari Thailand. Selain itu, beberapa negara seperti India, Kolombia, dan Filipina mengembangkan sistem penyedia layanan kesehatan swasta yang terintegrasi, menghubungkan rumah sakit dengan fasilitas perawatan primer. Model jaringan klinik pelayanan primer swasta juga menjadi bagian dari perkembangan ini.
Instrumen Kebijakan, Modalitas dan Mekanisme untuk Layanan Kesehatan Terpadu
Setelah sesi diskusi panel, kegiatan berlanjut dengan sesi pemaparan oleh Professor Eng-kiong Yeoh selaku Direktur Pusat Penelitian Sistem dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Hong Kong. Prof Eng-Kiong Yeoh memaparkan terkait kerangka konseptual dan struktur program serta instrumen kebijakan, modalitas, dan mekanisme layanan kesehatan terpadu. Saat ini, peningkatan jumlah populasi lansia di seluruh dunia akan berdampak pada meningkatnya prevalensi penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung. Meningkatnya jumlah penderita penyakit kronis membuat sistem kesehatan semakin terbebani. Hal ini karena perawatan penyakit kronis membutuhkan biaya dan sumber daya yang lebih besar dibandingkan dengan penyakit akut.
Wilayah Asia Pasifik, mengalami peningkatan signifikan dalam jumlah penderita penyakit tidak menular (PTM) kronis. Lebih dari 50% kematian di kawasan ini disebabkan oleh PTM. Hal ini berdampak terhadap layanan kesehatan yang diberikan. Timbul suatu masalah yaitu fragmentasi layanan kesehatan. Layanan kesehatan, baik itu perawatan dasar, perawatan khusus, maupun perawatan rujukan, seringkali terpisah-pisah dan tidak terhubung dengan baik. Upaya untuk melibatkan sektor swasta dalam meningkatkan kualitas layanan kesehatan telah dilakukan, namun masih banyak tantangan yang harus diatasi, terutama dalam hal koordinasi antar berbagai layanan. Tantangan lainnya adalah kurangnya integrasi antara layanan kesehatan dengan layanan sosial.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengusulkan sebuah model sistem kesehatan yang terintegrasi, berpusat pada pasien, dan berbasis komunitas. Model ini bertujuan untuk memberikan layanan kesehatan yang lebih komprehensif dan berkesinambungan. Integrasi layanan kesehatan sangat penting untuk mengatasi masalah fragmentasi yang ada. Dengan mengintegrasikan layanan, kita dapat meningkatkan akses, kualitas, dan efisiensi layanan kesehatan. Namun, mencapai integrasi bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan koordinasi yang baik antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Selain itu, dibutuhkan pula dukungan kebijakan yang kuat dan mekanisme pembiayaan yang tepat.
Peran Sektor Swasta di Kawasan Asia-Pasifik
Selanjutnya adalah pemaparan dari Professor Siripen Supakankunti selaku Profesor, Pusat Keunggulan Ekonomi Kesehatan, Fakultas Ekonomi, Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand mengenai Peran Sektor Swasta di Kawasan Asia-Pasifik. Sektor kesehatan di Asia-Pasifik menghadapi berbagai tantangan, termasuk perubahan profil epidemiologi, munculnya penyakit baru, dan kesenjangan dalam penyampaian layanan kesehatan. Kualitas layanan kesehatan sering kali dipengaruhi oleh aksesibilitas, kontinuitas, dan koordinasi antara sektor publik dan swasta.
Pembiayaan berkelanjutan menjadi isu penting, di mana sektor swasta berperan dalam menyediakan layanan yang melengkapi kekurangan yang ada di sektor publik. Sektor swasta mencakup semua penyedia dan sumber keuangan yang tidak dikelola oleh pemerintah, baik yang bersifat nirlaba maupun komersial. Di banyak negara, sektor ini menyediakan lebih dari separuh layanan kesehatan, termasuk perawatan primer hingga tersier. Keragaman dalam struktur dan tujuan sektor swasta menciptakan tantangan tersendiri dalam integrasi dengan sistem kesehatan publik.
Sektor swasta dapat terlibat dalam berbagai bentuk meliputi pembayaran, penyediaan layanan dan pengadaan. Keterlibatan ini penting untuk memperkuat sistem kesehatan campuran yang ada, namun juga menimbulkan tantangan terkait regulasi dan pengawasan. Sektor swasta memiliki peran strategis yang signifikan dalam meningkatkan produktivitas, menciptakan lapangan kerja, dan menyediakan layanan melalui kemitraan publik-swasta. Kontribusi ini sangat penting untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) serta meningkatkan kualitas dan aksesibilitas layanan kesehatan.
Instrumen Kebijakan I: Mekanisme Tata Kelola Sistem Kesehatan & Pembiayaan Publik-Swasta
Pada sesi siang hari kursus kebijakan, peserta mendapatkan materi terkait instrumen kebijakan oleh Profesor Laksono Trisnantoro selaku Guru Besar Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Indonesia. Laksono mengaitkannya pada kerangka WHO Building Blocks. Ia menjelaskan bagaimana kebijakan di tingkat makro, meso, dan mikro saling memengaruhi. Kebijakan tingkat makro, seperti regulasi nasional dan pengelolaan dana, berdampak pada sistem kesehatan secara keseluruhan, sedangkan tingkat meso berfokus pada integrasi layanan kesehatan yang dipimpin oleh primary care. Integrasi ini menghubungkan berbagai elemen, seperti rumah sakit dan klinik, serta memengaruhi kebijakan makro dan praktik klinis di tingkat mikro. Tata kelola yang baik membutuhkan keterlibatan aktif pemerintah, penyedia layanan, serta masyarakat dan organisasi non-pemerintah (NGO) untuk menciptakan sistem yang efisien dan inklusif. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, kewenangan pemerintah dalam sektor kesehatan lebih kecil, sehingga sektor swasta memainkan peran dominan, yang juga memengaruhi kualitas layanan di tingkat klinis.
Dalam pembahasan mengenai pembiayaan kesehatan, Laksono menjelaskan tiga elemen utama: revenue, pooling, dan purchasing-payment. Peserta diajak untuk menganalisis sumber pendapatan kesehatan di negara masing-masing, baik dari sektor publik maupun swasta. Contohnya, di Indonesia, sebagian besar pooling berasal dari BPJS Kesehatan. Ia juga menguraikan tiga bentuk pembayaran dalam layanan kesehatan: alokasi melalui perencanaan sumber daya, pembayaran kepada rumah sakit atau organisasi pelayanan, dan pembayaran langsung kepada dokter. Masing-masing pendekatan memiliki tantangan, seperti rendahnya pemanfaatan layanan dan tingginya angka rujukan dalam pembayaran kapitasi. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan solusi seperti implementasi utilization review (UR) dan pengelolaan pengaduan secara efektif. Tata kelola dan pembiayaan yang baik diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan kepuasan dalam sistem kesehatan.
Instrument Kebijakan II: Peraturan pada Sektor Kebijakan Swasta
Sesi pemaparan instrument kebijakan selanjutnya disampaikan oleh Profesor Adi Utarini. Adi Utarini membahas pentingnya sektor kesehatan swasta dalam sistem kesehatan global, sebagaimana yang diakui oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sektor ini mencakup entitas formal dan informal, baik yang bersifat mencari keuntungan maupun nirlaba, serta melibatkan penyedia layanan domestik dan internasional. Berbagai institusi, seperti klinik, rumah sakit swasta, apotek, hingga penyedia layanan kesehatan tradisional, merupakan bagian dari sektor ini. Secara global, lebih dari separuh layanan kesehatan disuplai oleh sektor swasta, dengan kontribusi yang sangat besar di wilayah seperti Asia Tenggara dan Mediterania Timur. Utarini menekankan bahwa regulasi adalah elemen kunci untuk memastikan kualitas dan keamanan layanan yang diberikan sektor ini. Regulasi bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, melindungi konsumen, mengurangi asimetri informasi, dan memastikan perilaku penyedia layanan sesuai standar melalui aturan yang dilengkapi insentif dan sanksi.
Adi Utarini juga menyoroti pentingnya peran regulator dan penyedia layanan kesehatan dalam mendukung keberlanjutan sistem kesehatan. Regulator bertanggung jawab memastikan standar mutu dijalankan secara efektif melalui mekanisme seperti perizinan, sertifikasi, akreditasi, dan pengawasan. Sementara itu, penyedia layanan kesehatan diharapkan mematuhi regulasi dan berkontribusi pada tujuan sistem kesehatan secara keseluruhan. Namun, ia juga menggarisbawahi tantangan dalam mengatur sektor ini, seperti informalitas penyedia layanan, lemahnya penegakan hukum, dan potensi korupsi. Oleh karena itu, diperlukan kerangka regulasi yang adaptif dan pengawasan yang kuat untuk memastikan sektor swasta dapat berkontribusi secara optimal dalam menciptakan layanan kesehatan yang berkualitas, merata, dan berkelanjutan.
Reporter: Monita Destiwi dan Ester Febe (PKMK UGM)
Editor: Laksono Trisnantoro (PKMK UGM)
Link Terkait